Rakugo (落語, kata yang jatuh) adalah seni bercerita tradisional Jepang yang mengisahkan cerita humor yang dibangun dari dialog dengan klimaks cerita yang tidak terduga. Cerita dikisahkan sedemikian rupa sehingga di akhir cerita ada klimaks berupa punch line (disebut ochi atau sage) yang membuat penonton tertawa. Rakugo adalah seni yang mulai dikenal sejak zaman Edo.

Kejuaraan Rakugo Pelajar Seluruh Jepang ke-6 "Sakuden Award"

Seorang pencerita yang disebut rakugoka tampil mengenakan pakaian tradisional Jepang dan bercerita diiringi gerak-gerik dalam posisi duduk seiza. Dalam melakukan gerak-gerik, pencerita kadang-kadang dibantu alat bantu serba guna berupa kipas lipat (sensu) dan saputangan panjang (tenugui).

Sewaktu bercerita, pencerita membawakan ekspresi dari masing-masing karakter dengan menggunakan perbedaan suara, gaya berbicara, ekspresi wajah, dan gerak-gerik, sehingga penonton bisa langsung mengenali pergantian dari satu karakter ke karakter yang lain.

Rakugo merupakan seni bercerita yang sederhana dengan musik latar dan efek suara yang sangat dibatasi. Musik latar hanya digunakan pada rakugo yang dipentaskan di daerah tertentu atau memang bila benar-benar dibutuhkan pada saat karakter tertentu tampil.

Cerita yang membuat penonton untuk tertawa di akhir cerita karena klimaks yang lucu disebut Otoshibanashi (cerita yang mempunyai ochi atau punch line). Ada juga jenis cerita dalam rakugo yang tidak mempunyai punch line di akhir cerita seperti Ninjōbanashi (cerita drama kehidupan) dan Shibaibanashi (cerita seperti sandiwara).

Pencerita (rakugoka) berpentas di gedung pentas (yose) dengan memungut bayaran dari penonton. Sebelum Perang Dunia II, rakugoka umumnya hanya bertahan hidup dari uang honor yang dihitung berdasarkan persentase pemasukan gedung dari penjualan karcis. Pada zaman sekarang, rakugoka banyak yang hidup senang karena terikat kontrak dengan perusahaan yang bergerak dalam bisnis promotor pertunjukan.

Berdasarkan daerah pementasannya, rakugo terdiri dari dua versi, yakni Edo rakugo (rakugo versi Edo) dan Kamigata rakugo (rakugo versi Kyoto-Osaka) yang bisa langsung dikenali dari perbedaan tata cara dan perlengkapan panggung. E

Jenis cerita

sunting

Jenis cerita dalam naskah rakugo bisa digolongkan menjadi beberapa kategori:

