Ritus Romawi

konsep peribadatan kekristenan

Ritus Romawi atau Ritus Roma merupakan istilah ritus liturgis dari Gereja Roma. Istilah Ritus Latin biasanya bukan diartikan sebagai suatu ritus liturgis melainkan sebagai Gereja Partikular dalam Gereja Katolik yang kadang-kadang disebut pula sebagai Patriarkat Barat, yang di dalamnya terdapat ritus-ritus liturgis selain Ritus Roma yang masih digunakan sampai sekarang.

Altar gereja Santa Cecilia in Trastevere di Roma, tahun 1700

Sebagaimana ritus-ritus liturgis lainnya, Ritus Roma telah berkembang dan mengalami penyesuaian-penyesuaian dari abad ke abad. Perkembangan Liturgi Ekaristinya dapat dibagi menjadi tiga tahap: Pra-Tridentina, Tridentina, dan Paska-Tridentina.

Perbandingan dengan Ritus-Ritus Timur

sunting

Jika ritus-ritus lainnya menggunakan bahasa yang lebih puitis, Ritus Romawi justru dikenal karena ungkapan-ungkapannya yang lugas. Dalam bentuk Tridentinanya, Ritus Romawi dikenal pula karena formalitasnya: dalam Misa Tridentina tiap gerakan dirinci dalam hitungan menit, sampai jarak gerakan tangan imam untuk memasukkan tangan kanannya terlebih dahulu sebelum lengan kirinya pada saat mengenakan alba (Ritus servandus in celebratione Missae, I, 3). Konsentrasi pada momen yang tepat dari perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus mengakibatkan, dalam Ritus Romawi, hosti dan piala diunjukkan kepada umat segera setelah hosti atau piala itu dikonsekrasi. Jika, sebagaimana umumnya dulu, imam mempersembahkan Misa sambil menghadap ad orientem (ke arah Timur) atau ad apsidem (ke arah apsis - membelakangi umat), maka dia mengunjukkan hosti dan piala kepada umat dengan cara mengangkatnya melampaui kepalanya. Tiap kali pengunjukkan, genta dibunyikan, jika dupa digunakan, maka hosti dan piala didupai (Petunjuk Umum Misa Romawi, 100). Kadang kala lonceng-lonceng Gereja didentangkan pula. Ciri-ciri lain yang membedakan Ritus Romawi dari ritus-ritus Gereja-Gereja Timur adalah genufleksi (gerakan menghormat dengan cara mencondongkan tubuh bagian atas ke depan sambil berdiri) yang sering, berlutut dalam waktu yang lama, dan kedua telapak tangan disatukan, seperti kebiasaan orang-orang Asia Timur dan Asia Selatan bilamana sedang berdoa.

Pendapat Adrian Fortescue mengenai antikuitas Ritus Romawi

sunting

Dalam membandingkan Ritus Romawi dengan ritus-ritus Timur, sarjana liturgi terkenal Adrian Fortescue berpendapat: "Tak satu pun Ritus Timur yang masih digunakan sekarang ini yang sama tuanya dengan Ritus Romawi"; dan secara puitis dia menyatakan bahwa "Misa [Romawi] berasal, tanpa perubahan berarti, dari masa ketika Misa pertama kalinya dikembangkan dari liturgi purba. Misa masih meguarkan aroma liturgi itu, yang berasal dari zaman Kaisar masih menguasai dunia dan menyangka dapat melenyapkan iman akan Kristus, manakala para bapa kita berhimpun sebelum fajar menyingsing dan menyanyikan himne bagi Kristus seperti kepada Allah. Hasil akhir dari penelitian kita adalah bahwasanya, meskipun ada masalah-masalah yang tak terpecahkan, dan adanya perubahan-perubahan mutakhir, tak ada dalam dunia Kristen ritus lain yang begitu luhur."[1]

Adrian Fortescue tidak menyangkal bahwa Ritus Romawi mengalami perubahan-perubahan mendalam sejalan dengan perkembangannya. Dalam tulisannya mengenai Liturgi Misa pada Catholic Encyclopedia,[2] dia menunjukkan bahwa bentuk paling awal dari Ritus Romawi, seperti yang tertulis dalam catatan peninggalan Yustinus Martir dari abad ke-2, berciri Timur, sedangkan kitab-kitab Sacramentarium karya Paus Leo dan Paus Gelasius, dari sekitar abad ke-6, "praktis memperlihatkan kepada kita Misa Romawi kita saat ini." Pada rentang waktu antara keduanya terdapat apa yang disebut Fortescue sebagai "suatu perubahan radikal". Dia mengutip teori dari A. Baumstark bahwa "Hanc Igitur", "Quam oblationem", "Supra quæ" dan "Supplices", serta daftar orang-orang kudus dalam "Nobis quoque" ditambahkan ke dalam Kanon Misa Romawi di bawah "campuran pengaruh dari Antiokhia dan Aleksandria", Dan bahwa "St. Leo I yang mulai melakukan perubahan-perubahan tersebut; Gregorius I merampungkan prosesnya dan akhirnya mereka-ulang Kanon Misa dalam bentuknya yang ada sekarang."

