Saloka
Saloka (Carakan: ꦱꦭꦺꦴꦏ, pengucapan bahasa Jawa: [salokɔ]) adalah suatu ungkapan dalam bahasa Jawa yang memiliki arti kiasan, bersifat tetap, dan mengandung ungkapan pengandaian. Adapun yang diandaikan adalah orang tersebut dengan diperumpamakan sebagai hewan ataupun barang.[1] Di dalam bahasa Jawa, secara umum terdapat tiga macam peribahasa, di antaranya adalah paribasan, bebasan, dan saloka. Ketiganya memiliki ciri khas yang membedakan antara satu dengan yang lainnya.
Ciri-ciri
suntingCiri khusus yang dimiliki saloka,[1] di antaranya adalah:
- memiliki arti kiasan
- bersifat tetap
- mengandung ungkapan pengandaian (ngemu surasa pepindhan), adapun yang diandaikan adalah orang tersebut dengan diperumpamakan sebagai hewan ataupun barang
Paribasan, bebasan, dan saloka
suntingParibasan, bebasan, dan saloka sebenarnya masih saling berkaitan karena ketiganya termasuk dalam kelompok peribahasa dalam bahasa Jawa. Ketiganya memiliki makna kiasan, sehingga tidak dapat dimaknai secara leksikal.[1][2] Perbedaan yang paling mendasar antara paribasan dengan bebasan dan saloka ialah di dalam paribasan menggunakan tembung wantah (kosakata murni) dan tidak memiliki ungkapan pengandaian. Sedangkan saloka sendiri mengandung ungkapan pengandaian dan yang diandaikan/diperumpamakan adalah orang tersebut dengan digambarkan sebagai hewan ataupun barang.[1]
Daftar saloka
suntingBerikut ini adalah beberapa contoh saloka:[1][3]
- "Asu belang kalung wang" (ꦲꦱꦸꦧꦼꦭꦁꦏꦭꦸꦁꦮꦁ), (artinya: orang jelek, rendah, atau jahat tetapi kaya).
- "Asu gedhé menang kerahé" (ꦲꦱꦸꦒꦼꦝꦺꦩꦼꦤꦁꦏꦼꦫꦃꦲꦺ), (artinya: orang yang lebih tinggi derajat pangkatnya biasanya menang permasalahannya).
- "Ati béngkong oleh oncong" (ꦲꦠꦶꦧꦺꦁꦏꦺꦴꦁꦲꦺꦴꦭꦺꦃꦲꦺꦴꦚ꧀ꦕꦺꦴꦁ), (artinya: orang yang punya niat buruk/jahat ada yang mendukung dan mendapat jalan).
- "Baladéwa ilang gapité" (ꦧꦭꦢꦺꦮꦲꦶꦭꦁꦒꦥꦶꦠ꧀ꦠꦺ), (artinya: orang yang kehilangan kekuatannya).
- "Bathok bolu isi madu" (ꦧꦛꦺꦴꦏ꧀ꦧꦺꦴꦭꦸꦲꦶꦱꦶꦩꦢꦸ), (artinya: orang rendahan tetapi kaya pengetahuan).
- "Bèbèk mungsuh mliwis" (ꦧꦺꦧꦺꦏ꧀ꦩꦸꦁꦱꦸꦃꦩ꧀ꦭꦶꦮꦶꦱ꧀), (artinya: orang pandai bermusuhan dengan orang pandai tetapi yang satu kalah tekun dan terampil).
- "Belo mèlu seton" (ꦧꦼꦭꦺꦴꦩꦺꦭꦸꦱꦼꦠꦺꦴꦤ꧀), (artinya: orang yang ikut-ikutan tetapi tidak tahu maksud dan tujuannya).
- "Beras wutah arang bali marang takeré"(ꦧꦼꦫꦱ꧀ꦮꦸꦠꦃꦲꦫꦁꦧꦭꦶꦩꦫꦁꦠꦏꦼꦂꦫꦺ), (artinya: sesuatu yang sudah berubah dari asal mulanya mustahil bisa pulih seperti sediakala).
- "Cébol nggayuh lintang" (ꦕꦺꦧꦺꦴꦭ꧀ꦲꦁꦒꦪꦸꦃꦭꦶꦤ꧀ꦠꦁ), (artinya: orang miskin yang mempunyai keinginan yang mustahil tercapai).
