Dr. R. Kodiyat (16 September 1890-29 Juli 1968) adalah seorang ahli kedokteran yang fokus pada pemberantasan penyakit frambusia.[1] Ia berhasil menurunkan prevalensi penyakit ini dari 15% di tahun 1950 menjadi 0,49% pada tahun 1978/1979 dengan sistem yang diakui dunia internasional. WHO bahkan merekomendasikan sistem ini sebagai contoh untuk negara lain yang menghadapi framboesia. Selain itu, Dr. R. Kodiyat memikirkan pengembangan sistemnya hingga akhir hayatnya dan dikenal sebagai dokter pionir dalam public health di Indonesia. Ia menolak sistem yang menyarankan vaksinasi massal dengan penicillin dari WHO, menganggapnya sebagai pemborosan. Dr. R. Kodiyat telah banyak menulis tentang kesehatan dalam berbagai bahasa dan berpartisipasi dalam seminar dan konferensi di dalam serta luar negeri. Atas kontribusinya, ia diberikan berbagai penghargaan dalam pelayanan kepada bangsa dan negara, terutama dalam melawan penyakit frambusia, yang merupakan salah satu penyakit menular yang pernah ada di negara Indonesia. Pada tanggal 26 Juni 1956, Dr. R. Kodiyat diberikan Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia, yang merupakan yang pertama kali diberikan oleh universitas tersebut.

Pendidikan

sunting

Riwayat Pekerjaan

sunting

Zaman penjajahan Belanda

Zaman pendudukan Jepang

  • Inspektur Kesehatan Provinsi Jawa Timur (April 1942 sampai Maret 1943).
  • Dokter pada Naimubu Eiseykyok, Jakarta (April 1943 sampai Juli 1945).[1]

Zaman Kemerdekaan

  • Akting Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
  • Saat pemerintahan RIS 1949:
  1. Kepala pada Lembaga Penyelidikan dan Pemberantasan Penyakit Rakyat, khususnya penyakit framboesia.
  2. Pemimpin Pemberantasan Penyakit Framboesia hingga bulan Maret 1964.
  3. Anggota Dewan Pertimbangan MIPI yang sekarang dikenal sebagai LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
  • Penasehat Menteri Kesehatan Republik Indonesia, di Lembaga Penyelidikan Pemberantasan Penyakit Rakyat, Departemen Kesehatan atau Inspeksi Pemberantasan Penyakit Framboesia/Patek yang sekarang ini bernarna Sub Direktorat Pemberantasan Penyakit Framboesia dan Kelamin (mulai 1 April 1964).[1]

Peranan dalam pemberantasan Penyakit Frambusia

sunting

Sebelum Perang Dunia II dan pada awal Kemerdekaan Republik Indonesia pernah mengalami wabah penyakit frambusia atau patek. Menurut hasil penelitian para ahli, jumlah penderita penyakit ini sudah mencapai 15% dari total penduduk di suatu lokasi. Menurut estimasi WHO dan UNICEF, Indonesia adalah pusat frambusia kedua terbesar di dunia setelah Nigeria di Afrika.[1]

Frambusia merupakan penyakit menular yang menyebar melalui kontak kulit langsung antara orang yang terinfeksi dengan lesi aktif dan orang yang sehat. Patogen yang bertanggung jawab atas penyakit ini adalah bakteri treponema pallidum subspecies pertenue.[2] Frambusia biasanya ditemukan di Afrika, Asia Tenggara, dan Pasifik. Penyakit ini muncul di daerah yang hangat dan lembap dengan curah hujan yang tinggi dan terisolasi, dengan sanitasi yang tidak memadai, akses ke air bersih terbatas, dan sumber daya perawatan kesehatan tidak memadai.[3]

Pada tahun 1934, ketika Dr. R. Kodiyat bekerja sebagai dokter di Karesidenan Kediri, beliau memikirkan suatu hal dan muncul suatu ide baru yaitu bahwa penyakit frambusia yang sedang berkembang harus diatasi hingga akarnya. Cara yang dilakukan adalah dengan mencari dan menghilangkan sumber penyakit tersebut. Dr. R. Kodiyat berpendapat bahwa penyakit frambusia ini menular dari manusia, melalui manusia, kepada manusia lainnya. Jadi, jika seseorang terinfeksi penyakit frambusia, mereka harus diobati. Artinya, jika orang yang terinfeksi telah sembuh, mereka tidak akan menularkan kembali.[1]

