Raden Tjetje Somantri

Raden Tjetje Somantri adalah seorang pelopor tari kreasi Sunda yang juga merupakan salah seorang yang mendirikan Badan Kebudayaan Djawa Barat (BKDKB) dan Badan Kesenian Indonesia (BKI) Bandung. Beliau lahir pada tahun 1892 dan meninggal 1963 dalam usia 71 tahun.[1]

Raden Tjetje Somantri
LahirRaden Tjetje Somantri
1892
Indonesia Purwakarta
Meninggal1963 dalam usia 71 tahun
Indonesia Bandung
KebangsaanIndonesia
Nama lainR. Rusdi Somantri
PekerjaanSeniman tari Sunda

Biografi

sunting

Nama lengkapnya adalah R. Rusdi Somantri, yang kemudian dipanggil dengan nama Tjetje. Lahir di Bandung 1892 jadi panggilan R. Tjetje Somantri dari ibu Nyi Raden Siti Munigar, gadis ningrat asal Bandung, serta ayahnya bernama Raden Somantri. Pendidikan yang dilaluinya adalah HIS dan MULO di Bandung. Pernah meneruskan ke MOSVIA tetapi tidak sampai tamat. Belajar tari tayub pertama kali di Kabupaten Purwakarta pada tahun 1911, dari R. Gandakusumah (Aom Doyot). Juga belajar tari wayang dari Aom Menin, Camat Buahbatu, Bandung di kota Bandung, Jawa Barat.[2]

Pendidikan

sunting

Pada tahun 1907, ia menyelesaikan sekolah di DIS dan meneruskan sekolahnya di Voor Work OSVIA (Opleidingschool Voor Inlandsche Ambternaren), yakni sekolah Pamong Praja atau sekolah menak di Bandung. Ketika masih sekolah di OSVIA, ia sudah gemar menari tayub. Kegemaran menari dalam tayuban, menyebabkan ia sering bolos sekolah, dan oleh sebab itulah ia tidak menamatkan sekolahnya. Oleh pamannya, Patih Mayadipura, ia dimasukkan sebagai pegawai di suatu kecamatan di Purwakarta. Akan tetapi, karena sering mangkir, ia kemudian diberhentikan.

Belajar menari sejak usia muda. Tari Tayub dipelajarinya dari Aom Doyot, (Wedana Leuwiliang, Bogor) di Pendopo Kabupaten Purwakarta sekitar tahun 1911. Tari topeng Cirebon yang dipelajari dari Wentar dan Koncer (dalang topeng Cirebon) pada tahun 1918 bersama teman-teman sebayanya, antara lain Asep Berlian, Endang Thamrin, dan lain-lain. Tarian yang dipelajarinya, antara lain topeng Pamindo, topeng Klana, dan lain-lain. Ia juga belajar tari kepada dua orang guru asal Susukan-Cirebon, Kamsi dan Karta. Pada tahun 1925, Tjetje kemudian memperdalam tari topeng kepada salah seorang Pangeran Kesultanan Cirebon, Elang Oto Denda Kusumah. Tari-tarian yang dipelajarinya antara lain: Menak Jingga, Anjasmara, Jingga Anom Nyamba, Anjasmara, Menak Koncar, Panji, dan Kendit Birayung.

Pada tahun ini pula ia belajar wayang wong kepada Aom Menim, Camat Buah Batu, Bandung. Dalam pertunjukan wayang wong pada tahun 1926 yang diselenggarakan atas prakarsa Bupati Bandung, Kanjeng Adipati Wiranatakoesoema V, dan dikoordinasi oleh R.A. Adiputra, Tjetje diberi peran tokoh Baladewa. Pada tahun ini pula ia menjadi guru tari di OSVIA dengan mengajarkan tari keurseus dan tari wayang.[3]

Kiprah Seni Sang Maestro

sunting

Pada tahun 1930, Tjetje bertemu dengan R.M. Sutignja dan banyak mendapat petunjuk tentang kepenarian Jawa. Ia juga belajar tari Jawa kepada Sudiani dan Sujono pelatih tari yang bertempat di Gedung Mardi Harjo. Sudiani dan Sujono adalah dua pelatih tari di Perkumpulan Tirtayasa dan Sekar Pakuan pimpinan Tb. Oemay Martakusumah. Sedangkan pada tahun 1935, Tjetje bertemu dengan Tb. Oemay Martakusumah, seorang pegawai Jawatan Kebudayaan Jawa Barat dan pimpinan Badan Kesenian Indonesia (BKI). Rupanya, pertemuan dengan Tb. Oemay Martakusumah menjadi berkat bagi Tjetje, ia bak peribahasa ’ikan masuk ke dalam air’.

