Sejarah Dinasti Han

Sejarah Dinasti Han (206 SM – 220 M) dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu Han Barat (206 SM – 9 M) dan Han Timur (25–220 M). Penyebutan ini didasarkan pada letak ibu kota di kedua periode tersebut, yaitu Chang'an pada periode Han Barat dan Luoyang pada periode Han Timur. Ibu kota ketiga dan terakhir Dinasti Han adalah Xuchang. Pusat pemerintahan dipindah ke kota tersebut pada tahun 196 Masehi di tengah gejolak politik dan perang saudara. Periode Han Barat dan Timur diselangi oleh Dinasti Xin (9–23 M) yang dibentuk oleh Wang Mang.

Dinasti Han pada tahun 2 Masehi (coklat), dengan garnisun-garnisun militer (titik kuning), negara-negara dependen (titik hijau), dan negara-negara pembayar upeti (titik jingga) hingga Cekungan Tarim di bagian barat Asia Tengah

Dinasti Han merupakan dinasti kekaisaran Tiongkok yang kedua. Dinasti ini didirikan oleh seorang pemimpin pemberontakan petani yang bernama Liu Bang (secara anumerta dikenal dengan sebutan Kaisar Gaozu).[a] Dinasti Han menggantikan Qin (221–206 SM), yang sebelumnya telah mengalahkan dan menyatukan Negara-negara Perang di Tiongkok. Pada masa Han, Tiongkok mengalami konsolidasi kebudayaan, uji coba politik, kesejahteraan ekonomi, dan kemajuan teknologi. Wilayah Tiongkok juga meluas ke tempat yang belum pernah dijangkau oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, dan hal ini dimulai dari konflik dengan suku-suku asing, terutama suku nomaden Xiongnu dari Stepa Eurasia. Kaisar Han awalnya terpaksa mengakui para Chanyu (penguasa) Xiongnu sebagai penguasa yang setara, walaupun kenyataannya Han membayar upeti kepada mereka dan juga telah menikahkan putri Han dengan chanyu (hubungan pernikahan ini disebut heqin). Hubungan ini berakhir setelah Kaisar Wu (berkuasa 141–87 SM) mengobarkan perang melawan Xiongnu yang akhirnya berhasil mengakibatkan perpecahan di pihak lawan dan memperluas batas wilayah Tiongkok. Jangkauan Han meluas hingga ke Koridor Hexi di Provinsi Gansu, Cekungan Tarim di Xinjiang, serta wilayah Yunnan, Hainan, Vietnam Utara, Korea Utara, dan Mongolia Luar bagian selatan. Pemerintah Han juga membina hubungan dagang dengan negara-negara lain dan menerima upeti dari mereka. Seorang utusan dari Han bahkan pernah dikirim hingga ke wilayah Kekaisaran Parthia. Sementara itu, agama Buddha pertama kali masuk ke Tiongkok pada masa Han. Agama ini disebarkan oleh biksu dari Parthia dan Kekaisaran Kushan.

Sedari awal kekuasaan kaisar di Han terancam oleh pemberontakan dari kerajaan-kerajaan yang ada di bawahnya. Pada akhirnya penguasa kerajaan-kerajaan ini digantikan oleh anggota keluarga Liu yang setia. Pada mulanya, bagian timur kekaisaran diperintah secara tidak langsung oleh kerajaan-kerajaan semiotonom semacam ini yang memberikan sebagian dari pendapatan pajaknya kepada kaisar. Sementara itu, kaisar berkuasa secara langsung di wilayah barat. Secara perlahan pemerintahan pusat mengurangi luas dan kekuatan kerajaan-kerajaan ini, hingga akhirnya program reformasi pada pertengahan abad ke-2 SM menghapuskan kekuasaan semiotonom dan mengisi istana raja-raja dengan pejabat-pejabat pemerintahan pusat. Namun, hal yang lebih berdampak terhadap keberlangsungan Dinasti Han adalah konflik perebutan kekuasaan antara keluarga maharani atau ibu suri dengan para kasim di istana. Pada tahun 92 M, para kasim untuk pertama kalinya ikut campur dalam menentukan penerus kaisar dan memicu krisis politik yang berujung pada kejatuhan dan pembantaian para kasim di Luoyang pada tahun 189 M. Selain itu, Pemberontakan Serban Kuning juga meletus pada tahun 184 M, dan para panglima perang yang membantu pemerintah pusat selama konflik ini menjadi sangat kuat di daerahnya masing-masing. Akhirnya, pada tahun 220 M, Cao Pi (putra Kanselir Cao Cao) memaksa Kaisar Xian untuk turun takhta. Menurutnya, sang kaisar sudah tidak lagi mendapatkan Mandat Surgawi. Setelah itu Tiongkok pun terpecah menjadi tiga negara: Cao Wei, Shu Han, dan Dong Wu. Ketiga negara ini akhirnya disatukan oleh Dinasti Jin (265–420 M).

