Sanggar Dewata Indonesia
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
|
Sanggar Dewata Indonesia adalah komunitas perupa yang diciptakan oleh sejumlah mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI dan seniman asal Bali, seperti Made Wianata, Nyoman Gunarsa, Pande Gde Supada, Nyoman Arsana, dan Wayan Sika. Komunitas ini didirikan pada 15 Desember 1970 dari Balai Banjar "Saraswati" di kampung Baciro. Pada awalnya, tujuan dari SDI adalah untuk mengakomodasi seniman Bali namun kemudian menjadi lebih dinamis dan terbuka. Selain itu, SDI juga berfungsi sebagai sarana untuk menghubungkan antara mereka dengan masyarakat seni rupa yang lebih luas.[1] SDI juga dilegalitaskan menjadi suatu badan hukum bernama ‘Yayasan Sanggar Dewata Indonesia’ semenjak 1 Oktober 1986. Ia merupakan sanggar seni yang bersifat terbuka dan independen, berwawasan universal yang berazaskan Pancasila. Tujuan yayasan ini seperti yang tertuang pada akte notaris di Yogyakarta yakni (1) pembinaan kader seniman, budayawan, seni tari, karawitan Indonesia; (2) mencari corak nasional yang bersumber pada nilai-nilai luhur yang ada di bumi Indonesia; (3) memberikan rangsangan-rangsangan kepada senirupawan Indonesia, sebagai acuan kreativitas seni budaya bangsa; (4) memberikan hadiah-hadiah penghargaan kepada seniman-seniman/budayawan Indonesia. Yayasan inilah yang memelopori lahirnya dua penghargaan prestisius yang diberikan kepada para seniman profesional, budayawan, dan pendukung seni, berupa penghargaan ‘Lempad Prize’ dan ‘Cokot Prize’.[2] Saat ini pengelolaan pengurus manajemen SDI terbagi menjadi dua teritorial yakni SDI Yogyakarta dan SDI Bali. Terbentuknya SDI Bali pada tahun awal tahun 2000-an sebagai respons bahwa banyak seniman diaspora Bali yang menempuh pendidikan di ISI Yogyakarta, akhirnya harus pulang/kembali ke tanah Bali. Untuk efektivitas manajemen serta memudahkan koordinasi dan pengelolaan kegiatan seni maka dibentuk kepengurusan SDI Bali. kepengurusan terkini, Ketua SDI Yogyakarta adalah Agus Putu Suyadnya dan ketua SDI Bali adalah I Made Palguna.
Pengelolaan sumber daya manusia seniman diaspora Bali di SDI adalah mengelola keberagaman, mengelola kecairan sekat-sekat disiplin kesenian, menjauhkan sikap primordial dengan mengusung nasionalisme berasaskan Pancasila. Warisan sikap budaya ini berpijak pada konsep filosofis lokalitas Bali menjadi semacam barometer untuk hidup selaras lingkungan, selaras kondisi dan seiring waktu (konsep desa kala patra) namun juga memiliki implikasi atas sikap kritis seniman SDI dalam mempertimbangkan gerak transformasi kreatifnya di medan seni rupa Indonesia dan global. bahwa proses kreatif tersebut tidak tunggal/absolute tetapi mengandung beragam dimensi seperti konsep Rwa Bhineda yakni oposisi biner yang bersifat dualitas, namun saling mengisi dan menyeimbangkan.
