Regulasi pesawat nirawak
Artikel atau sebagian dari artikel ini mungkin diterjemahkan dari Regulasi pesawat nirawak di en.wiki-indonesia.club. Isinya masih belum akurat, karena bagian yang diterjemahkan masih perlu diperhalus dan disempurnakan. Jika Anda menguasai bahasa aslinya, harap pertimbangkan untuk menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini. Anda juga dapat ikut bergotong royong pada ProyekWiki Perbaikan Terjemahan. (Pesan ini dapat dihapus jika terjemahan dirasa sudah cukup tepat. Lihat pula: panduan penerjemahan artikel) |
Penggunaan pesawat udara tanpa awak (UAV) atau dengan istilah umumnya Drone, diatur oleh otoritas penerbangan nasional di masing-masing negara.
Sejarah
suntingSalah satu hal penting dalam perkembangan teknologi pesawat udara tanpa awak yang bersifat komersial adalah peranannya terhadap faktor keselamatan. Berbagai lembaga sertifikasi bekerja-keras untuk mengikuti tuntutan dari industri UAV yang berkembang pesat saat ini. Sehingga standard keselamatan untuk pesawat berawak mulai berlaku di lingkungan UAV. Untuk suatu sistem elektronik yang kompleks (menyediakan komunikasi dan kontrol sistem), harus mematuhi DO-178C dan DO-254 yang ditujukan untuk pengembangan perangkat lunak dan perangkat keras.[1] Dalam beberapa kondisi, pesawat tanpa awak hanya dapat dioperasikan sebagai bagian yang menyatu dari suatu sistem. Oleh karena itu digunakan istilah "sistem pesawat tanpa awak" atau UAS (Unmanned Aerial System). UAS terdiri dari pesawat tak berawak (UAV), stasiun pilot jarak jauh (ground station), kontrol, dan komunikasi yang saling terhubung. Sehingga dengan demikian, pertimbangan keselamatan menjadi sangat penting dan harus dapat memperhatikan semua elemen ini.[2]
Pada tahun 2011,[2] Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa menerbitkan Circular 328. Di dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa pesawat udara tanpa awak (UAV) harus memenuhi tingkat keselamatan yang setara dengan pesawat berawak. Sehingga dengan demikian UAV wajib memenuhi peraturan pemerintah yang telah ditetapkan.
Regulasi UAV di Indonesia
suntingPada tahun 2015, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara di bawah Kementerian Perhubungan Indonesia, menerbitkan sebuah peraturan yang mengatur penggunaan pesawat udara tanpa awak di wilayah udara Indonesia.[3] Di dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa pesawat tanpa awak (UAV) tidak diperbolehkan terbang di atas ketinggian 120 meter, tidak diperbolehkan terbang di dalam area terlarang (prohibited area), dan di dalam area radius tertentu berdasarkan kelas dari bandara udara.
Pada tahun 2021, diterbitkan peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonsia Nomor PM 63 Tahun 2021, yang mencabut beberapa peraturan lama dan menyempurnakan Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 107 Tentang Sistem Pesawat Udara Kecil Tanpa Awak.[4]
Batas maksimal ketinggiam UAV/Drone/pesawat tanpa awak ditetapkan maksimum 120 meter (400 ft) dari atas permukaan tanah (AGL). Jika diperlukan UAV yang membutuhkan ketinggian terbang lebih dari 120 meter maka wajib memiliki ijin tertulis dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Selain itu pula, UAV yang dilengkapi dengan peralatan olahgambar (kamera) tidak boleh terbang dalam jarak 500m dari perbatasan area terlarang. Jika UAV digunakan dalam kegiatan pencitraan gambar maka operator atau pilot harus memiliki izin tertulis dari pemerintah setempat berupa sertifikat pilot drone. Dalam hal keperluan lainnya, UAV yang dilengkapi dengan peralatan pertanian seperti penyebar benih atau semprotan insektisida, hanya boleh beroperasi di dalam lahan pertanian, dan tidak boleh beroperasi dalam jarak minimum 500m dari area perumahan.[5]
Selain NFZ (No-fly zone ) dan No-Drone-Zone (Wilayah udara di sekitar bandara pada radius tertentu sesuai kelas bandara udara), juga terdapat peraturan lokal yang disebut KKOP (Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan). Merujuk pada seorang Remote Pilot Certified Indonesia dan aktivis drone Indonesia, Arya Dega[6], KKOP adalah area terbatas bagi UAV, yang tidak termasuk atau tercantum dalam NDZ atau NFZ. Antara lain: Istana Negara, gedung pemerintah, beberapa rumah sakit, dan fasilitas militer.[7][8][9][10]
Referensi
sunting- ^ a b Cary, Leslie; Coyne, James. "ICAO Unmanned Aircraft Systems (UAS), Circular 328". 2011-2012 UAS Yearbook - UAS: The Global Perspective (PDF). Blyenburgh & Co. hlm. 112–115. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 2021-03-05.
- ^ "PM 90 Tahun 2015" (pdf) (dalam bahasa Indonesian). Dirjen Perhubungan Udara, Kementrian Perhubungan Republik Indonesia. hlm. 7. Diakses tanggal 9 September 2015.
- ^ "JDIH | Kementerian Perhubungan". jdih.dephub.go.id. Diakses tanggal 2022-05-17.
- ^ Ron Bartsch; James Coyne; Katherine Gray; 2016. Drones in Society: Exploring the strange new world of unmanned aircraft. Taylor & Francis. p. 60. ISBN 978-1-315-40963-4.
- ^ "Edukasi Pilot Drone Indonesia, Arya Dega Kolaborasi dengan Pegiat Luar Negeri". kumparan. Diakses tanggal 2022-05-17.
- ^ Al-Aziz, Saparuddin (25 March 2019). "Empat Anggota Humas Polda Bali Ikuti Basic Remote Pilot Course FASI". Suarabali.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-06-27. Diakses tanggal 2019-06-29.
- ^ Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
- ^ "Sosok Arya Dega, YouTuber yang Juga Aktivis Drone Indonesia". kumparan. Diakses tanggal 2020-06-10.
- ^ "2 Pilot Drone di Yogya Ditangkap, Aktivis Drone Arya Dega Angkat Bicara - Tugumalang.id" (dalam bahasa Inggris). 2021-09-14. Diakses tanggal 2022-05-17.