Jatuhnya Qin sunting

Pembubaran Qin sunting

Pada mulanya, Dinasti Zhou (sekitar 1050–256 SM) menjadikan Negara Qin di Tiongkok Barat sebagai tempat untuk mengembangbiakkan kuda. Qin juga berfungsi sebagai pembatas dengan suku-suku nomaden Rong, Qiang, dan Di.[1] Dengan ditaklukkannya enam Negara Perang (Han, Zhao, Wei, Chu, Yan, dan Qi) pada tahun 221 SM,[1] Raja Qin Ying Zheng berhasil menyatukan Tiongkok dan membaginya menjadi 36 jun yang dikendalikan secara terpusat. Ia kemudian semakin meningkatkan derajatnya dengan mengambil gelar huangdi (皇帝) atau "kaisar", dan semenjak itu ia dikenal dengan nama "Qin Shi Huang".[2] Sejarawan-sejarawan pada masa Han merasa bahwa rezim Qin adalah rezim yang lalim.[3]

 
Pasukan Terakota di makam Qin Shi Huang di dekat Xi'an, peninggalan Dinasti Qin.

Qin Shi Huang meninggal dunia pada tahun 210 SM.[4] Pada tahun 209 SM, panglima Chen Sheng dan Wu Guang beserta 900 prajurit mereka diperintahkan untuk bertugas, tetapi hujan deras membuat mereka terlambat. Hukuman yang diganjar oleh pemerintah Qin terhadap kegagalan semacam ini adalah hukuman mati. Untuk menghindari hukuman, Chen dan Wu memberontak melawan Qin, dan peristiwa ini disebut Pemberontakan Dazexiang. Namun, pemberontakan ini dipadamkan oleh panglima Qin Zhang Han pada tahun 208 SM; Wu dan Chen kemudian dibunuh oleh prajurit mereka sendiri.[5] Walaupun pemerintah Qin masih mampu menggagalkan pemberontakan kecil semacam ini, pada tahun yang sama pihak-pihak lain yang lebih kuat juga tengah memberontak. Salah satunya adalah Xiang Yu (meninggal 202 SM) dan pamannya Xiang Liang (項梁/项梁). Anggota keluarga mereka sebelumnya pernah mengabdi untuk militer negara Chu. Pada saat yang sama, Liu Bang juga ikut membantu mereka. Ia sendiri memiliki latar belakang petani dan bertugas sebagai pengawas tahanan di Pei Xian.[6]

Pada Juni 208 SM, Xiang Yu dan Xiang Lang mencoba membentuk kembali Kerajaan Chu dengan menyatakan Mi Xin (cucu Raja Huai I dari Chu) sebagai "Raja Huai II dari Chu" di pusat kekuasaan mereka di Pengcheng (kini Xuzhou). Sementara itu, kerajaan-kerajaan lain juga mulai dibentuk sebagai penerus berbagai Negara-negara Perang. Namun, Qin kemudian mengutus Zhang Han untuk memadamkan pemberontakan ini. Xiang Liang gugur dalam pertempuran melawan panglima Zhang. Sang panglima kemudian menyerang Zhao Xie (Raja Zhao) di ibu kotanya di Handan, sehingga Zhao terpaksa melarikan diri ke Julu. Pasukan panglima Zhang kemudian mengepung kota ini. Kendati demikian, kerajaan Chu, Yan, dan Qi memutuskan untuk membantu Zhao. Xiang Yu akhirnya berhasil mengalahkan Zhang di Julu, dan pada tahun 207 SM Zhang terpaksa menyerah.[7]

Saat Xiang sedang disibukkan di Julu, Raja Huai II mengirim Liu Bang guna merebut wilayah utama Qin di Guanzhong. Mereka sebelumnya telah membuat perjanjian bahwa perwira pertama yang berhasil merebut wilayah ini akan menjadi rajanya.[8][9] Pada akhir tahun 207 SM, penguasa Qin, Ziying (yang telah mengklaim gelar yang lebih rendah dari kaisar, yaitu Raja Qin) memerintahkan pembunuhan kasim utamanya, Zhao Gao, karena sang kasim terlibat dalam peristiwa pembunuhan Kanselir Li Si pada tahun 208 SM dan Kaisar Qin yang kedua, Qin Er Shi, pada tahun 207 SM. Ziying lalu menyatakan tunduk kepada Liu Bang, sehingga Liu Bang dapat menguasai ibu kota Qin di Xianyang.[10] Liu Bang mendapatkan petuah dari penasihatnya, Zhang Liang, serta salah satu pendukung setianya, Fan Kuai, agar ia tidak membiarkan pasukannya menjarah kota tersebut. Oleh sebab itu, Liu Bang memutuskan untuk menyegel perbendaharaan Xianyang.[11]

Perang Han-Chu sunting

 
Penghangat minuman anggur dari masa Han Barat. Alat dari perunggu ini berasal dari Provinsi Shanxi atau Henan, abad ke-1 SM.

