Regulasi perbekalan kesehatan

Regulasi perbekalan kesehatan, yaitu obat, bahan medis, dan alat kesehatan, bervariasi menurut wilayah yurisdiksi. Di beberapa negara, misalnya Amerika Serikat, perbekalan kesehatan diatur di tingkat nasional oleh satu badan. Di wilayah yurisdiksi lain perbekalan diatur di tingkat negara bagian atau baik di tingkat negara bagian dan nasional oleh sejumlah badan, seperti di Australia.

Metilfenidat, dalam bentuk pil Ritalin

Peran regulasi perbekalan kesehatan dirancang terutama untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat. Regulasi ditujukan untuk menjamin keamanan, mutu, khasiat, dan ketersediaan perbekalan kesehatan yang tercakup dalam ruang lingkup regulasi. Di sebagian besar yurisdiksi, perbekalan kesehatan harus didaftarkan sebelum diizinkan untuk dijual. Biasanya ada pembatasan pada ketersediaan perbekalan kesehatan tertentu, tergantung pada risikonya terhadap konsumen. Pembentukan suatu regulasi perbekalan kesehatan sendiri disebabkan oleh alasan yang beragam, antara lain prinsip keagamaan, tuntutan atas tatanan sosial, peristiwa politis, perdagangan, dan krisis kesehatan.

Regulasi perbekalan kesehatan adalah regulasi yang mengendalikan perbekalan kesehatan dengan batasan ruang lingkup tertentu pada suatu wilayah.[1] Pengertian dan ruang lingkup perbekalan kesehatan dapat berbeda, tergantung wilayah yurisdiksi. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan—setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.[2] Perbekalan kesehatan dapat pula diartikan sebagai barang yang digunakan oleh manusia bersangkutan dengan:

  • mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan, atau meringankan penyakit, penyakit ringan, cacat, atau cedera;
  • memengaruhi, menghalangi, atau merubah suatu proses faal;
  • menguji kerentanan individu terhadap suatu penyakit atau penyakit ringan;
  • memengaruhi, mengendalikan, atau mencegah konsepsi; serta
  • menguji kehamilan.[3]

Perbekalan kesehatan juga dapat mencakup bahan atau komponen dalam menufakturnya serta barang yang menggantikan atau memodifikasi bagian anatomi manusia.[3] Sejumlah barang dapat dikeluarkan dari kategori perbekalan kesehatan sesuai yurisdiksi yang berlaku.[1]

Sejarah

sunting

Zaman Klasik

sunting

Sejarawan Yunani Kuno Diodorus Siculus menulis tentang bidang kedokteran Mesir Kuno yang kompleks dan terkendali. Menurutnya, pada abad ke-1 SM para dokter didanai oleh negara dan memberikan layanan pengobatan sesuai dengan hukum tertulis yang disusun oleh para dokter. Jika tidak mengikuti prosedur yang telah ditentukan, mereka dihukum mati. Prosedur tersebut tidak hanya menentukan mutu sediaan obat tetapi juga efikasi dan keamanannya. Walau riwayat kontrol terhadap obat tidak ditemukan di peradaban Yunani Kuno, inskripsi yang berasal dari abad ke-4 SM memuat pemeringatan akan penunjukan dokter Evenor sebagai pengawas obat.[4]

