Sarsar Lambe adalah tradisi bertarung secara adat pada Suku Karo dari Sumatera Utara untuk mencari siapa yang bersalah pada suatu perkara atau perselisihan yang sukar untuk didamaikan. Tradisi ini ditempuh apabila musyawarah keluarga, kerabat, dan lembaga adat sudah tidak mampu lagi mendamaikan. Keberadaan tradisi sarsar lambe sendiri sudah dihapus dari bagian budaya masyarakat Karo sejak zaman penjajahan Belanda.

Tata cara Sarsar Lambe

sunting

Umbul-umbul, dipancangkan disebuah lapangan luas, hal ini menandakan akan berlangsung pertarungan dua laki-laki. Penduduk akan membentuk lingkaran, menonton kedua pria yang siap turun berlaga dengan tangan kirinya terikat seutas tali satu sama lain. Lalu, seorang pengetua adat, setelah berpidato singkat, menyerahkan pisau kepada kedua petarung.

Dengan pisau di tangan, kedua petarung mengangkat sumpah: "Pinter bilang ku Dibata" (lurus perhitungan kepada Tuhan). Artinya, cuma Tuhan yang tahu, siapa yang benar di antara mereka. Setelah aba-aba, pertarungan dimulai, tikam menikam pun terjadi. Biasanya ketika seseorang dari mereka mati, maka penonton mempercayai yang bersalah adalah yang mati. Jika keduanya tewas, maka keduanya memang dianggap bersalah.

Sarsar Lambe Sebagai Harga Diri

sunting

Mengutip kesimpulan Seminar Adat-Istiadat Karo awal 1977, disimpulkan bahwa masyarakat Karo pada umumnya mempunyai sifat sifat menonjol, yaitu selain beradat, suka menolong, hemat, dan pengasih. Selain itu masyarakat Karo juga dianggap memiliki sifat pendendam dan tahu harga diri. Untuk mempertahankan harga diri mereka, maka tradisi mematikan seperti sarsar lambe, kerap pula ditempuh oleh masyarakat Karo pada zaman dulu.

Referensi

sunting