Dua bulan setelah Liu Bang memasuki wilayah Guanzhong, Xiang Yu beserta pasukannya tiba di Xianyang pada awal tahun 206 SM.[10] Baku hantam antara pasukan Liu Bang dan Xiang Yu dapat dihindari berkat campur tangan Xiang Bo yang merupakan sahabat Zhang Liang. Xiang lalu menyelenggarakan pesta kenduri di Gerbang Hong, dan Liu Bang menghadiri pesta tersebut. Namun, Liu diperingatkan oleh Xiang Bo dan Fan Kuai mengenai rencana salah satu panglima Xiang Yu, Fan Zeng, untuk membunuhnya. Akibatnya Liu Bang melarikan diri di tengah-tengah pesta.[11] Pasukan Xiang kemudian memasuki Xianyang. Konon mereka menjarah dan membumihanguskan kota tersebut. Xiang juga menghukum mati Ziying.[10][12] Pada tahun yang sama, Xiang Yu memberikan gelar "Kaisar Yi dari Chu" kepada Raja Huai II dan juga mengirimnya ke wilayah perbatasan yang terpencil. Di wilayah tersebut Kaisar Yi tewas dibunuh atas perintah dari Xiang. Xiang Yu lalu mengambil gelar Raja Chu Barat (西楚霸王) dan menjadi pemimpin konfederasi yang terdiri dari 18 kerajaan.[13] Xiang Yu kemudian membagi Guanzhong menjadi tiga kerajaan. Zhang Han dan dua bawahannya dijadikan raja, sementara Liu Bang diberikan Kerajaan Han yang terletak di daerah perbatasan di Hanzhong untuk mengurangi ancaman darinya.[12][13]

Pada musim panas tahun 206 SM, Liu Bang mendengar kabar mengenai nasib Kaisar Yi dan memutuskan untuk menggerakkan kerajaan-kerajaan dalam upaya untuk melawan Xiang Yu. Akibatnya meletuslah perang selama empat tahun yang disebut Perang Chu-Han.[14] Liu mula-mula melancarkan serangan langsung ke Pengcheng dan berhasil merebutnya ketika Xiang sedang sibuk melawan raja lain, yaitu Tian Guang (田廣) sang Raja Qi. Namun, pasukan Liu mengalami kekalahan setelah Xiang kembali ke Pengcheng. Liu sendiri berhasil lolos karena badai menghalangi pasukan Chu, tetapi ayahnya Liu Zhijia (劉執嘉) serta istrinya Lü Zhi ditangkap oleh pasukan Chu.[14] Liu kembali kalah di Xingyang, tetapi ia selamat karena Xiang Yu harus berurusan dengan Ying Bu (英布), Raja Huainan, yang memberontak melawannya. Setelah Liu berhasil menduduki Chenggao dan sebuah lumbung Qin yang besar, Xiang mengancam akan membunuh ayah Liu jika ia tidak menyerah, tetapi Liu tidak menggubris ancaman tersebut.[15]

Berkat keberhasilan Liu, pasukan Chu kehilangan persediaan makanannya, sementara panglima Liu yang bernama Han Xin (meninggal 196 SM) berhasil menaklukkan Zhao dan Qin di sebelah utara Chu. Maka dari itu, pada tahun 203 SM, Xiang memberikan tawaran kepada Liu. Ia akan melepaskan kerabat-kerabat Liu dan membagi Tiongkok menjadi dua: bagian barat akan diberikan kepada Han, sementara wilayah timur akan dikuasai Chu.[15] Walaupun Liu menerima tawaran ini, perdamaian tidak berlangsung lama. Pada tahun 202 SM, Pertempuran Gaixia meletus di wilayah Anhui modern. Menurut catatan sejarah pada masa itu, Liu Bang memimpin 300.000 prajurit, sementara Xiang Yu hanya punya 100.000 pasukan. Saat pasukan Chu mulai melemah, pasukan Han terus menyerang mereka dan akhirnya pasukan Chu mundur ke perkemahan mereka. Pada malam harinya, Xiang Yu mengumpulkan 800 pasukan berkuda dan pergi dari perkemahannya. Pada pagi harinya, Liu Bang mendengar kabar mengenai hal tersebut dan mengirim 5.000 pasukan berkuda untuk mengejarnya.[16] Xiang akhirnya terkepung di tepi Sungai Yangtze, dan di situ ia bunuh diri.[17] Liu lalu mengambil gelar kaisar dan kini dikenal dengan nama Kaisar Gaozu (berkuasa 202–195 SM).[17]

Era Gaozu sunting

 
Semenjak permulaan masa Han, raja-raja sudah dikubur dalam pakaian pemakaman giok.[18][19]