Abad Kuno Akhir–Abad Pertengahan

sunting

Pada abad ke-9, banyak negeri muslim membentuk badan hisbah. Mereka tidak hanya mengatur kepatuhan terhadap prinsip dan nilai moral, melainkan juga mengatur aspek lain dalam kehidupan sosial dan ekonomi, termasuk obat. Inspektur (muhtasib) bertugas untuk mengawasi mereka yang terlibat dalam pembuatan obat. Inspektur diberikan wewenang antara lain menakuti para pembuat obat akan pemenjaraan, memperingati akan sanksi yang ada, serta mengadakan pemeriksaan mendadak setelah toko obat ditutup. Para inspektur sebelumnya menjalani pelatihan seperti ahli obat serta dibekali dengan farmakope (pedoman tentang obat) dan prosedur uji yang mendeteksi kerusakan bahan-bahan obat. Dokter juga tidak luput dari pengawasan, mereka menyediakan kopi resep obat bagi keluarga pasien; jika pasien sembuh maka dokter dibayar tetapi jika pasien mati maka dokter bebas dari hukuman kalau resep dianggap sesuai prosedur pengobatan.[4] Pejabat negara, misalnya gubernur Mesir pada abad ke-8, memiliki panduan semacam materia medicasekarang serupa dengan farmakope, yang sekurang-kurangnya memuat 50 nama obat dan bahan kosmetik, serta stempel kaca. Label farmasi ditempelkan dalam keadaan setengah meleleh pada sisi stoples atau takaran obat. Stempel standar tersebut memuat (1) pejabat yang mengesahkan, dapat berupa nama atau anonim, (2) ukuran kapasitas atau bobot, dapat berupa pecahan atau kelipatan suatu satuan atau bobot, (3) nama biji, buah, bahan, atau cairan, bisa dibarengi dengan kualifikasi jenis obat, (4) tanggal (kadang), serta (5) perkataan religius yang menyuruh kepada kejujuran dan pengukuran yang adil.[5] Rumah sakit-rumah sakit juga ditemukan dibangun dan dilengkapi dengan pasokan makanan dan obat (berdasarkan materia medica)[6][7] serta perpustakaan di mana pengajaran dan diskusi kedokteran berlangsung, didanai oleh penguasa dan pemberi sumbangan; manajemen rumah sakit ini tetap diserahkan kepada para dokter, ahli obat, dll., bukan pemimpin spiritual. Percobaan yang meneliti obat dan prosedur kesehatan lainnya juga dilakukan di rumah sakit ini dan klinik.[6][8]

Kesultanan Utsmaniyah yang didirikan pada abad ke-13 adalah negeri muslim lintas benua yang tidak hanya memiliki warga negara beragama Islam—seperti negeri muslim lainnya; negeri ini diwarnai dengan trayektori kehidupan individu yang hierarki/kelas sosialnya bersifat fleksibel, mobilitas sosial dan ekonomi antargenerasi yang dinamis, serta migrasi. Sebagai akibatnya, kesultanan menerapkan hukum konsumsi (sumptuary laws) yang ketat untuk mempertahankan tatanan sosial dan ekonomi, mencegah amal penyebab dosa, dan menghindari konsumsi yang sia-sia. Di antara mereka adalah pelarangan konsumsi minuman keras—yang diketahui sebagai penghangat tubuh tetapi memabukkan, bahan-bahan yang menyebabkan ketergantungan (e.g. opium dan ganja), hasyis, serta bahan (termasuk makanan dan obat) haram lainnya. Pada abad ke-16 dan 17, penegakan hukum konsumsi ini mengalami pelemahan karena baik kelas yang berkuasa maupun rakyat dibanjiri oleh komoditi lintas budaya dan benua yang lebih murah hingga perilaku konsumsi meningkat pesat. Peristiwa tersebut juga disebabkan oleh demokratisasi dan komersialisasi kegiatan santai yang meningkat. Contohnya juga termasuk pelemahan penegakan pelarangan tembakau yang masuk pada abad ke-17 dari Eropa sebagai obat luka-luka kecil dan pemicu aborsi―bahan yang menyebabkan ketergantungan.[9][10]

Regulasi obat dunia Barat dibangun sebagai respons terhadap keanekaragaman antidot universal yang muncul karena kematian Mithradates (134-63 SM).[11] Sebelumnya, ia mengumpulkan para dokter, ilmuwan, dan dukun untuk menemukan ramuan yang membuatnya kebal terhadap racun. Setelah kematiannya, bangsa Romawi terdorong untuk terus mengembangkan resep ramuan Mithridates. Kemunculan kembali mithridatium di masyarakat Barat terjadi melalui berbagai cara. Ia pertama kali muncul kembali melalui Bald's Leechbook yang ditulis pada awal abad ke-10. Naskah pengobatan bahasa Inggris Kuno itu memuat formula beragam obat, termasuk theriac yang dianggap sebagai panacea (obat segala penyakit) dan menjadi komoditi di Eropa karena dokter bangsa Yunani dan Romawi.[12] Pada abad ke-13,[4] pembuatan ramuan dipandang sebagai ritual dan sering kali dilaksanakan di depan publik; proses pembuatannya ditonton dan dicatat. Ramuan yang diinginkan bisa saja tidak berhasil dibuat—tidak menyembuhkan—dan pihak berwenang biasanya memercayai bahwa letak kesalahan ada pada bahan yang rusak atau proses pembuatan oleh ahli obat, yang kemudian dapat dituduh bersalah berdasarkan kesaksian atas pembuatannya di muka publik. Mithridatium dan theriac tersebut baru diteliti pada 1745 dan ditemukan memiliki interaksi merugikan sehingga dicabut dari London Pharmacopoeia (Farmakope London), memicu dimulainya penelitian terhadap obat baru sebelum dipasarkan pada 1799.[12]