  • Berdasarkan zaman asal cerita: koten rakugo (rakugo klasik) dan shinsaku rakugo (rakugo modern) yang juga dikenal sebagai sōsaku rakugo (rakugo orisinal).
Koten rakugo adalah sebutan untuk cerita yang dikarang sekitar zaman Edo hingga era Meiji dan sering dipertunjukkan hingga sebelum Perang Dunia II. Cerita yang tidak tergolong ke dalam koten rakugo digolongkan ke dalam shinsaku rakugo yang sebagian besar ditulis oleh penulis naskah humor atau rakugoka yang mementaskan karya tersebut untuk pertama kali. Cerita shinsaku rakugo kebanyakan belum dijadikan aset milik bersama rakugoka berhubung sebagian besar naskah hanya biasa dibawakan oleh rakugoka yang menciptakan, tema cerita yang sangat kontemporer, atau cerita yang penuh dengan satirisme.
  • Berdasarkan jalan cerita dan cara mementaskan:
    • Otoshibanashi: cerita dengan ochi atau klimaks yang lucu
    • Ninjōbanashi: cerita drama kehidupan seperti cinta anak kepada orang tua atau kisah suami istri
    • Shibaibanashi: cerita yang meniru-niru sandiwara yang populer.
Kaidanbanashi (cerita hantu) dan Ongyokubanashi (cerita dengan lagu) merupakan dua jenis cerita yang sering dimasukkan ke dalam golongan Shibaibanashi.
Ninjōbanashi dulunya merupakan cerita panjang diceritakan oleh pencerita paling senior (tori) yang bersambung selama 10 hari, tetapi sekarang sudah disingkat dengan hanya mengambil bagian-bagian cerita yang bagus saja. Pada Ninjōbanashi, klimaks tidak selalu harus mempunyai punch line. Pencerita selalu duduk sewaktu membawakan cerita Otoshibanashi dan Ninjōbanashi, tetapi pencerita yang membawakan Shibaibanashi adakalanya harus berdiri untuk melakonkan peran, memakai musik latar dan latar belakang panggung sebagai pelengkap cerita. Pada cerita jenis Kaidanbanashi (cerita hantu), bagian awal hingga bagian tengah cerita dikisahkan dengan gaya Ninjōbanashi, tetapi ketika hantu-hantu mulai keluar, cerita dikisahkan dengan memakai musik dan latar panggung (gaya Shibaibanashi). Ada pula cerita hantu yang terus menggunakan musik latar sehingga dimasukkan ke dalam golongan Ongyokubanashi (cerita dengan lagu).
Shibaibanashi sering merupakan parodi dari cerita sandiwara yang populer, sehingga jalan cerita berubah menjadi gaya Otoshibanashi dengan di sana-sini mencampurkan percakapan seperti skenario Kabuki, tetapi pencerita tidak perlu berdiri untuk berakting.
Ongyokubanashi (cerita dengan lagu) hanya dibawakan pada Edo rakugo, sedangkan Kamigata rakugo walaupun menggunakan lagu tidak disebut Ongyokubanashi..
  • Berdasarkan tingkat kesulitan: Zenzabanashi (cerita pembuka) atau dikenal sebagai Tabi no neta dan Ōneta (cerita utama).
Pencerita yang baru belajar biasanya hanya membawakan cerita pendek (Zenzabanashi) untuk pertunjukan pembuka. Cerita Zenzabanashi umumnya pendek-pendek dan tidak ada peran utama sehingga mudah diingat dan dipelajari, tetapi cukup mengandung semua unsur-unsur dasar untuk melatih teknik rakugo. Berbeda dengan Zenzabanashi, cerita humor yang terkenal dan cerita jenis Ninjōbanashi yang dijadikan cerita utama (Ōneta) mempunyai tingkat kesulitan teknis yang tinggi.
Pada Kamigata rakugo, cerita pembuka (Zenzabanashi) biasanya terdiri dari beberapa cerita pendek-pendek yang dikenal juga sebagai Tabi no neta, dengan maksud agar pencerita junior yang sedang berada di panggung kapan saja bisa digantikan kalau pencerita yang lebih senior sudah sampai di tempat pertunjukan.
  • Berdasarkan berbagai jenis klimaks (khusus untuk jenis cerita Otoshibanashi):
Pengelompokan cerita Otoshibanashi berdasarkan klimaks cerita (punch line): sakasa ochi (klimaks berupa dua hal yang artinya tertukar), kangaeru ochi (klimaks yang tidak langsung dimengerti, tetapi setelah dipikirkan baru tertawa), manuke ochi (klimaks berupa kejadian yang bodoh), totan ochi (klimaks dengan kata plesetan), buttsuke ochi (saling salah pengertian) dan shigusa ochi (klimaks dengan gerakan tubuh seperti jatuh terlentang).
Menurut rakugoka legendaris Katsura Shijaku II, klimaks cerita terdiri dari 4 jenis: donden (klimaks pertama membuat penonton lega sedangkan klimaks kedua mengejutkan penonton sampai tertawa), nazotoki (teka-teki disebar sepanjang cerita sedangkan klimaks berupa pemecahan teka-teki yang memancing tawa), hen (klimaks yang aneh), dan awase (klimaks berupa titik temu dari dua cerita yang kelihatannya tidak saling berhubungan).