Konsolidasi kekuasaan sunting

Kaisar Gaozu awalnya menjadikan Luoyang sebagai ibu kotanya, tetapi kemudian ia memindahkannya ke Chang'an (di dekat kota Xi'an, Shaanxi, pada masa modern) karena kota tersebut memiliki pertahanan alami dan lebih mudah menjangkau jalur persediaan.[20] Sesuai dengan sistem yang ditetapkan oleh Qin, Kaisar Gaozu membentuk kabinet yang terdiri dari Tiga Bangsawan yang mengepalai Sembilan Kementerian.[21] Walaupun negarawan-negarawan pada masa Han mengutuk filsafat legalisme dan metode Qin yang kejam, undang-undang Han pertama yang disusun oleh Kanselir Xiao He pada tahun 200 SM tampaknya mengikuti struktur dan isi dari undang-undang Qin. Dugaan ini semakin diperkuat dengan temuan teks Shuihudi dan Zhangjiashan pada masa modern.[22][23][24]

Gaozu berkuasa atas 13 satuan daerah yang disebut jun di bagian barat kekaisaran (walaupun jumlahnya sudah bertambah menjadi 16 pada saat ia tutup usia). Sementara itu, di wilayah timur, ia membentuk 10 kerajaan semiotonom, yaitu Yan, Dai, Zhao, Qi, Liang, Chu, Huai, Wu, Nan, dan Changsha. Ia memberikan jabatan raja kepada pendukung-pendukungnya. Namun, akibat tuduhan pemberontakan dan bahkan persekutuan dengan Xiongnu, Gaozu memutuskan pada tahun 196 SM untuk mengganti sembilan raja dengan anggota keluarga Liu.[25][26] Wu Rui (吳芮) di Kerajaan Changsha adalah satu-satunya raja yang tidak berasal dari keluarga Liu.[27][b]

Menurut sejarawan Michael Loewe, pemerintahan di setiap kerajaan pada dasarnya meniru pemerintahan pusat, karena masing-masing memiliki kanselir, penasihat raja, dan pejabat-pejabat lainnya. Kerajaan-kerajaan ini diwajibkan memberikan keterangan sensus dan sebagian dari pendapatan pajak mereka kepada pemerintah pusat. Walaupun mereka dapat memiliki pasukan, raja tidak boleh mengerahkannya tanpa seizin pemerintah pusat.[28]

Xiongnu dan Heqin sunting

 
Senjata ji (sejenis tombak) dan pedang besi dari Dinasti Han.
 
Bejana kerang dari masa Dinasti Han Barat, disimpan di Museum Provinsi Yunnan, Kunming. Kerang pernah menjadi mata uang di wilayah Yunnan pada masa itu, sehingga kerang disimpan di bejana perunggu yang dihias.

Panglima Qin Meng Tian sebelumnya berhasil mengusir pasukan Toumen (Chanyu Xiongnu) dari Gurun Ordos pada tahun 215 SM, tetapi putra dan penerus Toumen, Modu Chanyu, berhasil memperkuat Xiongnu dengan menundukkan suku-suku lain.[29][30] Pada masa ketika Modu tutup usia pada tahun 174 SM, wilayah Xiongnu terbentang dari Tiongkok timur laut dan Mongolia hingga Pegunungan Altai dan Tian Shan di Asia Tengah.[31]

Pemerintah Han takut diserang Xiongnu dan juga merasa khawatir bahwa senjata-senjata besi buatan Han akan jatuh ke tangan Xiongnu. Oleh sebab itu, Kaisar Gaozu memberlakukan embargo perdagangan terhadap Xiongnu. Untuk mengganti rugi para pedagang di Kerajaan Dai dan Yan di utara, ia mengangkat mereka sebagai pejabat pemerintahan dengan upah yang tinggi.[32] Namun, Modu Chanyu dibuat murka oleh embargo ini, sehingga ia merencanakan serangan ke wilayah Han. Xiongnu lalu menyerang Taiyuan pada tahun 200 SM dan dibantu oleh Raja Xin dari Hán yang membelot.[c] Kaisar Gaozu memimpin pasukannya secara langsung melewati dataran bersalju menuju Pingcheng (dekat Datong, Shanxi, pada masa modern).[33][34] Dalam Pertempuran Baideng, pasukan Gaozu dikepung selama tujuh hari. Akibat menipisnya persediaan, ia terpaksa mundur.[35][34]