Pada tahun 1231–1241, Frederik II dari Sisilia mengesahkan sejumlah aturan hukum yang berkonsekuensi pada pengawasan kegiatan di bidang kedokteran dan praktik ahli obat. Para dokter dilarang mendirikan toko obat atau menjalin hubungan bisnis dengan ahli obat dan para ahli obat itu berkewajiban membuat obat yang sesuai standar dan bermutu, tidak menyebabkan efek beracun atau tidak bersifat berlebihan.[4] Titah tersebut dianggap sebagai rujukan kepada standar farmakope resmi pertama di Barat.[4][13] Dalam pemerintahan tersebut, ahli obat dikenai kontrol atas jumlah dan penempatan toko serta perhitungan harga dan keuntungan. Perkebunan tanaman obat juga dikenai regulasi.[4] Pada tahun 1540, Henry VIII menerbitkan "undang-undang" resmi pertama dan landasan bagi regulasi resmi lain di Inggris, Apothecary Wares, Drugs and Stuffs Act. Dengan demikian, ia mendorong College of Physicians yang ia dirikan pada tahun 1518 agar menunjuk empat orang dokter yang mengawasi apa yang dijual di toko-toko ahli obat dengan bantuan pengawas ahli obat tingkat kota untuk menemukan bahan yang cacat dan tidak laik digunakan dalam pengobatan. Pemilik toko obat yang menolak diperiksa harus membayar denda dan mereka yang ditemukan bersalah akan dihukum tanpa diberi kesempatan membela diri. Kala itu, para ahli obat dipandang bukan bagian dari komunitas kesehatan kerajaan dan kemudian banyak berseteru dengan dokter karena masalah peresepan: mereka tergabung dalam Grocers' Company, sebuah gilda distributor obat beserta bahan dapur, dan baru berpisah menjadi Apothecaries' Company, gilda khusus ahli obat/pembuat dan penjual obat (apothecaries) yang kemudian dikenal sebagai ahli obat (pharmacists), pada 1617 setelah diizinkan oleh Raja James I.[4][12] Beberapa judul farmakope yang diterbitkan pada masa ini dan berfungsi sebagai salah satu alat pengontrol mutu obat termasuk Nuovo receptario composto dal famossisimo Chollegio degli eximii Doctori della Arte et Medicina della inclita cipta di Firenze yang terbit pada 1498 di Florence,[12] Concordia Pharmacolorum Barcinonesium pada 1535 di Barcelona, dan Pharmacopoeia Londinensis pada 1618 di London.[4][14]

Revolusi Industri

sunting

Pada abad ke-18 di wilayah Jepang, Shogun Tokugawa Yoshimune mengadakan Reformasi Kyōhō yang mempromosikan produksi pertanian dan bahan-bahan yang berkhasiat. "Kebun tanaman obat" milik para shogun dan kebun yang diasuh oleh daimyō di seluruh kepulauan itu menjadi tempat percobaan terhadap tanaman yang berasal dari luar negeri dan Jepang. Dengan demikian, pemerintah Jepang yang juga disebut sebagai bakufu, mendirikan "kantor-kantor pemeriksaan obat domestik" di Edo, Osaka, Sakai, Kyoto, dan Sunpu pada 1722—yang kemudian dibubarkan pada 1738. Di kota-kota tersebut, jumlah anggota tengkulak obat dengan hak dagang istimewa (kabu) dibatasi. Perwakilan tengkulak menerima pelatihan ahli herbal bakufu dan bertugas mengawasi keabsahan dan komposisi obat domestik (obat Jepang) serta obat campuran racikan asing (obat Tiongkok). Sebuah farmakope, Wayakushu rokkajō (Enam Artikel Golongan Obat Jepang), diterbitkan pada tahun yang sama. Pada abad ke-19, Biro Sanitasi Pusat menerbitkan "kode sanitasi" (juga disebut "regulasi kesehatan", isei) mengatur obat yang rusak dan beracun beserta obat paten, penetapan pemeriksaan obat impor oleh pemerintah, perizinan manufaktur farmasi dan apotek, serta standardisasi formula obat. Nihon yakkyoku hō (Farmakope Jepang) terbit pada 1886.[15]