Dr. R. Kodiyat memberikan suntikan neosalvarsan pada orang yang mempunyai tanda-tanda penyakit frambusia di sekitar Karesidenan Kediri. Ia melakukan kampanye pemberantasan yang masih secara kecil-kecilan dan sistem ini berhasil. Sistem ini tidak mendapat perhatian pemerintah Belanda, zaman Jepang 1942, zaman revolusi fisik 17 Agustus 1945 sampai 29 Desember 1949. Hal ini menjadikan pemberantasan frambusia berhenti karena sarana dan obat-obatan yang kurang memadai.[1]

Tanda jasa/gelar kehormatan

sunting
  • Ketua Kehormatan disertai tanda jasa dalam Panel Discussion pemberantasan penyakit frambusia yang diselenggarakan oleh WHO (18 Maret 1952).
  • Gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Kedokteran dari Universitas Indonesia (26 Juni 1956).
  • Muktamar Ikatan Dokter Indonesia atau IDI di Yogyakarta, atas jasa-jasanya kepada bangsanya yang memerlukan pengobatan (20 Desember 1960).
  • Ramon Mapaysay Award Foundation di Manila, Philipina atas jasa-jasanya dalam menciptakan sistem TCPS untuk sistem pemberantasan penyakit frambusia di Asia Tenggara (31 Agustus 1961).
  • Tanda Kehormatan Satyalencana Kebaktian Sosial dari Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia (20 Desember 1961).
  • Satya Lencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan (1964).
  • Lencana Karya Satya Kelas II (1964).
  • Bintang Muda Putra Kelas Ill (1964).
  • Tokoh dalam bidang llmu Pengetahuan, Pendidikan dan Pengabdian oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan atas nama Presiden Republik Indonesia (1969).[1]

Hasil karya tulis

sunting

Karya tulis berbentuk buku yaitu:

  • Tentang penyelidikan lepra di Indonesia (1936).
  • Hal pemeliharaan kesehatan dalatn organisasi Transmigrasi (1950).
  • Atlas of Framboesia (1951)

Karangan medis dalam Geneeskundig Tijdschrijft voor Ned. lndie.

  • Framboesia (1937).
  • Sytematlscbe Framboesia bestrijding (Systematic Yaws control) (1939).
  • Systematische trachoom bestrijding in de dessa (Systematic trachoma control in the village) (1941).

Karang-karangan medis yang ditulis dalam Mededelingen van de Dienst van Volksgezondbeid (DVG).

  • Over de verhoogde sterfte in het onderdistrict Dongko, residentie Kedirl gedurende het eerste kwartaal 1936.
  • Framboesia (1937).

Majalah Kedokteran dari Ikatan Dokter Indonesia (IOI)

  • Penyelidikan trachom di desa (Trachoma Investigation In a Village) (1948).
  • Pemeriksaan dan Pengobatan dalam Pemberantasan Penyakit Framboesia (1957).

Karangan-karangan medis lainnya.

  • Experience in yaws control In Indonesia. A report to the First International Symposium on yaws control, Bangkok 1952.
  • Report on Yaws Control in Indonesia, 1950 - 1953 for WHO, 1953.
  • TCP dan TCPS ulangan. Instruksi untuk dokter-dokter peserta dalam pemberantasan framboesia, 1953.
  • Total Mass Treatment tindakan·tindakan dalam TCPS instruksi, 23 Nopember 1955,. No. 12670/TCP/l/55).[1]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j SUBAGYO, WISNU (1983-01-01). Dr. R. Kodiyat: Hasil Karya dan Pengabdiannya. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  2. ^ Felicia, Mildi; Suhartono, Beto (2021). "FRAMBUSIA : INFEKSI TROPIS TERABAIKAN, DIAGNOSIS SERTA TATALAKSANANYA". Majalah Kedokteran UKI (dalam bahasa Inggris). 37 (3): 88–95. doi:10.33541/mk.v37i3.2425. ISSN 2798-0677. 
  3. ^ "Eradication of yaws – A guide for programme managers". www.who.int (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-12.