Sejarah hadis, sejak pembentukan hingga saat ini dapat dijelaskan menurut pembagian masa sebagai berikut.

Masa pembentukan hadis

sunting

Berita tentang perilaku Nabi Muhammad saw. (sabda, perbuatan, sikap dan persetujuan) didapat dari seorang sahabat atau lebih yang kebetulan hadir atau menyaksikan saat itu, berita itu kemudian disampaikan kepada sahabat yang lain yang kebetulan sedang tidak hadir atau tidak menyaksikan. Kemudian, berita itu disampaikan kepada murid-muridnya yang disebut tabiin (satu generasi dibawah sahabat). Berita itu kemudian disampaikan lagi ke murid-murid dari generasi selanjutnya lagi yaitu para tabiut tabiin dan seterusnya hingga sampai kepada pembuku hadis (mudawwin).

Pada masa sang nabi masih hidup, hadis belum ditulis dan berada dalam benak atau hafalan para sahabat. Para sahabat belum merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan mengingat nabi masih mudah dihubungi untuk dimintai keterangan-keterangan tentang segala sesuatu.

Di antara sahabat tidak semua bergaulnya dengan nabi. Ada yang sering menyertai, ada yang beberapa kali saja bertemu nabi. Oleh sebab itu, hadis yang dimiliki sahabat itu tidak selalu sama banyaknya ataupun macamnya. Demikian pula ketelitiannya. Namun, di antara para sahabat itu sering bertukar berita (hadis) sehingga perilaku Nabi Muhammad saw. banyak yang diteladani, ditaati dan diamalkan sahabat bahkan umat Islam pada umumnya pada waktu Nabi Muhammad saw. masih hidup.

Dengan demikian, pelaksanaan hadis dikalangan umat Islam saat itu selalu berada dalam kendali dan pengawasan Nabi Muhammad saw., baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya, para sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang berlarut-larut. Hadis yang telah diamalkan atau ditaati oleh umat Islam pada masa Nabi Muhammad saw. hidup ini oleh ahli hadist disebut sebagai sunnah muttaba'ah ma'rufah. Itulah setinggi-tinggi kekuatan kebenaran hadis.

Meskipun pada masa itu hadis berada pada ingatan para sahabat, tetapi ada sahabat yang menuliskannya untuk kepentingan catatan pribadinya (bukan untuk kepentingan umum). Di antaranya ialah:

  1. 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash (dalam himpunan As Shadiqah)
  2. 'Ali bin Abi Thalib (dalam shahifahnya mengenai huku-hukum diat yaitu soal denda atau ganti rugi).

Masa penggalian

sunting

Setelah Nabi Muhammad saw. wafat (tahun 11 H / 632 M) pada awalnya tidak menimbulkan masalah mengenai hadis karena sahabat besar masih cukup jumlahnya dan seakan-akan menggantikan peran nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik mengenai hadis ataupun Alquran, dan di antara mereka masih sering bertemu untuk berbagai keperluan.

Sejak Kekhalifahan Umar bin Khattab (tahun 13 - 23 H atau 634 - 644 M) wilayah dakwah Islamiah dan daulat Islamiah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang memerlukan pemecahannya. Meskipun para sahabat tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, tetapi kebutuhan untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para sahabat makin saling bertemu bertukar hadis.

Kemudian, para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas penggalian hadis dari sumbernya ialah para sahabat besar. Kehadiran seorang sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian para sahabat kecil terutama para tabiin. Meskipun memerlukan perjalanan jauh, tidak segan-segan para tabiin ini berusaha menemui seorang sahabat yang memiliki al hadis yang sangat diperlukannya. Maka, para tabiin mulai banyak memiliki hadis yang diterima atau digalinya dari sumbernya yaitu para sahabat. Meskipun begitu, sekaligus sebagai catatan pada masa itu adalah hadis belum ditulis apalagi dibukukan.

Masa penghimpunan

sunting

Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Musibah itu berupa permusuhan di antara sebagian umat Islam yang meminta korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian bergeser kepada bidang syariat dan akidah dengan membuat al-hadist maudlu (palsu) yang jumlah dan macamnya tidak tanggung-tanggung guna mengesahkan atau membenarkan dan menguatkan keinginan atau perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu. Untungnya mereka tidak mungkin memalsukan Alquran, karena selain sudah didiwankan (dibukukan) tidak sedikit yang telah hafal. Hanya saja mereka yang bermusuhan itu memberikan tafsir-tafsir Alquran belaka untuk memenuhi keinginan atau pahamnya.

Keadaan menjadi semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan terutama para tabiin mengingat kondisi demikian itu lantas mengambil sikap tidak mau lagi menerima hadis baru, yaitu yang sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun menerima, para sahabat kecil dan tabiin ini sangat berhati-hati sekali. Diteliti dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi sumber dan siapa yang membawakannya. Sebab, mereka ini tahu benar siapa-siapa yang melibatkan diri atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan masa itu. Mereka tahu benar keadaan pribadi-pribadi sumber atau pemberita hadis. Misalnya, apakah seorang yang pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau telah uzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan suatu hadis dan sebagainya. Pengetahuan yang demikian itu diwariskan kepada murid-muridnya ialah para tabiut tabiin.

Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 - 101 H / 717 - 720 M) termasuk angkatan tabiin yang memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan hadis. Para kepala daerah diperintahkannya untuk menghimpun hadis dari para tabiin yang terkenal memiliki banyak hadis. Seorang tabiin yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51 - 124 H / 671 - 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Untuk itu dia Az Zuhri menggunakan semboyannya yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya: sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).