- "Cecak nguntal empyak/cagak" (ꦕꦼꦕꦏ꧀ꦔꦸꦤ꧀ꦠꦭ꧀ꦕꦒꦏ꧀), (artinya: keinginan/cita-cita yang tidak sesuai dengan kemampuannya).
- "Dhandhang diunèkaké kuntul, kuntul diunèkaké dhandhang" (ꦝꦤ꧀ꦝꦁꦢꦶꦲꦸꦤꦺꦏ꧀ꦏꦏꦺꦏꦸꦤ꧀ꦠꦸꦭ꧀ꦏꦸꦤ꧀ꦠꦸꦭ꧀ꦢꦶꦲꦸꦤꦺꦏ꧀ꦏꦏꦺꦝꦤ꧀ꦝꦁ), (artinya: buruk dikatakan baik dan baik dikatakan buruk).
- "Dhemit ora ndulit, sétan ora doyan" (ꦝꦼꦩꦶꦠ꧀ꦲꦺꦴꦫꦲꦤ꧀ꦢꦸꦭꦶꦠ꧀ꦱꦺꦠꦤ꧀ꦲꦺꦴꦫꦢꦺꦴꦪꦤ꧀), (artinya: orang yang selalu diberi keselamatan serta tidak ada yang mengganggu).
- "Dom sumurup ing banyu" (ꦢꦺꦴꦩ꧀ꦱꦸꦩꦸꦫꦸꦥ꧀ꦲꦶꦁꦧꦚꦸ), (artinya: melakukan sesuatu secara diam-diam untuk menutupi keburukan).
- "Emprit abuntut bedhug", (artinya: permasalahan kecil menjadi besar menjadi-jadi).
- "Endhas gundhul dikepeti" (ꦲꦼꦤ꧀ꦝꦱ꧀ꦒꦸꦤ꧀ꦝꦸꦭ꧀ꦢꦶꦏꦼꦥꦼꦠ꧀ꦠꦶ), (artinya: orang yang sudah enak ditambah enak lagi).
- "Gagak nganggo elaring merak" (ꦒꦒꦏ꧀ꦔꦁꦒꦺꦴꦃꦲꦼꦭꦂꦫꦶꦁꦩꦼꦫꦏ꧀), (artinya: orang miskin yang bertindak seperti orang besar/luhur).
- "Gajah alingan suket teki" (ꦒꦗꦃꦲꦭꦶꦁꦁꦔꦤ꧀ꦱꦸꦏꦼꦠ꧀ꦠꦼꦏꦶ), (artinya: sifat/kelakuan lahir maupun batin biarpun tidak kelihatan pasti akan terlihat).
- "Gajah ngidak rapah" (ꦒꦏꦗꦃꦔꦶꦢꦏ꧀ꦫꦥꦃ), (artinya: orang besar yang melanggar aturannya sendiri).
- "Gajah tumbuk karo gajah, kancil mati ing tengah" (ꦒꦗꦃꦠꦸꦩ꧀ꦧꦸꦏ꧀ꦏꦫꦺꦴꦒꦗꦃ꧈ꦏꦚ꧀ꦕꦶꦭ꧀ꦩꦠꦶꦲꦶꦁꦠꦼꦔꦃ), (artinya: orang yang berkedudukan saling bertengkar, rakyat kecil yang menjadi korban).
- "Gong lumaku tinabuh" (ꦒꦺꦴꦁꦭꦸꦩꦏꦸꦠꦶꦤꦧꦸꦃ), (artinya: orang yang selalu dimintai petuah atau dimintai ilmu pengetahuan).
- "Idu didilat manèh", (artinya: orang yang sudah memberi kemudian meminta kembali pemberiannya atau membatalkan janji yang diucapkan).
- "Iwak klebu ing wuwu", (artinya: orang yang mudah dibohongi).
- "Jati ketlusuban ruyung", (artinya: kumpulan orang-orang baik yang kemasukan orang yang buruk sifatnya).
- "Jaran kerubuhan empyak", (artinya: orang yang sudah kapok dan tidak akan mengulangi lagi).
- "Kacang mangsa ninggala lanjaran", (artinya: kebiasaan anak biasanya meniru perbuatan orang tua).
- "Kebo bulé mati sétra", (artinya: orang pandai tapi kepandaiannya tidak ada yang membutuhkan karena berada di tempat yang tidak semestinya).