Pada abad ke-19 dan 20, tren transnasional dan konvensi-konvensi internasional atas perizinan suatu obat/bahan mulai terbentuk. Pada masa itu, industri farmasi yang baru bermunculan mendukung penggunaan obat mandiri (swamedikasi) untuk penyakit menular yang terus hadir pada masyarakat di negeri-negeri yang sedang mengalami industrialisasi. Perilaku konsumsi obat oleh pasien dipengaruhi oleh dua pihak yang bertentangan, yaitu tenaga kesehatan dan pihak industri farmasi yang bekerja sama dengan industri periklanan yang baru muncul.[15] Pembatasan obat hanya jika diresepkan belum muncul secara berarti sejak abad ke-5 SM; di sisi lain, regulasi obat berbahaya di Barat baru mulai dijalankan dengan Arsenic Act of 1851 dan Pharmacy Act of 1868 yang mengatur penggolongan obat-obat berbahaya dan pendaftaran ahli obat yang menyediakannya (masih tanpa pembatasan penjualan) di Inggris.[4] Para tenaga kesehatan mengkhawatirkan kesalahan penggunaan obat dan pemerintah berusaha meningkatkan kesehatan masyarakat sehingga regulasi pasar obat paten mulai diterapkan pada 1914 di Inggris.[4][15] Praktik dengan obat tradisional mengalami inersia; pemakaiannya menjadi lebih jarang dan dalam dosis yang lebih kecil di Barat. Di belahan dunia yang lain, hal serupa terjadi dengan, misalnya, adanya protostruktur manufaktur obat di Jepang tetapi pada awal masa ini mereka masih mengadopsi obat "modern" dari Barat melalui integrasi dengan kerangka pikir yang telah ada dalam penggunaan obat dan pola makan.[15]

Sejarawan sepakat bahwa kebijakan kesehatan masyarakat di pemerintahan Meiji pada 1870-an dan 1880-an merupakan "bagian gerakan besar inisiasi pemerintah dalam meningkatkan produksi, mempromosikan industri, memperkaya negara, dan memperkuat militer". Tujuan regulasi obat paten tahun 1870 adalah menghapus panacea (manbyō yaku) tradisional dan mempromosikan "obat yang berkhasiat untuk penyakit yang khusus" (tokkōyaku), umumnya adalah formula obat dari Barat. Namun, keanekaragaman obat yang ada dan keterbatasan prosedur pemeriksaan obat membuat hal itu gagal diterapkan. Regulasi obat paten tahun 1877 menetapkan lisensi formula obat paten yang diizinkan (baiyaku eigyō zei) dengan lebih rinci, menyebabkan penurunan jumlah produsen sediaan farmasi yang drastis. Pada 1923, lisensi pabrik obat kemudian digantikan dengan pajak usaha dagang yang umum dan pada 1926 bea meterai obat paten dihilangkan untuk meringankan biaya pengobatan masyarakat kurang sejahtera.[15]

Select Committee on Patent Medicines, yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan Inggris,[1] menghasilkan sejumlah rekomendasi tentang obat paten pada 1914. Rekomendasi tersebut antara lain pengaturan periklanan dan penjualan obat oleh satu departemen; pendaftaran produsen, pemilik, dan importir kepada departemen tersebut; pengaturan klaim khasiat obat kepada departemen tersebut; pengaturan periklanan lainnya, dll. Namun, sebagian rekomendasi tidak terlaksana atau baru diangkat pada Medicines Act of 1968. Industri dibiarkan meregulasi dirinya sendiri dengan persetujuan produk dari Dewan Penelitian Medis (Medical Research Council) hingga pengaturan sistem lisensi diadakan pada Therapeutic Substances Act 1925 untuk sediaan tertentu, yakni produk biologi, dan pada sejumlah aturan baru tentang perizinan obat paten di kemudian hari.[4]

