Raden Sawunggaling
Raden Sawunggaling atau Joko Berek merupakan adipati di Kota Surabaya. Raden Sawunggaling merupakan putra dari Adipati Jayengrono (Jangrono) III dengan Raden Ayu Dewi Sangkrah.[1] Ia dikenal sebagai Adipati Surabaya yang paling dibenci penjajah. Makam Raden Sawunggaling ditemukan oleh warga pada tahun 1901 dan berada di Jalan Lidah Wetan Gang III, Kelurahan Lidah Wetan, Kecamatan Makam Raden Sawunggaling.[2]
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. |
Kisah hidup
suntingNama asli dari Sawunggaling yakni Joko Berek. Joko Berek merupakan putra dari Adipati Jayengrono (Jangrono) III dengan Raden Ayu Dewi Sangkrah. Kehidupan dimulai saat Adipati Surabaya ketiga itu sedang berburu di hutan wilayah Surabaya Barat. Saat itu Jayengrono III bertemu dengan Dewi Sangkrah untuk kali pertama di Desa Lidah Donowati yang sekarang menjadi Lidah Wetan dan Kulon.
Jayengrono III terpesona dengan kecantikan Dewi Sangkrah. Mereka lalu menikah. Namun sebagai Adipati Surabaya, Jayengrono III harus kembali ke kedaton. Sebelum pergi, Adipati Jayangrono meminta Dewi Sangkrah untuk tetap tinggal di Donowati. Ia juga bertitip pesan agar anaknya diberi nama Joko Berek. Jayangrono III juga memberikan selendang cindei puspita, sebagai tanda untuk mencarinya di Kedaton Surabaya.
Ketika Raden Sawunggaling dewasa sedang mencari sang ayah di Kedaton Surabaya. Ditemani Bagong, ayam jantan miliknya ia sampai di pintu gerbang Kedaton Surabaya. Sampai di sana, Joko Berek bertemu dengan dua kakak tirinya, Sawungrana dan Sawungsari. Keduanya tidak percaya jika Joko Berek adalah anak Jayengrono III. Mereka bertiga kemudian melakukan adu ayam dan Joko Berek lah yang jadi pemenangnya.
Setelah itu, Joko Berek bertemu dengan sang ayah, Jayengrono III. Mengetahui anaknya sudah tumbuh besar, sang adipati sangat senang. Sebenarnya, Jayengrono ingin memberikan mahkotanya dan mengangkat Sawunggaling sebagai Jayengrono IV. Saat itu Joko Berek mau diangkat oleh adipati sebagai Jayengrono IV. Tapi karena ingin adil, Jayengrono pun membuat sayembara dengan memanah umbul-umbul Tunggul Yuda.
Setelah sayembara tersebut diumumkan, banyak warga dari berbagai desa mengikuti sayembara tersebut, tetapi gagal. Bahkan saudara tiri Joko Berek yakni Sawungrana dan Sawungsari juga mengikuti sayembara hingga mencoba memanah tiga kali. Mereka pun gagal. Sayembara tersebut akhirnya dimenangkan oleh Joko Berek. Sebelum memanah umbul-umbul itu, Joko Berek sempat berdoa dan meminta restu dari ibunya.[3]
Joko Berek berdoa Biyung Dewi Sangkrah, anakmu yung ijinono koyok banyu mili (Ibu Dewi Sangkrah, aku anakmu mau ikut sayembara, beri izin saya seperti air yang mengalir. Karena tak ingin Sawunggaling meneruskan jabatan sebagai Adipati Jayengrono IV, Belanda dan dua saudara tiri Joko Berek bekerja sama. Mereka berusaha meracun Joko Berek dan Jayengrono III saat pesta perayaan dinobatkannya Raden Sawunggaling sebagai Adipati Surabaya.[4]
Beruntung aksi tersebut diketahui oleh Paman Sawunggaling yaitu Adipati Cakraningrat dari Madura. Ketika minuman yang ada racunnya itu disodorkan ke Sawunggaling, Adipati Cakraningrat pura-pura menabrak Sawungrana yang mengakibatkan terjatuhnya gelas berisi minuman yang telah diberi racun. Dengan nada licik, Sawungrana menghasut Joko Berek. Sawungrana menyebut apa yang dilakukan Adipati Cakraningrat telah menghina Joko Berek, dengan menjatuhkan minuman tersebut. Mendapat hasutan itu, Joko Berek marah dan mengajak Adipati Cakraningrat keluar dari kadipaten.[5]
Setelah dijelaskan jika minuman itu telah diberi racun oleh dua saudara tirinya dan Kompeni Belanda, Joko Berek menyesal dan meminta maaf kepada pamannya. Sejak itu, Sawunggaling sangat benci dengan Belanda dan selalu memusuhi Belanda, Setelah Sawunggaling beberapa kali melawan dan menentang perintah Belanda, Kompeni mengirim 5.000 pasukan. Yang terdiri dari prajurit Eropa dan pribumi.
Serangan dilakukan melalui perang darat dan laut. Sementara di Kadipaten Surabaya, Adipati Sawunggaling berusaha menyatukan kekuatan Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan). Pertempuran dahsyat tidak terelakkan. Pasukan Sawunggaling berhasil memukul mundur Kompeni Belanda di Lamongan. Saat itu Kompeni yang terbiasa melakukan perang terbuka, tidak bisa menghadapi serangan gerilya para pengikut Sawunggaling, Atas kekalahan tersebut, Kapitan Pieter Speelman marah. Pieter langsung memimpin peperangan dengan menggunakan tiga kapal perang untuk menggempur Surabaya dari arah laut. Ia memerintahkan pasukan untuk meratakan Surabaya tanpa ada tawanan perang. Saat itu karena Surabaya sempat dikuasai Belanda, Kompeni melarang bagi siapa saja menulis tentang Sawunggaling. Karena Belanda tak ingin kekalahan telak waktu itu diketahui oleh pimpinannya kala itu.[6]
Referensi
sunting- ^ Purwodianto, Jemmi. "Mengenal Sawunggaling, Adipati Surabaya yang Paling Dibenci Kompeni". detikjatim. Diakses tanggal 2024-09-18.
- ^ "Mengenal Kisah Raden Sawunggaling, Salah Satu Adipati Kota Surabaya". Diakses tanggal 2024-09-18.
- ^ "Kisah Sawunggaling, Adipati Surabaya yang Jujur dan Dibenci Saudaranya". kumparan. Diakses tanggal 2024-09-18.
- ^ Liputan6.com (2016-04-29). "Jejak Majapahit dan Kampung Tempo Dulu di Surabaya". liputan6.com. Diakses tanggal 2024-09-18.
- ^ Okezone (2021-07-26). "Sawunggaling Sulit Dibunuh, Kompeni Murka dan Rakyat Surabaya Digilas : Okezone Nasional". https://nasional.okezone.com/. Diakses tanggal 2024-09-18. Hapus pranala luar di parameter
|website=
(bantuan) - ^ "Kirab Sawunggaling Lestarikan Kisah Joko Berek, 'Si Pitung' dari Surabaya". Diakses tanggal 2024-09-18.