Pulau Samatellu Lompo
Samatellu Lompo atau Samatellu Besar adalah nama sebuah pulau kecil berpenghuni yang berada di gugusan Kepulauan Spermonde, perairan Selat Makassar dan secara administratif masuk pada wilayah Desa Mattiro Walie, Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan, Indonesia. Pulau Samatellu Lompo memiliki wilayah seluas 24.388,5827772 m2.[1] Pulau ini merupakan bagian dari Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan dengan dasar hukum penetapannya melalui Surat Keputusan Bupati Pangkajene dan Kepulauan Nomor 290 Tahun 2015 yang diterbitkan pada tanggal 2 Maret 2015. Desa Mattiro Walie secara geografis berada pada 4°42'42,96" LS dan 119°16'20,20" BT, dengan batas-batas administrasi; Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Makassar; Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Mattiro Bombang; Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Mattiro Dolangeng; dan Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Mattiro Matae. Pulau-pulau kecil yang termasuk dalam wilayah desa ini adalah Pulau Samatellu Lompo, Pulau Samatellu Pedda, Pulau Samatellu Borong, Pulau Salebbo, Pulau Reang-Reang, Pulau Jangang-Jangangang, dan Pulau Bana-Banawang. Secara keseluruhan, penduduk yang menghuni pulau-pulau di Desa Mattiro Walie berjumlah 1905 jiwa yang terdiri dari 950 laki-laki dan 965 perempuan (PMU Coremap II Kabupaten Pangkep, 2007). Pulau ini memiliki seluas 39,0 km². Desa ini dapat diakses dengan menggunakan kapal penumpang selama ± 2,5 jam dari Sungai Pangkajene. Angkutan penumpang yang terdapat di desa ini sebanyak 2 buah dengan rute Pangkajene–Pulau Samatellu Lompo.[2]
Koordinat | |
---|---|
Negara | Indonesia |
Gugus kepulauan | Spermonde |
Provinsi | Sulawesi Selatan |
Kabupaten | Pangkajene dan Kepulauan |
Luas | 24.388,5827772 m² |
Demografi
suntingPulau ini dihuni 1.371 jiwa penduduk yang terdiri dari 687 laki-laki dan 684 perempuan. Penduduk Desa Mattiro Walie secara umum terdiri dari Suku Bugis dan Makassar.[2]
Ekosistem dan sumberdaya hayati
suntingPulau Samatellu Lompo termasuk dalam wilayah Desa Mattiro WaliE dengan luas daratan 1,86 ha. Kondisi karang hidup di Pulau Samatellu Lompo bervariasi, ada yang sangat bagus, ada pula yang rusak parah. Kondisi yang bagus mencapai dimana tutupan karang hidupnya 50 - 70 %, pada bagian lain tercatat 18% karang keras. Hancuran karang mati mencapai 25 % dan karang mati tertutupi algae 20%, merupakan indikasi bahwa kerusakan terumbu karang sudah berlangsung cukup lama. Genera karang yang dominan adalah jenis Echinopora kemudian disusul jenis Acropora, Goniastrea, Favia, Hydnopora, dan Montipora.[2]
Biota lain yang ditemukan pada daerah ini adalah kima (Tridacnidae). Kehadiran biota asosiasi yang ekonomis sudah sulit ditemukan di sepanjang terumbu karang, namun demikian biota lain seperti landak laut (Diadema setosum) masih umum ditemukan. Jenis-jenis avertebrata lainnya seperti teripang dan kerangkerangan sangat kurang dijumpai baik di puncak terumbu maupun di tubir terumbu. Besarnya jumlah bulu babi yang ditemukan mengindikasikan kondisi karang yang tidak sehat.[2]
Aktivitas pengelolaan sumberdaya
suntingUmumnya nelayan memanfaatkan hasil laut yang dapat ditemukan di sekitar pulau seperti ikan baronang, ikan mairo, ikan sunu, ikan kerapu, ikan tembang, kerang, kepiting dan cumi-cumi. Mereka juga mencari hasil laut di luar wilayah desanya seperti teripang dan ikan tinumbu. Selain itu beberapa sektor lain yang juga digeluti oleh sebagian kecil warga, seperti : pengumpul hasil laut, kios/dagang, PNS/guru. Adapun jenis keterampilan lain yang dimiliki oleh warga antara lain pembuat perahu, tukang bengkel las dan mesin, dan tukang batu. Pada umumnya, nelayan menggunakan alat pancing yang telah dimodifikasi, yang dikenal dengan istilah pancing kedo-kedo. Alat tangkap jenis ini dioperasikan di atas perahu kecil, yang disebut lepalepa. Sebahagian besar hasil tangkapan nelayan pancing kedo-kedo adalah ikan sunu dan kerapu. Harga ikan sunu, bila dijual dalam kondisi hidup dan berukuran 0,6-1,2 kg/ekor adalah Rp 200.000,-; sedangkan yang berukuran lebih dari 1,3 kg/ekor dihargai Rp 300.000,-.[2]
