Salaryman
Salaryman (bahasa Jepang: サラリーマン , Sararīman, orang gajian) adalah sebutan untuk seseorang yang pendapatannya berbasis gaji, terutama mereka yang bekerja untuk perusahaan besar (korporasi). Kata ini banyak ditemukan dalam buku dan artikel yang berkaitan dengan budaya Jepang. Ia sering digunakan terutama di perusahaan-perusahaan Jepang, dan kemunculannya dalam manga dan anime Jepang secara bertahap telah menyebabkannya diterima di negara-negara berbahasa Inggris sebagai kata benda untuk pekerja kerah putih (white-collar businessman) Jepang. Sesungguhnya setelah Perang Dunia II usai, menjadi salaryman dipandang sebagai pintu gerbang menuju gaya hidup kelas menengah yang stabil. Namun dalam penggunaan modern, istilah ini berasosiasi dengan jam kerja yang panjang, prestise yang rendah dalam hierarki korporasi, tidak adanya sumber pendapatan yang penting selain gaji, perbudakan upah, dan karōshi. Istilah salaryman merujuk hampir secara eksklusif kepada laki-laki.
Gambaran sosial
suntingKemunculan salaryman di masyarakat Jepang telah melahirkan banyak penggambaran di media dan berbagai kartun. Berikut ini adalah stereotip gambaran dari seorang salaryman:
- Gaya hidup seluruhnya berkutat di sekitar pekerjaannya di kantor.
- Bekerja lembur setiap hari.
- Rajin tetapi tidak orisinal.
- Benar-benar taat bila mendapat perintah dari jabatan yang lebih tinggi di perusahaan.
- Memiliki ikatan emosional yang kuat dengan rekan sekerja.
- Minum-minum, main golf, dan mahjong adalah tiga kegiatan sosial utama yang memberikan stimulasi di luar pekerjaan.
- Kurang inisiatif dan keinginan bersaing.
- Mengenakan setelan jas, dasi, dan sepatu kerja setiap hari tanpa terkecuali.
- Karaoke larut malam.
Gambar gaya hidup yang seluruhnya berkutat di sekitar pekerjaan melahirkan nama-nama untuk mengolok-olok salarymen; seperti shachiku (社畜 ) yang berarti "hewan ternak perusahaan", dan kaisha no inu (会社の犬 ) yang berarti "anjing perusahaan".
Gambar sosial yang ada mungkin berbeda sesuai dengan periode waktu dan situasi ekonomi yang berbeda pula. Sebagai contoh, gambaran salaryman selama masa gelembung harga aset Jepang adalah seorang prajurit bisnis yang bersenjatakan minuman energi; sedangkan dalam periode pasca-gelembung adalah seorang pekerja yang meringkuk takut menghadapi pengurangan karyawan atau pemotongan gaji. Citra salaryman dalam tiap periode sering kali mencerminkan kondisi sosial keseluruhan Jepang saat itu.
Datsusara
suntingDatsusara (脱サラ ) mengacu pada tindakan berhenti bekerja sebagai salaryman dan mencari pekerjaan baru. Istilah ini hanya merujuk kepada mereka yang berhenti dari pekerjaan kantor mereka untuk menemukan pekerjaan lain yang lebih memenuhi panggilan jiwa; dan bukan orang-orang yang terpaksa mencari pekerjaan baru setelah dipecat atau mereka berhenti hanya karena bosan. Menjadi "ayah yang tinggal di rumah" juga tidak memenuhi syarat untuk istilah ini. Contoh datsusara meliputi pekerja SoHo, web designer, petani, nelayan, seniman tradisional, penulis, pemilik restoran/toko, pewaralaba, dan banyak pekerjaan lainnya.
Datsusara bukanlah pilihan yang mudah bagi salaryman. Pekerjaan baru sering kali merupakan impian masa kanak-kanak atau semacam inspirasi yang timbul sesaat, dan membutuhkan waktu dan kerja yang banyak untuk dapat diwujudkan. Bahaya terbesar adalah bila mengambil sebuah profesi tanpa pengetahuan dan pelatihan yang tepat; seorang salaryman yang berusaha untuk menjadi petani organik tanpa sadar dapat menghancurkan panen pertamanya karena semua pengetahuannya didasarkan pada membaca dan mempelajari buku dan bukannya melalui pelatihan langsung di lapangan.
Meskipun banyak risiko yang akan dihadapi, jumlah orang-orang yang mengundurkan diri dari pekerjaan salaryman mereka telah meningkat sejak tahun 1990-an. Banyak di antara orang-orang tersebut menjadi salaryman hanya karena didorong untuk melakukannya oleh lingkungan pada masa kecil mereka, dan kemudian berhenti setelah kondisi pekerjaan tersebut membuat mereka menjadi berkecil hati. Datsusara juga dapat dilihat sebagai bangkitnya perlawanan terhadap stres karena sekolah dan ujian masuk universitas, atau terhadap hierarki perusahaan. Faktor lainnya ialah meningkatnya standar hidup masyarakat, yang telah membuat seseorang merasa tidak terlalu membutuhkan adanya penghasilan tetap tertentu untuk dapat bertahan hidup.