Tujuan
SDI bertujuan mengolah elemen estetik dari tradisi seni rupa Bali dengan perspektif baru untuk mempertautkan diri dengan praktik-praktik seni rupa modern.[1] Impian ini terus bertumbuh untuk menciptakan kebersamaan sosial guna mengoordinir kegiatan seni, menyusun program pameran dan acara debat kritis tentang seni rupa di luar kerangka pengajaran institusional. Dengan demikian, mereka mulai berbagi gagasan dan pengetahuan dengan memanfaatkan seni rupa sebagai suara untuk menjangkau komunitas yang lebih besar.[3]
Konsep berkesenian SDI
Konsep berkesenian SDI digagas maestro lukis I Nyoman Gunarsa pada awal pembentukan SDI sebagai berikut:
“Semangat lokal ini dalam tataran yang luas lagi bagi Sanggar Dewata Indonesia adalah semangat kebangsaan, nasionalisme Pancasila, semangat yang menempatkan identitas seorang seniman dalam negara-kebangsaan yang terbentuk dari bermacam- macam kebudayaan atau multikultur, menuju dunia kesenian internasional yang lebih heterogen dan kompetitif. Sifat lokal ini sangat saya harapkan sebagai semangat atau spirit yang sangat dalam maknanya, dan lebih dekat kepada jiwa, bukan dalam bentuk kasar hasil kreasi semata. Semangat ini hendaknya menjadi inti jati diri seorang seniman dari bangsa yang besar, yang mampu menyejajarkan sama tinggi dengan bangsa lain di dunia, tanpa batasan apapun”.[2]
Pada titik ini dapat dicermati konsep ‘keterbukaan kreatifnya’ seniman diaspora Bali sesuai dengan warisan nilai-nilai lokalitas leluhur Bali yang mampu menyaring serta menyelaraskan kebudayaan luar yang masuk dan disesuaikan dengan konsep dasar local genius Bali. Modal kebudayaan multikultur menjadi bagian keseharian seniman SDI dimana melahirkan segi-segi positif baik dalam berpikir, berperilaku maupun dalam tindakan berkesenian sebagai sebuah kesadaran atas pluralitas. Local wisdom Bali yang dipegang dalam kehidupan sosial diantaranya tatas, tetes (kehati-hatian dalam bertindak), tat twam asi (toleransi tanpa menonjolkan perbedaan), paras paros (saling memberi dan menerima pendapat orang lain), salunglung sabayantaka (bersatu teguh bercerai runtuh), hingga merakpak danyuh (perbedaan pendapat tidak menghilangkan persahabatan). Filsafat lokal (local philosophy), yang mengandung pemikiran, konsep, cara pandang, pandangan dunia, konsep-konsep kosmologis, konsep ideologis dan mitologis serta kearifan-kearifan lokal yang hidup dan berkembang di dalam sebuah masyarakat lokal, memberikan sumbangan terhadap pandangan hidup dan cara hidup masyarakat lokal, yang mungkin masih bertahan hidup hingga kini. Setiap masyarakat lokal mesti memiliki pemikiran-pemikiran dan filsafat berskala lokal semacam ini, meskipun demikian tidak bisa dibandingkan dengan pemikiran filsafat modern. Pemahaman filsafat lokal inilah yang tentu ini menjadi konsep ruang reflektif perupa muda SDI dalam menyingkapi perkembangan zaman modern-kontemporer, di era teknologi digital, agar tetap peka dan memiliki kesadaran sejarah-tradisi sebagai pilar penciptaan seni dan pergaulan di dunia global.[4]
Referensi
sunting- ^ a b 1978-, Dahlan, Muhidin M.,. Almanak seni rupa Indonesia : secara istimewa Yogyakarta. [Jakarta]. ISBN 9789791436298. OCLC 848263279.
- ^ a b Sucitra, I. Gede Arya; Sartini, Sartini (2020-08-31). "KONSEPSI LOKAL-GLOBAL SEBAGAI BASIS KULTURAL BERKESENIAN SANGGAR DEWATA INDONESIA". Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya. 48 (2): 118–130. ISSN 2550-0635.
- ^ "Pelaku Seni | Sanggar Dewata Indonesia". arsip.galeri-nasional.or.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-09. Diakses tanggal 2018-12-08.
- ^ "[Pameran] SDI". Sangkring Art (dalam bahasa Inggris). 2019-12-11. Diakses tanggal 2022-07-05.