Setelah itu, penasihat istana Liu Jing (劉敬, awalnya bernama Lou Jing [婁敬]) menasihati Gaozu untuk berdamai dan membentuk persekutuan pernikahan dengan Chanyu Xiongnu yang disebut perjanjian heqin.[36][37][38] Dengan ditetapkannya heqin pada tahun 198 SM, pemerintah Han harus membayar upeti berupa sutra, minuman anggur, makanan, atau barang mewah lainnya, dan Gaozu rencananya akan menikahkan putri semata wayangnya dengan chanyu. Namun, melalui perjanjian ini, pemerintah Han sebenarnya bermaksud mengubah gaya hidup nomaden Xiongnu dengan barang-barang mewah dan juga menghasilkan keturunan setengah Tionghoa di keluarga Modu yang kemudian akan berada pada posisi tunduk kepada Tiongkok.[39][38] Jumlah upeti tahunan yang dijanjikan Gaozu kepada Xiongnu sendiri tidak diketahui. Namun, pada tahun 89 SM, Hulugu Chanyu (狐鹿姑, berkuasa 95–85 SM) meminta agar perjanjian heqin diperbaharui dengan pembayaran upeti yang dinaikkan menjadi 400.000 liter anggur, 100.000 liter biji padi-padian, dan 10.000 bungkus sutra, sehingga jumlah yang diminta sebelumnya lebih kecil dari itu.[40]

Walaupun perjanjian ini mengakui huangdi dan chanyu sebagai dua pihak yang berkedudukan setara, kenyataannya Han menjadi pihak yang berkedudukan lebih rendah, karena mereka harus membayar upeti untuk memuaskan Xiongnu yang lebih kuat.[41] Walaupu Gaozu siap menikahkan putrinya dengan Modu Chanyu, akibat penolakan dari Maharani Lü, Kaisar Gaozu malah mengirim putri kerabatnya untuk dinikahkan. Akan tetapi, pemberian upeti dan pernikahan putri-putri Han dengan chanyu masih belum memuaskan Xiongnu, karena mereka sering menyerang batas utara Han dan melanggar perjanjian tahun 162 SM yang menetapkan Tembok Besar Tiongkok sebagai batas antara Han dan Xiongnu.[42][43][44]

Kekuasaan Maharani Lü sunting

Kaisar Hui sunting

Ketika Ying Bu memberontak pada tahun 195 SM, Kaisar Gaozu secara langsung memimpin pasukan melawan Ying. Namun, anak panah mengenai tubuhnya, dan konon luka ini mengakibatkan kematiannya pada tahun berikutnya. Penerusnya, Liu Ying, naik takhta dan secara anumerta dikenal dengan nama Kaisar Hui dari Han (berkuasa 195–188 SM). Tidak lama kemudian, istri mendiang Gaozu, Lü Zhi, memerintahkan agar putra mahkota yang lain, Liu Ruyi, diracun. Sementara itu, ibu kandung Liu Ruyi yang bernama Selir Qi tewas dimutilasi. Setelah Kaisar Hui yang masih remaja mendengar berita mengenai peristiwa tersebut, sejarawan Michael Loewe mengatakan bahwa sang kaisar "tidak berani menentangnya."[45]

Walaupun masa kekuasaan Kaisar Hui hanya sebentar saja, pada masa kekuasaannya tembok pertahanan di sekitar ibu kota di Chang'an selesai dibangun pada tahun 190 SM. Tembok yang terbuat dari batu bata dan tanah yang dimampatkan ini awalnya memiliki tinggi 12 m. Reruntuhan tembok ini masih dapat ditemukan hingga kini. Proyek pembangunan ini diselesaikan oleh 150.000 pekerja wajib.[46] Selain itu, pada masa Kaisar Hui, hukum lama dari masa Dinasti Qin yang melarang buku-buku tertentu juga dicabut. Dari segi kebijakan luar negeri, perjanjian heqin dengan Xiongnu diperbaharui, sementara Han mengakui kedaulatan Raja Donghai dan Nanyue.[47]

Perwalian dan jatuhnya klan Lü sunting

 
Arca terakota yang menggambarkan seorang pelayan wanita. Arca ini berasal dari zaman Han Barat.

Kaisar Hui tidak dikaruniai keturunan dari pernikahannya dengan Zhang Yan. Walaupun begitu, ia masih memiliki anak dari hubungannya dengan selir-selir yang lain. Setelah sang kaisar wafat pada tahun 188 SM, Lü Zhi menentukan penerusnya.[47] Pertama-tama ia mengangkat Kaisar Qianshao dari Han (berkuasa 188–184 SM), tetapi kemudian menggantinya dengan penguasa boneka yang lain, yakni Kaisar Houshao dari Han (berkuasa 184–180 SM).[47][48] Pada masa ini, Lü Zhi tidak hanya mengeluarkan maklumat, tetapi juga mengangkat anggota klannya sendiri sebagai raja walaupun hal ini berlawanan dengan perintah Kaisar Gaozu sebelumnya. Anggota klannya juga diangkat menjadi perwira militer dan pejabat.[49][50]

Han pada masa Lü Zhi gagal menghentikan serangan Xiongnu ke jun Longxi (di wilayah Gansu modern). Akibat serangan tersebut, 2.000 orang Han ditawan. Pada saat yang sama, Han juga memicu konflik dengan Raja Nanyue Zhao Tuo karena telah melarang ekspor besi dan barang-barang dagang lainnya. Zhao Tuo menyatakan dirinya sebagai Kaisar Wu dari Nanyue (南越武帝) pada tahun 183 SM, dan ia kemudian menyerang Kerajaan Changsha pada tahun 181 SM.[51]