Pelarangan obat internasional

sunting

Pada mulanya, obat-obatan dan pengimporannya di masa kekaisaran Tiongkok tidak dibatasi secara ketat oleh pemerintah[16][17]—para bangsawan dan pejabat secara terbuka menggunakan opium sebagai obat rekreasi. Pada abad ke-17, rakyat kelas bawah pun turut menggunakan opium tidak hanya sebagai bahan pengobatan, secara mencolok kemudian menampakkan epidemi ketergantungan dan masalah sosial-ekonomi menurut pandangan kaisar. Karena epidemi semakin menjadi-jadi, pelarangan opium ditetapkan secara berulang pada abad ke-17 dan 18.[17][18][19] Peperangan Opium terjadi karena kerajaan Barat (khususnya Inggris pada Perang Opium I) menolak menutup manufaktur dan hubungan dagang opium dengan Tiongkok mulai pada awal abad ke-19. Peristiwa itu mendorong sejumlah kritik yang pada akhirnya menjadi salah satu faktor pembentukan perjanjian pengawasan obat-obatan terlarang internasional pertama, Konvensi Opium Internasional yang ditandatangani di Den Hag pada 1912.[18][20][21]

Konsep perdagangan obat terlarang sebagai masalah kejahatan internasional tumbuh pada masa di antara dua Perang Dunia. Pada tahun 1920-an, obat-obatan terlarang banyak digambarkan sebagai ancaman dari luar negeri/kelompok etnis tertentu di Inggris dan Amerika Serikat, yang khawatir akan pembalasan oleh daerah-daerah koloni, terutama di Timur Jauh. Berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani di Paris pada 1919, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) bertanggung jawab mengawasi pelaksanaan perjanjian mengenai perdagangan obat dan membentuk Komisi Penasihat tentang Opium dan Obat Berbahaya Lainnya (Advisory Commission on Opium and Other Dangerous Drugs/Opium Advisory Committee, OAC). International Criminal Police Commission (ICPC, kemudian dikenal sebagai Interpol) didirikan pada 1923 di Eropa sebagai respons terhadap kemunculan generasi baru pelaku tindak kriminal—pencuri, penipu, dan pemalsu uang; pedagang budak kulit putih; serta pedagang obat terlarang. Setelah itu, Tiongkok, Jepang, dan Turki bergabung dan turut menyepakati resolusi Kongres Berlin tahun 1926 yang menetapkan pendirian pusat layanan kepolisian di masing-masing negara yang bekerja sama dalam penyebaran nama pedagang obat terlarang dan dokumen terkait. Pada 1929, OAC sepakat bekerja sama dengan ICPC dalam membuat “daftar hitam” pedagang obat dan melakukan diskusi rahasia. Sebagai akibatnya, para pedagang obat terlarang membuat metode baru suplai, pengantaran, dan organisasi. Pada 1940-an, penyelundupan obat menjadi bisnis yang lebih besar, melibatkan beragam metode dan kelompok, termasuk mata-mata, pimpinan militer, dan prajurit.[21] Kajian pada abad ke-21 menunjukkan bahwa penyelundupan obat juga banyak terjadi ke dalam penjara, secara umum, yang beralih fungsi dari pusat rehabilitasi tahanan menjadi tempat pemberian sanksi semata,[22][23] disebabkan oleh permintaan suplai untuk swamedikasi (psikiatri), kegiatan mengisi waktu, atau pembentukan jaringan sosial dalam penjara; penggantian penggunaan obat terlarang dengan obat resep dokter, alkohol buatan sendiri, atau pilihan lain yang memunculkan perkara kesehatan; serta peran obat sebagai komponen utama "ekonomi ilegal" penjara.[23]