Alat pancing kedo-kedo, walaupun dapat dioperasikan sendiri, tetapi umumnya nelayan mengoperasikannya secara bersama-sama. Nelayan yang melakukan penangkapan sendiri, umumnya menangkap di sekitar pulau; sedangkan yang berkelompok mempunyai wilayah penangkapan yang lebih jauh sampai ke perairan Selat Makassar, ke Pulau Kalimantan, dan Bali. Nelayan pancing berkelompok biasanya dikoordinasi oleh seorang ponggawa, sekaligus pemilik kapal. Para nelayan pemancing ini, biasanya diberangkatkan bersamasama dari pulau menuju lokasi penangkapan. Satu kapal penangkap ikan dapat memuat sampai 30 nelayan, bersama perahu kecil (lepa-lepa). Lama perjalanan ke daerah tangkapan sekitar dua hari dua malam. Setelah tiba di lokasi penangkapan, nelayan dibagi dalam kelompok kecil berjumlah antara 8 dan 10 orang. Setiap nelayan dilengkapi dengan satu unit lepa-lepa dan satu unit alat pancing.[2]
Hasil tangkapan yang diperoleh diusahakan selalu dalam kondisi tetap hidup, sehingga setiap hasil tangkapan secepatnya dibawa ke kapal penampung, yang mempunyai fasilitas penyimpanan ikan hidup. Dalam skala waktu tertentu, ikan hasil tangkapan tersebut dijemput oleh kapal yang sekaligus memasok bahan kebutuhan para nelayan. Bila daerah hasil tangkapan terletak lebih dekat dengan daratan utama Pulau Sulawesi, maka hasil tangkapan akan dibawa langsung ke Makassar; bila lebih dekat dengan Pulau Bali, akan langsung dibawa ke Denpasar. Lama waktu operasi pemancing berkelompok ini antara 30 dan 45 hari. Hal ini dilakukan demi efektivitas dan efisiensi biaya karena jauhnya daerah operasi penangkapan. Pengoperasian pancing secara berkelompok bagi ponggawa membutuhkan biaya investasi cukup besar. Satu unit kapal, lengkap dengan mesin, bernilai sekitar Rp 100.000.000,- ditambah dengan harga perahu kecil, lepa-lepa, yang jumlahnya sampai puluhan buah.[2]
Selain alat pancing kedo-kedo, alat tangkap lainnya adalah gae untuk menangkap ikan cakalang, layang dan jenis lainnya. Alat tangkap ini dioperasikan pada malam hari karena mengandalkan cahaya untuk menarik perhatian ikan. Untuk pengoperasiannya, digunakan satu buah kapal yang memuat jaring dan dua buah perahu untuk menggiring ikan. Lama waktu penangkapan, efektifnya 25 hari karena sangat bergantung pada intensitas cahaya bulan dimalam hari. Selain itu, ada juga nelayan yang menggunakan perahu terapung (bagang) dalam melakukan aktifitasnya, membawa perahu kecil (jolloro') dengan jumlah 8-10 buah. Mereka berlayar sampai ke Teluk Bone, Sinjai, dan Sulawesi Tenggara. Untuk sekali turun, waktu yang digunakan antara 20 dan 25 hari di laut dan antara1-2 minggu di darat, dengan nilai maksimum yang biasa dicapai antara Rp 20.000.000,- sampai Rp 30.000.000,-.[2]
Organisasi dan sistem kerja nelayan yang mengoperasikan pancing dan jaring relatif berbeda, bahkan antara nelayan pancing yang menangkap secara sendiri-sendiri juga berbeda dengan mereka yang bekerja secara berkelompok. Perbedaan ini dikarenakan berbagai faktor, seperti jenis alat tangkap, ikatan ponggawa-sawi, serta sistem bagi hasil yang diterapkan. Nelayan pancing kedo-kedo bekerja secara sendiri-sendiri, organisasi usahanya relatif lebih ringkas, dengan daerah tangkapan disekitar pulau. Hasil tangkapan yang diperoleh dapat langsung dijual pada siapa saja yang diinginkan. Lain halnya dengan nelayan pancing berkelompok yang organisasinya lebih rumit karena ada ketergantungan nelayan dengan ponggawanya.[2]
Referensi
sunting- ^ Abdul Haris Farid, Suhardjono, dan Dwi Wulan Titik Andari. Laporan Penelitian: Penguasaan dan Pemilikan atas Tanah Pulau-Pulau Kecil di Propinsi Sulawesi Selatan. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta, 2013. Hlm. 1–53.
- ^ a b c d e f g h i Direktorat Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (2012). "Direktori Pulau-Pulau Kecil Indonesia". www.ppk-kp3k.kkp.go.id. Diakses tanggal 26 September 2022.