Upacara bekakak
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (Agustus 2024) |
Upacara bekakak atau saparan adalah upacara yang dilaksanakan setiap bulan sapar dalam perhitungan kalender Jawa. Upacara ini diadakan atas perintah Pangeran Mangkubumi. Kata bekakak berarti korban penyembelihan hewan atau manusia. Namun, manusia yang digunakan bukan manusia sungguhan, melainkan hanya tiruan manusia saja dalam wujud boneka pengantin dengan posisi duduk bersila yang terbuat dari tepung ketan.[1][2]
Tujuan
suntingUpacara diselenggarakan untuk menghormati arwah Kiai dan Nyai Wirosuto sekeluarga. Kiai Wirosuto adalah abdi dalem penangsong (hamba yang memayungi) Sri Sultan Hamengku Buwana I pembawa payung kebesaran setiap Sri Sultan Hamengku Buwana I berada dan tidak ikut pindah waktu dari keraton (pesanggrahan) Ambarketawang ke keraton yang baru. Bersama keluarganya ia tetap bertempat tinggal di Gamping. Dan dianggap sebagai cikal bakal penduduk Gamping.
Waktu
suntingWaktu penyelenggaraan setiap hari Jumat dalam bulan sapar antara tanggal 10 dan 20 pada pukul 14.00 (kirab temanten bekakak). Penyembelihan bekakak dilakukan pada pukul 16.00.
Sesaji
suntingSesaji upacara bekakak dibagi menjadi 3 kelompok. Dua kelompok untuk dua jali yang masing-masing diletakkan bersama-sama dengan pengantin bekakak. Satu kelompok lagi diletakkan di dalam jodhang sebagai rangkaian pelengkap sesaji upacara. Macam-macam sesajen yang diletakkan bersama-sama pengantin bekakak antara lain nasi gurih (wuduk) ditempatkan dalam pengaron kecil: nasi liwet ditempatkan dalam kendhil kecil beserta rangkaiannya daun dhadhap, daun turi, daun kara yang direbus, telur mentah dan sambal gepeng: tumpeng urubing dhamar, kelak kencana, pecel pitik, jangan menir, urip-uripan lele, rindang antep, ayam panggang, ayam lembaran, wedang kopi pahit, wedang kopi manis, jenewer, rokok/cerutu, rujak degan, rujak dheplok, arang-arang kemanis, padi, tebu, pedupaan, candu (impling), nangka sabrang, gecok mentah, ulam mripat, ulam jerohan, gereh mentah.
Midodareni
suntingMidodareni bekakak adalah tahap upacara yang berlangsung pada malam hari (kamis malam) dimulai jam 20.00. dua buah jali berisi pengantin bekakak dan sebuah jodhang berisi sesaji disertai sepasang suami istri gendruwo dan wewe, semua diberangkatkan ke balai desa Ambarketawang dengan arak-arakan.
Adapun urutan barisan arakan dari tempat persiapan ke balai desa Ambarketawang sebagai berikut :
1. Barisan pembawa umbul-umbul
2. Barisan peleton pengawal dari Gamping tengah
3. Joli pengantin dan jodhang
4. Reyog dari Gamping kidul
5. Pengiring yang lain
kemudian semua jali dan lain-lain diserahkan kepada Bapak kepala Desa Ambarketawang. Pada malam midodareni itu, diadakan malam tirakatan seperti hanya pengantin benar-benar, bertempat di pendhopo ataupun diadakan pertunjukan hiburan wayang kulit, uyon-uyon, reyog. Di rumah Ki Juru Permono diadakan pula tahlilan yang dilaksanakan oleh bapak-bapak dari kemusuk kemudian dilanjutkan dengan malam tirakatan yang diikuti oleh penduduk sekitar. Di pesanggrahan Ambarketawang juga diadakan tirakatan.
Kirab pengantin
suntingPawai atau arak-arakan yang membawa jali pengantin bekakak ke tempat penyembelihan. Bersama dengan ini diarak pula rangkaian sesaji sugengan Ageng yang dibawa dari Patran ke pesanggrahan. Juga diarak ke balai desa terlebih dahulu. Adapun urut-urutan arakan atau pawai upacaranya sebagai berikut :
- Reyog dan jathilan dari Patran
- Sesaji sugengan Ageng
- Barisan prajurit dari Gamping tengah membawa umbul-umbul memakai celana hitam kagok, berkain, baju lurik, destalan, seperti prajurit Daeng. Mereka membawa seruling, genderang dan mung-mung.
- Prajurit putri membawa perisai, pedang, mengenakan baju berwarna-warni, celana panjang cinde dan berkain loreng.
- Rombongan Demang dan kawan-kawan. Demang tersebut mengenakan kain, baju beskap hitam, memakai selempang kuning.
- Jagabaya berkain, baju beskap hitam, memakai serempang merah.
- Kaum atau rois, mengenakan kain berbaju surjan memakai serempang putih.
- Pembawa tombak berbungkus cindhe beruntaikan bunga melati, mereka mengenakan celana hitam kagok, baju lurik, iket wulung, berselempang cindhe. Tiga pemudi mengenakan kain lurik ungu, baju hijau, memakai selempang merah, masing-masing membawa tiruan landak, gemak, merpati.
- Barisan pembawa tombak, memakai celana merah, baju lurik merah, iket berwarna merah jingga.
- Peserta bapak-bapak yang berkain berbaju surjan seragam warna merah, memakai sampur berwarna-warni.
- Prajurit anak-anak, laki-laki perempuan membawa jemparing (panah).
- Joli sesaji (jodhang) yang dibawa oleh petugas memakai seragam hitam kagok, baju merah iket biru.
- Barisan selawatan
- Joli bekakak Gunung Kliling.
- Barisan yang membawa kembang mayang, cengkir, bendhe, tombak, dan luwuk semua dipayungi.
- Barisan berkuda
- Barisan pembawa panji-panji berwarna-warni yang mengenakan kain, baju surjan biru muda dan iket hitam.
- Tiga pemudi membawa banyak dhalang, sawung galing, ardawalika
- Tiga orang pemuda membawa padupaan dan bunga-bunga diikuti pembawa alat musik genderang, seruling dan mung-mung.
- Prajurit Gamping Lor, diikuti prajurit, putri yang membawa panah, disusul lagi mereka yang membawa pedang panjang.
- Jali sesaji (jodhang) yang dibawa oleh petugas memakai seragam celana hitam kagok, baju merah iket biru.
- Jathilan dari patran
- Prajurit Gamping Kidul, ada yang memakai topeng buron wana (landhak, kerbau, garuda) ada yang membawa tombak bertrisula, tombak biasa.
- Reyog Gunung Kidul (seperti badhak merak)
- Kemudian upacara berangkat dari balai desa menuju kearah bekas gung Ambarketawang, tempat penyembelihan pertama, kemudian ke tempat penyembelihan kedua yaitu di Gunung Kliling.