Hingga awal abad ke-21, beberapa paradigma kebijakan bersangkutan penggunaan obat terlarang berkembang di berbagai negara. Diketahui bahwa kategori kebijakan menjadi dasar alokasi pendanaan program: pelarangan dan penghambatan penyelundupan obat dari luar negeri, penangkapan dan pemenjaraan pengguna, regulasi pasar obat, pengobatan, dan pencegahan. Paradigma kebijakan-kebijakan tersebut bersangkutan intervensi terhadap pelaku dalam alur perdagangan suplai dan permintaan, berdasarkan kerangka libertarian dan moralisme hukum. Di saat yang sama, paradigma pembahasan kebijakan berdasarkan konsekuensialisme berkembang dengan adanya tujuan mengurangi prevalensi (mengurangi jumlah pengguna), mengurangi kuantitas (mengurangi jumlah yang dikonsumsi oleh setiap pengguna), dan mengurangi kerugian (mengurangi kerugian/bahaya rata-rata per dosis, termasuk bahaya bagi pengguna maupun nonpengguna).[24]

Pengujian untuk perizinan

sunting

Pada abad ke-20 dan 21, sejumlah peristiwa menyebabkan penyesuaian regulasi obat dan kesehatan dengan perkembangan manufaktur perbekalan kesehatan. Bencana kesehatan berupa malaformasi bayi di seluruh penjuru dunia[4] akibat penggunaan talidomid oleh ibu hamil mendorong pengesahan amandemen Kefauver-Harris 1962 di Amerika Serikat, yang memperketat pengawasan pengujian obat dan mengharuskan persetujuan setelah penjelasan (informed consent).[25] Di Inggris, bencana talidomid mendorong pembentukan Komite Keamanan Obat (Committee on Safety of Drugs) oleh Kementerian Kesehatan yang mengawasi keamanan obat baru dari industri sebelum uji klinis, sebelum pemasaran, dan setelah pemasaran berdasarkan bukti hasil uji yang disediakan oleh pihak industri. Komite ini menjalankan tugas hingga Medicines Act disahkan pada 1968 di Inggris.[4]

Pada 1964 di Helsinki, Asosiasi Medis Dunia (World Medical Association, WMA) merincikan prinsip umum dan pedoman spesifik penggunaan subjek manusia dalam penelitian medis, dokumen yang dihasilkan adalah Deklarasi Helsinki. Dokumen ini diperbaharui secara berkala, setiap beberapa tahun. Namun, penggunaan plasebo dan ketersediaan layanan kesehatan pascapercobaan menjadi masalah yang terus diperdebatkan.[25] Pada 1996, International Conference on Harmonization (Konferensi Harmonisasi Internasional, ICH) menerbitkan Good Clinical Practice (Praktik Klinis yang Baik, GCP), yakni standar universal penyelenggaraan uji klinis yang etis.[25]

Ketersediaan obat

sunting

Perjanjian internasional kekayaan intelektual (intellectual property, IP) pertama diadakan dalam Konvensi Paris tahun 1883. Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, IP/paten digunakan oleh negara-negara Barat untuk mengamankan monopoli impor masing-masing dari wilayah produsen yang tengah dijajah/dikolonisasi. Setelah dekolonisasi mulai menyebar luas, sejumlah negara di belahan dunia Selatan tidak menggunakan sistem paten tetapi pengaruh imperialisme kekuatan Barat kembali memberi batasan dengan berlakunya hukum paten melalui bergabungnya negara-negara baru tersebut ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization, WTO).[26] Pemerintah yang memiliki perusahaan transnasional dengan paten dianggap diuntungkan karena dapat meningkatkan standar hak paten dalam kancah global, terutama di negara berkembang.[27]

Setelah epidemi HIV/AIDS menjadi parah, negara anggota WTO mengadopsi Declaration on TRIPS and Public Health (Deklarasi Doha) pada 2001. Deklarasi tersebut menegaskan kembali hak negara berkembang dalam melindungi populasi yang mereka miliki dan hak menginterpretasi perjanjian TRIPS yang menggantikan Konvensi Paris agar mendukung prinsip obat untuk semua. Menurut Deklarasi Doha, perlindungan IP/paten dapat disingkirkan untuk sementara waktu dalam menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat dan hal-hal yang menjadi perhatian sesuai pernyataan pemerintah negara anggota WTO tersebut.[26]