Pengungkapan ekspresi

sunting

Pengungkapan ekspresi dilakukan dengan menggunakan:

  • Kata-kata
Kemampuan bercerita dan gerak-gerik pencerita merupakan unsur terpenting
  • Gerak-gerik
Pencerita menggunakan gerak-gerik untuk memerankan karakter, pada dasarnya pencerita tidak perlu berdiri atau berjalan.
  • Alat bantu gerak-gerik
Kipas lipat (sensu) dan tenugui (saputangan yang tepinya tidak dijahit) merupakan alat bantu paling utama, tetapi ada juga pencerita yang membawa gelas teh kecil (yunomi). Kipas lipat dan tenugui merupakan benda abstrak yang bisa diumpamakan sebagai benda lain sesuai keperluan cerita. Dalam istilah rakugo, kipas lipat disebut "kaze" sedangkan saputangan disebut "mandara." Kipas lipat bisa dijadikan pedang, tombak, sumpit atau kuas, sedangkan saputangan bisa dijadikan kertas, dompet, buku, tali, tambang, dan sebagainya. Pada Kamigata rakugo, perlengkapan pencerita masih ditambah dengan kendai (meja baca pendek berukuran mini), hiza kakushi (selembar papan yang diletakkan di depan menja kendai sebagai penutup lutut), hyōshigi (potongan kayu kecil untuk diketukkan agar membuat suara), dan harisen (kipas lipat yang bersuara keras bila dipukulkan).
  • Elemen lain penyerta naskah cerita tertentu
Cerita jenis Ongyokubanashi membutuhkan lagu (hamemono) dan cerita jenis Shibaibanashimemerlukan kakiwari (bingkai dari kayu ditempel kertas atau kain untuk latar belakang panggung).
  • Perlengkapan penyerta
Pencerita menggunakan sepotong lagu pengiring yang disebut Debayashi ketika naik ke atas panggung. Debayashi dimainkan dengan alat musik shamisen dan taiko. Selain itu, pencerita juga memerlukan beberapa perlengkapan penyerta seperti kimono, zabuton (bantal untuk duduk), mekuri (nama naskah cerita yang dibawakan), dan kōza (panggung pentas).

Elemen dasar terpenting dalam rakugo berupa "kata-kata" (cerita) yang terdapat di dalam buku naskah. Sebelum dapat menceritakan cerita di hadapan penonton, pencerita berlatih menghafal naskah baris demi baris secara berulang-ulang hingga hafal di luar kepala. Rakugo merupakan seni pertunjukan yang bersifat pengulangan, sama halnya seperti pertunjukan teater atau tari. Berbeda yang seni teater dan tari yang memanfaatkan kostum dan rias wajah sebagai alat bantu untuk mengungkapkan ekspresi, pencerita rakugo justru tampil seperti apa adanya.

Ciri khas rakugo adalah pada kata-kata dan gerak-gerik, serta perlengkapan yang serba minimal sebagai sarana utama dalam mengekspresikan cerita. Cerita diekspresikan bukan dengan kostum, alat bantu gerak-gerik, perlengkapan panggung, latar belakang panggung, lampu panggung dan efek suara, melainkan hanya kata-kata dan gerak-gerik si pencerita. Dua elemen penting dalam rakugo adalah (1). keterampilan pencerita dalam menggunakan kata-kata dan gerak-gerik untuk membuat cerita menjadi "hidup", dan (2). perlengkapan bersifat netral dan seminimal mungkin yang di tangan pencerita bisa berubah menjadi benda-benda lain sesuai dengan jalannya cerita.

Cerita rakugo klasik (koten rakugo) biasanya memiliki buku naskah walaupun tidak semua kata-kata yang diucapkan pencerita ada tertulis di dalam buku naskah. Sebagian kata-kata yang diucapkan pembaca cerita merupakan tradisi oral yang diwariskan secara temurun temurun dari guru kepada murid (deshi). Pencerita kemudian menghafal cerita di luar kepala untuk diulangi di atas panggung.