- "Kebo ilang tombok kandhang", (artinya: orang yang sudah kehilangan tapi masih membutuhkan biaya untuk mencari barang yang hilang tadi).
- "Kebo mulih ing kandhangé", (artinya: orang yang sudah pergi lama dan kembali lagi ke asalnya).
- "Kebo kabotan sungu", (artinya: orang yang kehidupannya susah/menderita karena kebanyakan anak).
- "Kebo nusu gudèl", (artinya: orang tua yang meminta bantuan kepada pemuda).
- "Kemladhéyan ngajak sempal", (artinya: pendatang yang mengajak berbuat onar/keburukan).
- "Kéré munggah balé", (artinya: orang miskin yang diangkat jadi orang berkedudukan atau dijadikan istri/suami orang yang berkedudukan/orang besar).
- "Kethèk serangon", (artinya: segerombolan orang yang berbuat kejahatan).
- "Klenthing wadhah masin", (artinya: orang yang berat meninggalkan kebiasaan buruk).
- "Kriwikan dadi grojogan", (artinya: permasalahan kecil menjadi besar dan menjadi-jadi).
- "Kutuk marani sunduk", (artinya: orang yang bermain-main dengan bahaya).
- "Lahang karoban manis", (artinya: orang yang wajahnya cantik atau ganteng serta berbudi pekerti luhur).
- "Lambé satumang kèri samerang", (artinya: orang yang diberi tahu berkali-kali tetap saja tidak percaya).
- "Legan golèk momongan", (artinya: orang yang sudah enak hidupnya tetapi malah mencari kesulitan).
- "Opor bèbèk mentas awaké dhéwé", (artinya: orang yang menyelesaikan permasalahan karena usahanya sendiri).
- "Palang mangan tanduran", (artinya: orang dipercayai menjaga sesuatu tetapi malah merusaknya).
- "Pecruk tunggu bara", (artinya: orang yang diberi kepercayaan menjaga barang/sesuatu yang disukainya).
- "Pitik trondhol diumbar ing padaringan", (artinya: orang jahat yang diberi kepercayaan menjaga barang yang disukainya akhirnya malah merusak dan merugikan).
- "Satru munggwing cangklakan", (artinya: memusuhi orang yang sebenarnya masih sanak saudaranya sendiri).
- "Sumur lumaku tinimba", (artinya: orang yang harus dimintai pertanyaan).
- "Tekèk mati uluné", (artinya: orang yang celaka karena omongannya sendiri).
- "Tumbu oleh tutup", (artinya: orang yang sudah cocok dengan keinginannya).
- "Timun mungsuh durèn", (artinya: orang miskin yang bermusuhan dengan orang yang berkuasa).
- "Timun wungkuk jaga imbuh", (artinya: orang bodoh lagi jelek dipakai hanya untuk menutup kekurangan saja).
- "Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati", (artinya: keturunannya orang kecil atau buruk menjadi banyak, sedangkan keturunan orang baik malah habis).
- "Yuyu rumpung mbarong rongé", (artinya: rumahnya besar tetapi sebenarnya orang yang miskin).
Budaya modern
suntingUngkapan saloka memengaruhi kebudayaan modern yang berkembang saat ini. Salah satu taman hiburan (theme park) bertajuk "Saloka Park" dibangun di Semarang, Jawa Tengah.[4][5] Taman hiburan ini bertemakan aneka macam satwa dan memiliki sebuah maskot bernama 'Loka' yang berwujud naga berwarna hijau. Nama Loka diambil dari nama tokoh dalam cerita rakyat Rawa Pening.[6]
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ a b c d e Padmosoekotjo, S. (1953). Ngéngréngan Kasusastran Djawa. Jogjakarta: Hien Hoo Sing.
- ^ Poerwadarminta, W. J. S. (1939). Baoesastra Djawa. Batavia: J. B. Wolters.
- ^ Daryanto (1999). Kawruh Basa Jawa Pepak. Surabaya: Apollo.
- ^ "Tentang Saloka". Saloka Park. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-10. Diakses tanggal 2020-05-10.
- ^ Yasmin, Puti. "Saloka Theme Park: Harga Tiket dan Daftar Wahana". detikcom. Diakses tanggal 2020-05-10.
- ^ Yunita, Niken Widya. "Tempat Wisata Saloka Theme Park, Rekreasi Kekinian di Semarang". detikcom. Diakses tanggal 2020-05-10.