Setelah kematian Lü Zhi pada tahun 180 SM, klan Lü dituduh hendak menjatuhkan keluarga Liu.[52] Raja Qi Liu Xiang (cucu Kaisar Gaozu) lalu bangkit melawan keluarga Lü.[51] Pada akhirnya pertempuran tidak pernah terjadi di antara pasukan pemerintah dengan Qi karena klan Lü dikudeta oleh pejabat-pejabat yang dipimpin oleh Chen Ping dan Zhou Bo.[51][52][53] Walaupun Liu Xiang berani menentang klan Lü, ia tidak diangkat menjadi kaisar karena ia telah mengerahkan pasukan tanpa seizin pemerintah pusat dan karena keluarga ibunya juga memiliki ambisi seperti klan Lü. Selir Bo dianggap memiliki pribadi yang mulia, sehingga anaknya yang menjabat sebagai Raja Dai, Liu Heng, dipilih sebagai penerus; secara anumerta ia dikenal dengan nama Kaisar Wen dari Han (berkuasa 180–157 SM).[54]

Keterangan sunting

  1. ^ Dari Dinasti Shang hingga Sui, para penguasa Tiongkok disebut dalam catatan-catatan yang dibuat setelah masa kekuasaan mereka dengan nama anumerta, sementara kaisar-kaisar Dinasti Tang sampai Yuan disebut dengan nama kuil mereka, dan kaisar-kaisar Ming dan Qing disebut dengan nama era pemerintahan mereka. Lihat Wilkinson 1998, hlm. 106–107.
  2. ^ Namun, ketika cicit Wu Rui yang bernama Wu Zhu (吳著) atau Wu Chan (吳產) menjemput ajalnya tanpa adanya penerus pada tahun 157 SM, tampuk kekuasaan Changsha diserahkan kepada salah satu putra Kaisar Jin. Lihat Loewe 1986, hlm. 124-125.
  3. ^ 韓/韩, tidak sama dengan Dinasti Hàn 漢 ataupun panglima Han Xin.

Catatan kaki sunting

  1. ^ a b Ebrey 1999, hlm. 60.
  2. ^ Ebrey 1999, hlm. 61.
  3. ^ Cullen 2006, hlm. 1–2.
  4. ^ Ebrey 1999, hlm. 63.
  5. ^ Loewe 1986, hlm. 112–113.
  6. ^ Loewe 1986, hlm. 113.
  7. ^ Loewe 1986, hlm. 114.
  8. ^ Loewe 1986, hlm. 114-115.
  9. ^ Loewe 2000, hlm. 254.
  10. ^ a b c Loewe 1986, hlm. 115.
  11. ^ a b Loewe 2000, hlm. 255.
  12. ^ a b Davis 2001, hlm. 44.
  13. ^ a b Loewe 1986, hlm. 116.
  14. ^ a b Davis 2001, hlm. 44–45.
  15. ^ a b Davis 2001, hlm. 45.
  16. ^ Davis 2001, hlm. 45–46.
  17. ^ a b Davis 2001, hlm. 46.
  18. ^ Tom 1989, hlm. 112–113.
  19. ^ Shi 2003, hlm. 63–65.
  20. ^ Loewe 1986, hlm. 122.
  21. ^ Loewe 1986, hlm. 120.
  22. ^ Hulsewé 1986, hlm. 526.
  23. ^ Csikszentmihalyi 2006, hlm. 23–24.
  24. ^ Hansen 2000, hlm. 110–112.
  25. ^ Loewe 1986, hlm. 122–128.
  26. ^ Hinsch 2002, hlm. 20.
  27. ^ Loewe 1986, hlm. 124.
  28. ^ Loewe 1986, hlm. 126.
  29. ^ Di Cosmo 2002, hlm. 174–176.
  30. ^ Torday 1997, hlm. 71–73.
  31. ^ Di Cosmo 2001, hlm. 175–189.
  32. ^ Torday 1997, hlm. 75–77.
  33. ^ Di Cosmo 2002, hlm. 190–192.
  34. ^ a b Torday 1997, hlm. 75–76.
  35. ^ Di Cosmo 2002, hlm. 192.
  36. ^ Di Cosmo 2002, hlm. 192–193.
  37. ^ Yü & 1967, hlm. 9–10.
  38. ^ a b Morton & Lewis 2005, hlm. 52.
  39. ^ Di Cosmo 2002, hlm. 193.
  40. ^ Yü 1986, hlm. 397.
  41. ^ Di Cosmo 2002, hlm. 193–195.
  42. ^ Di Cosmo 2002, hlm. 195–196.
  43. ^ Torday 1997, hlm. 77.
  44. ^ Yü 1967, hlm. 10–11.
  45. ^ Loewe 1986, hlm. 130.
  46. ^ Loewe 1986, hlm. 130-131.
  47. ^ a b c Loewe 1986, hlm. 135.
  48. ^ Hansen 2000, hlm. 115-116.
  49. ^ Loewe 1986, hlm. 135-136.
  50. ^ Hinsch 2002, hlm. 21.
  51. ^ a b c Loewe 1986, hlm. 136.
  52. ^ a b Torday 1997, hlm. 78.
  53. ^ Morton & Lewis 2005, hlm. 51-52.
  54. ^ Loewe 1986, hlm. 136-137.