Pada saat obat-obatan bermerk tersedia dengan harga premium, obat generik menjadi pilihan karena mengandung senyawa aktif yang sama dengan produk bermerk. Obat generik diproduksi oleh perusahaan farmasi setelah paten kedaluwarsa (dua puluh tahun menurut TRIPS). Namun demikian, perusahaan farmasi transnasional sering kali membentuk pandangan bahwa obat generik berkualitas lebih rendah daripada obat paten. Selain itu, mereka juga melakukan evergreening, yaitu praktik memperpanjang periode paten eksklusif dengan pengubahan bagian kecil senyawa kimia produk farmasi. Ketentuan data uji tertutup dan ketentuan-ketentuan lain menurut TRIPS pun membuat negara-negara dengan perusahaan transnasional menghalangi terwujudnya maksud Deklarasi Doha bagi negara berkembang.[27]

Lain-lain

sunting

Pada tahun 2006, masalah yang berkaitan dengan teralizumab menyoroti kekurangan model hewan dan memulai langkah baru dalam regulasi dan pengembangan produk biologi. Rofekoksib menjadi contoh obat yang ditarik karena sebelum pemasaran tidak menunjukkan bahaya yang nyata dalam penggunaannya; konsep "perencanaan manajemen risiko" berkembang dalam lingkup regulasi karena kebutuhan pemahaman atas manajemen beragam aspek keamanan.[28]