Berdasarkan naskah cerita, rakugo mempunyai ciri khas sebagai berikut: (1). naskah terdiri teks penjelasan (jinobun) dan teks dialog (kaiwabun). Ketika sampai di bagian-bagian penting dalam dialog, tempo bercerita menjadi meninggi. Naskah rakugo hanya memiliki sedikit teks di luar dialog yang membedakannya dengan seni bercerita tradisional Jepang lainnya yang disebut Kōdan. (2). Teks di luar dialog sangat singkat sehingga pencerita harus melengkapinya dengan gerak-gerik untuk mengekspresikan hal-hal yang mendetail yang tidak tertulis dalam teks, seperti perubahan emosi pada karakter dan adegan bercakap-cakap. (3). Semua karakter diperankan sendirian oleh pencerita tanpa ada peran pembantu. Pencerita memerankan berbagai karakter yang ada di dalam cerita melalui intonasi, pemilihan kata-kata dan gaya bercerita. (4). Peralihan antara narasi dan percakapan dibuat agar semulus dan terdengar alami bagi orang yang mendengarkan.

Gerak-gerik dalam rakugo merupakan pelengkap kata-kata yang tidak bisa ketinggalan. Berbeda dengan teater yang seluruh bagian cerita disertai dengan gerak-gerik (gesture), gerak-gerik di dalam rakugo hanya ditambahkan sebagai pelengkap pada bagian-bagian yang tidak cukup diekpresikan dengan kata-kata seperti adegan yang memerlukan gerakan tubuh (makan, minum, mendayung perahu, dan sebagainya). Pencerita harus dapat membawa penonton ke dalam alam imajinasi hanya dengan lewat kata-kata dan gerak-gerik.

Beberapa contoh gerak-gerik terdiri dalam rakugo:

  • Ekspresi wajah
Pencerita menampilkan berbagai ekspresi wajah dari karakter yang ada dalam cerita. Kalau perlu ekspresi wajah dibuat berlebih-lebihan dan adakalanya ekspresi wajah dibuat lucu.
  • Pandangan mata
Ketika memerankan karakter, pencerita melihat ke arah panggung sebelah kanan yang disebut shimote (dari kursi penonton: panggung sebelah kiri) ketika karakter berkedudukan lebih tinggi berbicara dengan karakter berkedudukan lebih rendah. Begitu pula sebaliknya, pencerita melihat ke arah panggung sebelah kiri yang disebut kamite (dari kursi penonton: panggung sebelah kanan) ketika karakter berkedudukan lebih rendah berbicara dengan karakter berkedudukan lebih tinggi. Arah pandangan mata dan arah gerakan leher terus berganti-ganti bergantung pada bagian-bagian dialog, sehingga penonton bisa membedakan berbagai karakter yang tampil dalam cerita.
  • Adegan makan
Kipas lipat (sensu) dalam keadaan tertutup dapat dijadikan sumpit dan kadang-kadang dari cara memegangnya dapat dipakai untuk memerankan adegan makan berbagai jenis makanan. Ada berbagai teknik menggunakan kipas lipat bergantung pada jenis makanan dan kebiasaan makan orang. Pencerita legendaris Katsura Bunraku terkenal bisa memerankan adegan makan sampai pada jenis-jenis makanan ringan tertentu.
  • Berjalan
Adegan berjalan dilakukan sambil duduk seiza dengan sedikit gerakan mengangkat lutut. Secara bergantian lutut kiri dan lutut kanan diangkat sedikit dibarengi gerakan mengayun-ayunkan lengan seperti orang sedang berjalan. Adegan berjalan yang dilakukan sambil berdiri pada prinsipnya tidak dibolehkan.
  • Menulis
Dalam adegan menulis, saputangan tenugui biasanya dijadikan sebagai buku catatan atau kertas, sedangkan kuas atau bolpen dijadikan dari kipas lipat. Pada Kamigata rakugo, kendai (meja baca pendek berukuran mini) sering dijadikan sebagai meja tulis.
  • Mendayung perahu
Adegan mendayung perahu melibatkan banyak gerakan anggota tubuh. Adegan yang memerlukan banyak gerakan anggota tubuh sebenarnya jarang ada pada rakugo. Pencerita berakting mendayung perahu dengan menggunakan kipas lipat yang digunakan sebagai dayung. Penonton harus mendapat kesan seolah-olah pencerita sedang bekerja berat mendayung perahu.
  • Tidur
Pencerita tidak boleh terlentang untuk memerankan adegan tidur. Adegan tidur dilakukan dengan menaruh kepala pada lengan yang dilipat.
  • Menunjuk dengan jari dan gerakan mata
Pencerita tidak boleh menggunakan benda sebenarnya untuk menjelaskan benda-benda yang tampil dalam cerita. Sebagai gantinya, pencerita menggunakan jari dan gerakan mata untuk menunjuk ke benda-benda imajiner yang seolah-olah ada di hadapannya. Pada adegan mencabut pedang misalnya, setelah kipas lipat yang diumpamakan sebagai pedang dicabut dari sarung, pencerita berakting memeriksa pedang dengan menggerakan pandangan mata, mulai dari pangkal hingga ke ujung pedang. Pencerita lalu mengatakan panjang pedang yang dimilikinya kepada penonton.
  • Menangis
Adegan menangis banyak terdapat pada jenis cerita Ninjōbanashi (cerita drama kehidupan). Jari dicelupkan ke dalam gelas berisi teh atau air hangat lalu dicolekkan di bawah mata untuk menunjukkan karakter yang sedang menangis.