Referensi sunting

  • Akira, Hirakawa. (1998). A History of Indian Buddhism: From Sakyamani to Early Mahayana. Translated by Paul Groner. New Delhi: Jainendra Prakash Jain At Shri Jainendra Press. ISBN 978-81-208-0955-0.
  • An, Jiayao. (2002). "When Glass Was Treasured in China," in Silk Road Studies VII: Nomads, Traders, and Holy Men Along China's Silk Road, 79–94. Edited by Annette L. Juliano and Judith A. Lerner. Turnhout: Brepols Publishers. ISBN 978-2-503-52178-7.
  • Ball, Warwick (2016). Rome in the East: Transformation of an Empire, 2nd edition. London & New York: Routledge, ISBN 978-0-415-72078-6.
  • Beck, Mansvelt. (1986). "The Fall of Han," in The Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, 317-376. Edited by Denis Twitchett and Michael Loewe. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24327-8.
  • Barbieri-Low, Anthony J. (2007). Artisans in Early Imperial China. Seattle & London: University of Washington Press. ISBN 978-0-295-98713-2.
  • Bielenstein, Hans. (1986). "Wang Mang, the Restoration of the Han Dynasty, and Later Han," in The Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, 223–290. Edited by Denis Twitchett and Michael Loewe. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24327-8.
  • Chang, Chun-shu. (2007). The Rise of the Chinese Empire: Volume II; Frontier, Immigration, & Empire in Han China, 130 B.C. – A.D. 157. Ann Arbor: University of Michigan Press. ISBN 978-0-472-11534-1.
  • Csikszentmihalyi, Mark. (2006). Readings in Han Chinese Thought. Indianapolis and Cambridge: Hackett Publishing Company, Inc. ISBN 978-0-87220-710-3.
  • Cullen, Christoper. (2006). Astronomy and Mathematics in Ancient China: The Zhou Bi Suan Jing. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-03537-8.
  • Davis, Paul K. (2001). 100 Decisive Battles: From Ancient Times to the Present. New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-514366-9.
  • de Crespigny, Rafe. (2007). A Biographical Dictionary of Later Han to the Three Kingdoms (23-220 AD). Leiden: Koninklijke Brill. ISBN 978-90-04-15605-0.
  • Demiéville, Paul. (1986). "Philosophy and religion from Han to Sui," in Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, 808–872. Edited by Denis Twitchett and Michael Loewe. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24327-8.
  • Deng, Yingke. (2005). Ancient Chinese Inventions. Translated by Wang Pingxing. Beijing: China Intercontinental Press (五洲传播出版社). ISBN 978-7-5085-0837-5.
  • Di Cosmo, Nicola. (2002). Ancient China and Its Enemies: The Rise of Nomadic Power in East Asian History. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-77064-4.
  • Ebrey, Patricia. (1986). "The Economic and Social History of Later Han," in Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, 608-648. Edited by Denis Twitchett and Michael Loewe. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24327-8.
  • Ebrey, Patricia (1999). The Cambridge Illustrated History of China. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-66991-7.
  • Hansen, Valerie. (2000). The Open Empire: A History of China to 1600. New York & London: W.W. Norton & Company. ISBN 978-0-393-97374-7.
  • Hendrischke, Barbara. (2000). "Early Daoist Movements" in Daoism Handbook, ed. Livia Kohn, 134-164. Leiden: Brill. ISBN 978-90-04-11208-7.
  • Hinsch, Bret. (2002). Women in Imperial China. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, Inc. ISBN 978-0-7425-1872-8.
  • Huang, Ray. (1988). China: A Macro History. Armonk & London: M.E. Sharpe Inc., an East Gate Book. ISBN 978-0-87332-452-6.
  • Hulsewé, A.F.P. (1986). "Ch'in and Han law," in The Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, 520-544. Edited by Denis Twitchett and Michael Loewe. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24327-8.
  • Kramers, Robert P. (1986). "The Development of the Confucian Schools," in Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, 747–756. Edited by Denis Twitchett and Michael Loewe. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24327-8.
  • Lewis, Mark Edward. (2007). The Early Chinese Empires: Qin and Han. Cambridge: Harvard University Press. ISBN 978-0-674-02477-9.
  • Loewe, Michael. (1986). "The Former Han Dynasty," in The Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, 103–222. Edited by Denis Twitchett and Michael Loewe. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24327-8.