Az-Zuhri melaksanakan perintah itu dengan kecermatan yang setinggi-tingginya, ditentukannya mana yang makbul dan mana yang mardud. Para ahli hadis menyatakan bahwa Az-Zuhri telah menyelamatkan 90 hadis yang tidak sempat diriwayatkan oleh rawi-rawi yang lain.

Di tempat lain pada masa ini muncul juga penghimpun hadis yang antara lain:

  • Makkah - Ibnu Juraid (tahun 80 - 150 H / 699 - 767 M)
  • Madinah - Ibnu Ishaq (wafat tahun 150 H / 767 M)
  • Madinah - Sa'id bin 'Arubah (wafat tahun 156 H / 773 M)
  • Madinah - Malik bin Anas (tahun 93 - 179 H / 712 - 798 M)
  • Madinah - Rabi'in bin Shabih (wafat tahun 160 H / 777 M)
  • Yaman - Ma'mar Al Ardi (wafat tahun 152 H / 768 M)
  • Syam - Abu 'Amar Al Auzai (tahun 88 - 157 H / 707 - 773 M)
  • Kuffah - Sufyan Ats Tsauri (wafat tahun 161 H / 778 M)
  • Bashrah - Hammad bin Salamah (wafat tahun 167 H / 773 M)
  • Khurasan - 'Abdullah bin Mubarrak (tahun 117 - 181 H / 735 - 798 M)
  • Wasith (Irak) - Hasyim (tahun 95 - 153 H / 713 - 770 M)
  • Jarir bin 'Abdullah Hamid (tahun 110 - 188 H / 728 - 804 M)

Yang perlu menjadi catatan atas keberhasilan masa penghimpunan hadis dalam kitab-kitab pada masa Abad II Hijriah ini, adalah bahwa hadis tersebut belum dipisahkan mana yang marfuk, mana yang maukuf dan mana yang maktuk.

Masa pendiwanan dan penyusunan

sunting

Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah pembuku hadis disebut pendiwan) dan penyusunan hadis dilaksanakan pada masa abad ke 3 H. Langkah utama dalam masa ini diawali dengan pengelompokan hadis. Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan mana hadis yang marfuk, maukuf dan maktuk. Hadis marfuk ialah hadis yang berisi perilaku Nabi Muhammad, hadis maukuf ialah hadis yang berisi perilaku sahabat dan hadis maktuk ialah hadis yang berisi perilaku tabiin. Pengelompokan tersebut di antaranya dilakukan oleh:

  • Ahmad bin Hambal
  • 'Abdullan bin Musa Al 'Abasi Al Kufi
  • Musaddad Al Bashri
  • Nu'am bin Hammad Al Khuza'i
  • 'Utsman bin Abi Syu'bah

Yang paling mendapat perhatian paling besar dari ulama-ulama sesudahnya adalah Musnadul Kabir karya Ahmad bin Hambal (164-241 H / 780-855 M) yang berisi 40.000 hadis, 10.000 di antaranya berulang-ulang. Menurut ahlinya, sekiranya Musnadul Kabir ini tetap sebanyak yang disusun Ahmad sendiri maka tidak ada hadis yang mardud (tertolak). Mengingat musnad ini selanjutnya ditambah-tambah oleh anak Ahmad sendiri yang bernama 'Abdullah dan Abu Bakr Qathi'i sehingga tidak sedikit termuat dengan yang daif dan 4 hadis maudlu'.

Adapun pendiwanan hadis dilaksanakan dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya. Ulama terkenal yang memelopori usaha ini adalah:

Ishaq bin Rahawaih bin Mukhlad Al Handhali At Tamimi Al Marwazi (161-238 H / 780-855 M)

Ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An Nasai.

Usaha Ishaq ini selain dilanjutkan juga ditingkatkan oleh Bukhari, kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Muslim. Akhirnya ulama-ulama sesudahnya meneruskan usaha tersebut sehingga pendiwanan kitab al hadits terwujud dalam kitab Al-Jami'ush Sahih Bukhari, Al-Jamush Shahih Muslim As-Sunan Ibnu Majah dan seterusnya sebagaimana terdapat dalam daftar kitab pada masa abad 3 hijriah.

Yang perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) ialah telah diusahakannya untuk memisahkan hadis yang sahih dari hadis yang tidak sahih sehingga tersusun 3 macam hadis, yaitu:

  • Kitab Sahih - (Sahih Bukhari, Sahih Muslim) - berisi hadis yang sahih saja
  • Kitab Sunan - (Ibnu Majah, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) - menurut sebagian ulama selain Sunan Ibnu Majah berisi hadis sahih dan hadits daif yang tidak mungkar.
  • Kitab Musnad - (Abu Ya'la, Al Hmaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) - berisi berbagai macam hadis tanpa penelitian dan penyaringan. Oleh sebab itu, hanya berguna bagi para ahli hadis untuk bahan perbandingan.

Apa yang telah dilakukan oleh para ahli hadis pada abad ke-3 hijriah tidak banyak yang mengeluarkan atau menggali hadis dari sumbernya seperti halnya ahli hadis pada abad ke-2 Hijriah. Ahli hadis pada abad ke-3 umumnya melakukan tashih (koreksi atau verifikasi) saja atas hadis yang telah ada di samping juga menghafalkannya, sedangkan pada masa abad ke-4 hijriah dapat dikatakan masa penyelesaian pembinaan hadis, sedangkan pada abad ke-5 hijriah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadis, menghimpun yang terserakan dan memudahkan mempelajarinya.

Lihat pula

sunting