Referensi

sunting
  1. ^ a b "Guideline on the Regulation of Therapeutic Products in New Zealand" (PDF). Diakses tanggal 2022-12-23. 
  2. ^ "Undang-undang (UU) tentang Kesehatan". Diakses tanggal 2022-12-23. 
  3. ^ a b "What are 'therapeutic goods'?". Diakses tanggal 2022-12-23. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m Penn, R. G. (1979-10). "The state control of medicines: the first 3000 years". British Journal of Clinical Pharmacology. 8 (4): 293–305. doi:10.1111/j.1365-2125.1979.tb04710.x. ISSN 0306-5251. PMC 1429842 . PMID 389263. 
  5. ^ MILES, GEORGE C. (1960-10-01). "Egyptian Glass Pharmaceutical Measures of the 8th Century A.D." Journal of the History of Medicine and Allied Sciences. XV (4): 384–389. doi:10.1093/jhmas/XV.4.384. ISSN 0022-5045. 
  6. ^ a b HAMARNEH, SAMI (1972-01-01). "Development of Arabic Medical Therapy in the Tenth Century". Journal of the History of Medicine and Allied Sciences. XXVII (1): 65–79. doi:10.1093/jhmas/XXVII.1.65. ISSN 0022-5045. 
  7. ^ LEVEY, MARTIN (1971-10-01). "The Pharmacological Table of ibn Biklārish". Journal of the History of Medicine and Allied Sciences. XXVI (4): 413–421. doi:10.1093/jhmas/XXVI.4.413. ISSN 0022-5045. 
  8. ^ HAMARNEH, SAMI (1962-07-01). "Development of Hospitals in Islam". Journal of the History of Medicine and Allied Sciences. XVII (3): 366–384. doi:10.1093/jhmas/XVII.3.366. ISSN 0022-5045. 
  9. ^ Karababa, Emınegül; Ger, Gülız (2011-02-01). "Early Modern Ottoman Coffeehouse Culture and the Formation of the Consumer Subject". Journal of Consumer Research. 37 (5): 737–760. doi:10.1086/656422. ISSN 0093-5301. 
  10. ^ Grehan, James (2006-12-01). "Smoking and "Early Modern" Sociability: The Great Tobacco Debate in the Ottoman Middle East (Seventeenth to Eighteenth Centuries)". The American Historical Review. 111 (5): 1352–1377. doi:10.1086/ahr.111.5.1352. ISSN 0002-8762. 
  11. ^ Silver, Carly (2017-01-10). "How Ancient Cure-Alls Paved the Way for Drug Regulation". The Atlantic (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-31. 
  12. ^ a b c d Griffin, J. P. (2004-09). "Venetian treacle and the foundation of medicines regulation". British Journal of Clinical Pharmacology. 58 (3): 317–325. doi:10.1111/j.1365-2125.2004.02147.x. ISSN 0306-5251. PMC 1884566 . PMID 15327592. 
  13. ^ Drug benefits and risks : international textbook of clinical pharmacology. Christoffel Jos van Boxtel, B. Santoso, I. Ralph Edwards, IOS Press (edisi ke-Rev. 2nd ed). Amsterdam: Ios Press. 2008. ISBN 978-1-60750-345-3. OCLC 491264348. 
  14. ^ Key issues in pharmaceuticals law. José Luis Valverde. Amsterdam: IOS Press. 2007. ISBN 978-1-58603-840-3. OCLC 222133353. 
  15. ^ a b c d e Vitale, Judith (2021-08-01). "Opiates and the 'Therapeutic Revolution' in Japan". Social History of Medicine. 34 (3): 938–961. doi:10.1093/shm/hkaa051. ISSN 0951-631X. 
  16. ^ Luk, Bernard Hung-kay (1977). "Abortion in Chinese Law". The American Journal of Comparative Law. 25 (2): 372. doi:10.2307/839846. ISSN 0002-919X. 
  17. ^ a b Yangwen, Zheng (2005). The Social Life of Opium in China. Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/cbo9780511819575. ISBN 978-0-521-84608-0. 
  18. ^ a b Crime, United Nations Office on Drugs and (2013-01-24). Bulletin on Narcotics, Volume LIX, Nos. 1 and 2, 2007: A Century of International Drug Control (dalam bahasa Inggris). United Nations. doi:10.18356/a7fd22eb-en. ISBN 978-92-1-054754-3. 
  19. ^ Lodwick, Kathleen L. (2005). "Narcotic Culture: A History of Drugs in China (review)" (PDF). China Review International (dalam bahasa Inggris). 12 (1): 74–76. doi:10.1353/cri.2005.0147. ISSN 1527-9367. 
  20. ^ "UNODC - Bulletin on Narcotics - 1962 Issue 4 - 004". United Nations : Office on Drugs and Crime (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-28. 
  21. ^ a b Knepper, Paul (2016-07-07). Knepper, Paul; Johansen, Anja, ed. Dreams and Nightmares (dalam bahasa Inggris). 1. Oxford University Press. doi:10.1093/oxfordhb/9780199352333.013.42. 
  22. ^ Mitchell, Ojmarrh (2011-09-29). Drug and Other Specialty Courts. Oxford University Press. doi:10.1093/oxfordhb/9780195395082.013.0027. 
  23. ^ a b Wheatley, Michael; Weekes, John R.; Moser, Andrea E.; Thibault, Kathleen (2017-02-06). Wooldredge, John; Smith, Paula, ed. Drugs and Prisons (dalam bahasa Inggris). 1. Oxford University Press. doi:10.1093/oxfordhb/9780199948154.013.14. 
  24. ^ Maccoun, Robert J.; Martin, Karin D. (2011-08-04). Drugs. Oxford University Press. doi:10.1093/oxfordhb/9780199844654.013.0021. 
  25. ^ a b c Bhatt, Arun (2010-01). "Evolution of clinical research: a history before and beyond james lind". Perspectives in Clinical Research. 1 (1): 6–10. ISSN 2229-5488. PMC 3149409 . PMID 21829774. 
  26. ^ a b Vanni, Amaka (2019). Patent games in the global south: pharmaceutical patent law making in Brazil, India and Nigeria. Studies in international trade and investment law. Oxford London New York New Delhi Sydney: Hart. ISBN 978-1-5099-2740-1. 
  27. ^ a b Sundaram, Jae (2018). Pharmaceutical patent protection and world trade law: the unresolved problem of access to medicines. Routledge research in intellectual property. London New York: Routledge, Taylor & Francis Group. ISBN 978-1-315-26769-2. 
  28. ^ Emanuel, Michael; Rawlins, Michael; Duff, Gordon; Breckenridge, Alasdair (2012-09-01). "Thalidomide and its sequelae". Lancet (London, England). 380 (9844): 781–783. doi:10.1016/S0140-6736(12)60468-1. ISSN 1474-547X. PMID 22939670.