  • Loewe, Michael. (1994). Divination, Mythology and Monarchy in Han China. Cambridge, New York, and Melbourne: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-45466-7.
  • Loewe, Michael. (2000). A Biographical Dictionary of the Qin, Former Han, and Xin Periods (221 BC — AD 24). Leiden, Boston, Koln: Koninklijke Brill NV. ISBN 978-90-04-10364-1.
  • Mawer, Granville Allen (2013). "The Riddle of Cattigara" in Robert Nichols and Martin Woods (eds), Mapping Our World: Terra Incognita to Australia, 38–39, Canberra: National Library of Australia. ISBN 978-0-642-27809-8.
  • Minford, John and Joseph S.M. Lau. (2002). Classical Chinese literature: an anthology of translations. New York: Columbia University Press. ISBN 978-0-231-09676-8.
  • Morton, William Scott and Charlton M. Lewis. (2005). China: Its History and Culture: Fourth Edition. New York City: McGraw-Hill. ISBN 978-0-07-141279-7.
  • Needham, Joseph (1965). Science and Civilization in China: Volume 4, Physics and Physical Technology, Part II: Mechanical Engineering. Cambridge: Cambridge University Press. Reprint from Taipei: Caves Books, 1986. ISBN 978-0-521-05803-2.
  • Nishijima, Sadao. (1986). "The Economic and Social History of Former Han," in Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, 545-607. Edited by Denis Twitchett and Michael Loewe. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24327-8.
  • O'Reilly, Dougald J.W. (2007). Early Civilizations of Southeast Asia. Lanham, New York, Toronto, Plymouth: AltaMira Press, Division of Rowman and Littlefield Publishers. ISBN 0-7591-0279-1.
  • Pai, Hyung Il. "Culture Contact and Culture Change: The Korean Peninsula and Its Relations with the Han Dynasty Commandery of Lelang," World Archaeology, Vol. 23, No. 3, Archaeology of Empires (Feb., 1992): 306-319.
  • Shi, Rongzhuan. "The Unearthed Burial Jade in the Tombs of Han Dynasty's King and Marquis and the Study of Jade Burial System", Cultural Relics of Central China, No. 5 (2003): 62–72. ISSN 1003-1731.
  • Suárez, Thomas (1999). Early Mapping of Southeast Asia. Singapore: Periplus Editions. ISBN 962-593-470-7.
  • Tom, K.S. (1989). Echoes from Old China: Life, Legends, and Lore of the Middle Kingdom. Honolulu: The Hawaii Chinese History Center of the University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-1285-0.
  • Torday, Laszlo. (1997). Mounted Archers: The Beginnings of Central Asian History. Durham: The Durham Academic Press. ISBN 978-1-900838-03-0.
  • Wagner, Donald B. (2001). The State and the Iron Industry in Han China. Copenhagen: Nordic Institute of Asian Studies Publishing. ISBN 978-87-87062-83-1.
  • Wang, Zhongshu. (1982). Han Civilization. Translated by K.C. Chang and Collaborators. New Haven and London: Yale University Press. ISBN 978-0-300-02723-5.
  • Wilkinson, Endymion. (1998). Chinese History: A Manual. Cambridge and London: Harvard University Asia Center of the Harvard University Press. ISBN 978-0-674-12377-9.
  • Wood, Frances. (2002). The Silk Road: Two Thousand Years in the Heart of Asia. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. ISBN 978-0-520-24340-8.
  • Young, Gary K. (2001), Rome's Eastern Trade: International Commerce and Imperial Policy, 31 BC - AD 305, London & New York: Routledge, ISBN 0-415-24219-3.
  • Yü, Ying-shih. (1967). Trade and Expansion in Han China: A Study in the Structure of Sino-Barbarian Economic Relations. Berkeley: University of California Press.
  • Yü, Ying-shih. (1986). "Han Foreign Relations," in The Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, 377-462. Edited by Denis Twitchett and Michael Loewe. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24327-8.
  • Zhang, Guanuda. (2002). "The Role of the Sogdians as Translators of Buddhist Texts," in Silk Road Studies VII: Nomads, Traders, and Holy Men Along China's Silk Road, 75–78. Edited by Annette L. Juliano and Judith A. Lerner. Turnhout: Brepols Publishers. ISBN 978-2-503-52178-7.

Bacaan tambahan sunting

  • Dubs, Homer H. (trans.) The History of the Former Han Dynasty. 3 vols. Baltimore: Waverly Press, 1938-
  • Hill, John E. (2009) Through the Jade Gate to Rome: A Study of the Silk Routes during the Later Han Dynasty, 1st to 2nd Centuries CE. John E. Hill. BookSurge, Charleston, South Carolina. ISBN 978-1-4392-2134-1.

Pranala luar sunting