Jiwa seninya kemudian tersalurkan, bakat dan kreativitasnya terbina. Ia kemudian dijadikan sebagai salah satu pengajar tari di BKI. Di dalam wadah kesenian itulah ia berkreativitas, menciptakan berbagai macam tarian. Tari yang diciptakannya kebanyakan tari putri, seperti tari Anjasmara, Sekarputri, Sulintang, Ratu Graeni, Kandagan, Merak, Srigati, Dewi, Topeng Koncaran, dan sebagainya. Tari-tarian putra antara lain: Kendit Birayung, Menak Jingga, Yuyu Kangkang, Panji, dan sebagainya. Sedangkan kostum tari-tariannya kebanyakan didesain oleh Tb. Oemay Martakusumah.

Suatu catatan penting bahwa, karya tari Tjetje Somantri telah memperkaya khasanah seni tari Jawa Barat. Bagaimanapun ia adalah seorang koreografer pembaharu tari Sunda, yang kemudian banyak menginspirasi banyak seniman tari lainnya. Ia pulalah yang ’mendobrak’ imij penari wanita (ronggeng) dari jelek menjadi terhormat. Selain itu, ia pun berhasil membuat tradisi baru dalam menyajikan tari, yakni dengan membuat tari rampak.

Bersama para penari wanita, karya-karya tarinya sering kali dipentaskan di berbagai acara, di dalam maupun di luar negeri, serta diajarkan di berbagai sekolah. Kini, sebagian karya tarinya menjadi salah satu mata kuliah/pelajaran di sekolah seni dan di perguruan tinggi seni seperti KOKAR Bandung (kini SMKI/SMK 10) Bandung, ASTI (kini STSI) Bandung, dan IKIP (kini UPI) Bandung.

R. Tjetje Somantri yang juga pengajar tari Sunda mulai melihat wilayah tari kreasi pada tahun 1946 dengan menciptakan Tari Dewi. Kemudian beberapa tari kreasi lain yang diciptakannya antara lain: Anjasmara I dan II (1946), Puragabaya (1947), Kendit Birayung (1947), Dewi Serang dan Sulintang (1948). Kemudian dari mulai tahun 1949, R Tjetje Somantri lebih banyak menciptakan tari kreasi untuk ditarikan oleh gadis-gadis, antara lain: Komala Gilang Kusumah, Ratu Graeni (1949), Topeng Koncaran, Srigati, Golek Purwokertoan (1950), Rineka Sari (1951), Kukupu (1952), Sekar Putri (1952-1954), Tari Merak (1955), Golek Rineka (1957), Nusantara, Anjasmara III, dan Renggarini (1958).

R. Tjetje Somantri sebagai pelopor tari kreasi Sunda tidak bekerja sendiri, ia bekerja sama dengan Tb. Umay Martakusumah yang banyak memberikan saran tentang busana / kostum yang di kenakan dalam kreasi tarinya, kemudian dibantu oleh Bapak Kayat sebagai penata gending serta R. Barnas Prawiradiningrat turut membantu dalam pemikiran tentang pola lantai pada tari-tari kreasi yang sifatnya rampak.

Dalam menciptakan tari kreasi, R. Tjetje Somantri terus menggali hal yang dianggap baru. Hal ini terbukti dengan disempurnakannya tari Renggarini menjadi tari Kandagan (1960). Setahun setelah itu diciptakannya lagi tari kreasi yang diberi nama tari Pancasari, Srenggana (1961) dan pada tahun 1962 diciptakan tari kreasi Panji Nayadirana, serta kreasi tarinya yang terakhir adalah tari Patih Ronggana (1963).

Tari Kreasi identik dengan R. Tjetje Somantri, maka tak heran jika beberapa penari Sunda terkemuka kebanyakan pernah belajar kepadanya, di antaranya Tb. Maktal, Enoch Atmadibrata, Irawati Durban, Indrawati Lukman, R. Ahmad Basah, R. Nani Suwarni, Ani Satriyah, Tb. Atet, R. Dida Hasanudin, R. Tien Sri Kartini, Kustilah, Herlina, Imas Sonianingsih, R. Yuyun Kusumahdinata.

Beberapa tari kreasi ciptaan R. Tjetje Somantri hingga kini masih diajarkan di beberapa sanggar tari, perguruan tinggi seni dan sekolah kesenian, antara lain:

  • Tari Sekar Putri,
  • Tari Anjasmara I, II, III,
  • Tari Sulintang,
  • Tari Kandagan,
  • Tari Merak,
  • Tari Kupu-kupu,
  • Tari Ratu Graeni,
  • Tari Koncaran.
  • Puragabaya,
  • Kendit Birayung,
  • Dewi Serang dan Sulintang,
  • Komala Gilang Kusumah,
  • Srigati,
  • Golek Purwokertoan,
  • Rineka Sari,
  • Golek Rineka,
  • Nusantara, dan
  • Renggarini.[4]

Penghargaan

sunting

Atas jasa-jasanya di bidang seni tari, pada tahun 1961 ia mendapat anugerah seni berupa Piagam Wijaya Kusumah dari pemerintah Republik Indonesia.

Meninggal

sunting

Ia meninggal 1963 di Bandung, Jawa Barat.

Referensi

sunting

Sumber

sunting