Pencerita menggunakan kimono dengan motif sederhana atau tidak bermotif sama sekali. Tata cara menanggalkan haori (jaket yang dipakai di atas kimono) juga diatur dengan sangat mendetil, sehingga penonton perlu memasang mata dan telinga kalau tidak mau adegan menanggalkan haori terlewat begitu saja. Pencerita menanggalkan haori sebagai isyarat cerita akan segera dimulai setelah selesai membawakan makura (perkenalan judul cerita dan latar belakang cerita yang akan dibawakan). Pada cerita yang menampilkan karakter pedagang kaya atau pemilik toko, pencerita terus mengenakan haori sedangkan haori dilepas sewaktu memerankan orang biasa atau pengrajin. Cara pencerita menanggalkan haori juga merupakan atraksi yang mendapat perhatian khusus dari penonton karena haori jatuh dengan mulus dari pundak pencerita dalam sekejap.

Rakugo bukan merupakan satu-satunya seni bercerita tradisional yang ada di Jepang. Mandan adalah seni bercerita untuk membuat penonton tertawa yang terkenal sejak era Taisho dan berkembang menjadi seni melawak Manzai seperti dikenal sekarang ini. Secara secara garis besar, Mandan mirip dengan rakugo karena pencerita tampil secara tunggal membawakan cerita humor. Perbedaan besar terletak pada cara penyampaian cerita. Pada seni Mandan, pencerita membawakan cerita seperti sedang bercakap-cakap dengan penonton. Pada rakugo, cerita disampaikan dalam bentuk dialog yang diucapkan masing-masing karakter yang muncul. Di luar bagian makura (pengantar), bagian utama cerita hanya mempunyai teks di luar dialog yang menjelaskan latar belakang cerita (ji no bun) dengan seminimal mungkin. Pada bagian cerita yang perlu sedikit pengenduran dari ketegangan, pencerita bisa saja sedikit menyela cerita dengan katarikake (bagian cerita yang bukan dialog).

Menurut pencerita legendaris Katsura Shijaku II, rakugo adalah dunia yang dibangun lewat dialog, gerak-gerik dan penjelasan latar belakang cerita, sedangkan selebihnya diserahkan kepada kekuatan imajinasi penonton. Katsura Beichō juga pernah berkata bahwa rakugoka yang telah mencapai kesempurnaan dalam berkesenian bagaikan "hilang" dari hadapan penonton sewaktu sedang bercerita.

Elemen pembentuk cerita

sunting

Bagian makura adalah bagian awal pertunjukan rakugo berupa penyebutan judul, tema, dan latar belakang cerita. Pencerita membawakan bagian makura sebelum masuk ke bagian cerita utama. Bagian makura dimaksudkan sebagai " pemanasan" bagi penonton dan pencerita. Penonton dibuat tertawa dengan sedikit lawakan agar penonton bisa santai. Pencerita juga sekaligus mempersiapkan penonton untuk masuk ke alam imajinasi dengan bercerita ringan tentang hal-hal yang berkaitan dengan cerita utama. Dari sejak awal, pencerita mulai memberi tanda-tanda akan bakal adanya "jebakan" yang dipasang sebagai klimaks cerita.