Fortescue sendiri menyimpulkan:

Yang dapat kita simpulkan dari paragraf ini adalah bahwa di Roma Doa Syukur Agung diubah secara fundamental dan direka-ulang pada suatu rentang waktu antara abad ke-4 dan ke-6 serta abad ke-7. Selama waktu yang sama doa-doa umat sebelum Persembahan dihilangkan, salam damai dipindahkan ke sesudah Konsekrasi, dan Epiklesis dilewatkan atau dimutilasi menjadi doa "Supplices" kita. Dari sekian banyak teori menyangkut hal ini, tampaknya masuk akal bagi kita untuk bersama Rauschen mengatakan: "Sekalipun pertanyaannya telah ditetapkan, ada kecocokan dengan teori Drews sehingga saat ini teorinya haruslah dianggap teori yang benar. Oleh karena itu mesti kita akui bahwa antara tahun 400 dan 500 telah terjadi suatu transformasi besar dalam Kanon Romawi" (Euch. u. Busssakr., 86).

Dalam artikel yang sama Fortescue selanjutnya membahas mengenai banyaknya perubahan yang dialami Misa Ritus Romawi sejak abad ke-7 (lihat Misa Pra-Tridentina), khususnya oleh masuknya unsur-unsur Gallia, yang terutama dapat dilihat dari adanya variasi-variasi sepanjang tahun. Masuknya unsur-unsur Gallia ini disebut Fortescue sebagai "perubahan terakhir sejak Gregorius Agung" (yang wafat pada tahun 604).

Anafora atau Doa Syukur Agung yang biasanya digunakan dalam Ritus Bizantium diyakini disusun oleh Santo Yohanes Krisostomus, yang wafat pada tahun 404, tepat dua abad sebelum Santo Gregorius Agung. Dan Doa Syukur Agung Addai dan Mari dari tradisi Suriah Timur, yang masih digunakan sampai sekarang, tentunya jauh lebih tua.

Tata Ruang Gedung Gereja

sunting

Ritus Romawi sudah tidak lagi menggunakan pulpitum, yakni sekat pemisah yang menjadi ciri khas beberapa Katedral Abad Pertengahan di Eropa Utara, atau ikonostasis atau tabir yang sangat penting artinya dalam beberapa ritus lain. Dalam gedung-gedung Gereja besar dari Abad Pertengahan dan awal Renaissance, area dekat altar utama, yang dikhususkan bagi klerus, dipisahkan dari area umum (area bagi umat non-klerus) dengan sebuah sekat yang didirikan mulai dari lantai hingga ambang tempat berdiri salib besar gedung Gereja tersebut dan kadang-kadang di atasnya dijadikan tempat paduan suara. Akan tetapi, sejak kira-kira tahun 1800 Ritus Romawi meninggalkan penggunaan sekat tersebut, sekalipun demikian sampai sekarang masih terdapat beberapa contoh yang indah dari sekat-sekat tersebut.

Kidung

sunting

Bagi telinga orang Barat, kidung tradisional Ritus Romawi, yang dikenal sebagai Kidung Gregorian, kurang memiliki hiasan musikal dibanding kidung ritus-ritus Timur (kecuali dalam bagian-bagian tertentu seperti gradual dan alleluia), tidak memiliki cengkok panjang seperti dalam kidung-kidung Gereja Koptik, dan seluruhnya monofonik, tanpa susunan harmoni seperti dalam kidung-kidung Gereja Rusia dan Georgia pada masa kini. Namun, ketika Eropa Barat mulai menggunakan polifoni, musik dalam Misa Ritus Romawi menjadi lebih rumit dan panjang. Pada saat paduan suara menyanyikan salah satu bagian Misa, imam mengucapkan sendiri dengan cepat bagian tersebut dengan suara pelan dan meneruskan ke bagian selanjutnya, atau mengikuti petunjuk dalam rubrik untuk duduk dan menanti sampai paduan suara selesai. Selain itu, jika dalam ritus-ritus kuno lainnya liturgi dinyanyikan sepanjang ibadah, maka dalam Ritus Romawi bentuk Tridentina dan selama beberapa abad sebelumnya, imam biasanya hanya mengucapkan kata-kata Misa, sebagian besar diucapkan dengan suara pelan. Klerus bisanya melagukan kidung dalam kesempatan-kesempatan istimewa dan dalam Misa utama di biara-biara serta katedral-katedral.

Lihat pula

sunting

Pranala luar

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Fr. Adrian Fortescue, Misa: Sebuah studi mengenai Liturgi Romawi, s.l., 1912, p. 213
  2. ^ Catholic Encyclopedia, Liturgy of the Mass