Pencerita adakalanya menyisipkan sedikit bagian lawakan (kusuguri) yang dikarang sendiri dan tidak ada di dalam naskah, tetapi biasanya penonton menyukai lawakan (kusuguri) yang tidak beranjak jauh dari cerita yang ada di naskah.

Sejarah

sunting

Plot rakugo banyak diambil dari literatur klasik seperti cerita dongeng Putri Kaguya, koleksi cerita Konjaku Monogatari dan Ujishūishū. Buku berisi kumpulan cerita humor yang pertama adalah Seisuishō (醒睡笑) (1628) yang ditulis biksu Anrakuan Sakuden dari kuil Senganji berdasarkan cerita lucu yang dikisahkan kepada wakil pejabat di Kyoto yang bernama Itakura Shigemune. Dari kumpulan cerita ini lahir berbagai cerita yang sekarang masih digunakan sebagai cerita pembuka (Zenzabanashi) pertunjukan rakugo. Toyotomi Hideyoshi konon senang dihibur dengan cerita dongeng yang dibawakan kelompok pencerita yang dimilikinya. Salah seorang di antaranya bernama Sorori Shinzaemon yang dianggap sebagai nenek moyang pencerita rakugo (rakugoka), walaupun ada pendapat yang mengatakan tokoh ini tidak pernah ada.

Memasuki paruh kedua abad ke-17, pencerita asal Osaka bernama Shikano Buzaemon yang mencari makan di Edo memulai pertunjukan bercerita yang dikenal sebagai Zashiki Shikatabanashi di gubuk pertunjukan sandiwara atau di rumah pemandian umum. Pada waktu itu, pencerita Tsuyuno Gorobē sudah dikenal di Shijogawara Kyoto dan bahkan sudah mengadakan pertunjukan di istana untuk menghibur Putri Kaisar dari Kaisar Gomizunō. Di Osaka terkenal pencerita Yonezawa Hikohachi yang mengadakan pertunjukan sampai ke Nagoya. Cerita klasik rakugo berjudul Jugemu tentang nama anak yang diberi nama panjang sekali kabarnya berasal dari cerita karangan Yonezawa Hikohachi generasi pertama.

Memasuki paruh kedua abad ke-18, para penulis yang pernah menyusun Zappai dan Kanazoshi (buku dalam tulisan kana) memulai pekerjaan mengumpulkan cerita-cerita di Kamigata. Pada masa itu, seniman Kyōka bernama Hakurikan Bōun banyak melahirkan naskah Edo rakugo. Utei Enba memulai pengumpulan naskah pada tahun 1770-an di Kamigata dan di Edo pada tahun 1786. Pada tahun 1798, Sanshōtei Karaku generasi pertama dan Okamoto Mansaku masing-masing mendirikan dua gedung pertunjukan rakugo (yose) di Edo. Setelah itu jumlah gedung pertunjukan rakugo di Edo makin bertambah banyak.

Sanyūtei Enchō adalah rakugoka terkenal sejak zaman Akhir Keshogunan Tokugawa hingga era Meiji. Buku steno (sokkibon) yang ditulisnya memberi pengaruh pada kesusastraan zaman itu, khususnya pada komposisi penulisan bahasa sehari-hari yang disamakan dengan bahasa tertulis (genbun icchi)

Pada tahun 1905, Sanyūtei Ensa I mendirikan perkumpulan peneliti rakugo dengan tujuan memajukan rakugo. Pada sekitar tahun 1945, perkumpulan penggemar rakugo di universitas dalam bentuk klub rakugo mahasiswa yang dikenal dengan sebutan Ochiken mulai terbentuk sekitar tahun 1945-an yang dimulai di Universitas Tokyo dan Universitas Waseda. Kontes rakugo antar mahasiswa disebut Kontes Rakugo Nasional antar Mahasiswa - Sakuden Award untuk memperingati Anrakuan Sakuden yang dianggap sebagai nenek moyang rakugo. Kontes ini diadakan setahun sekali di kota Gifu karena Anrakuan Sakuden ditahbiskan sebagai biksu di kuil Jōonji kota Gifu.

Rakugoka ternama

sunting

Edo (Tokyo)

sunting

Kamigata (Osaka)

sunting

Pranala luar

sunting