Seledri

spesies tumbuhan obat, digunakan sebagai bumbu masakan.

Seledri (Apium graveolens L.) adalah sayuran daun[2] dan tumbuhan obat yang biasa digunakan sebagai bumbu masakan. Beberapa negara termasuk Jepang, Cina, dan Korea mempergunakan bagian tangkai daun sebagai bahan makanan. Di Indonesia tumbuhan ini diperkenalkan oleh penjajah Belanda dan digunakan daunnya untuk menyedapkan sup atau sebagai lalap. Penggunaan seledri paling lengkap adalah di Eropa: daun, tangkai daun, buah, dan umbinya semua dimanfaatkan.

Seledri
Klasifikasi ilmiah Sunting klasifikasi ini
Kerajaan: Plantae
Klad: Tracheophyta
Klad: Angiospermae
Klad: Eudikotil
Klad: Asterid
Ordo: Apiales
Famili: Apiaceae
Genus: Apium
Spesies:
A. graveolens
Nama binomial
Apium graveolens

Klasifikasi dan pemerian

sunting

Seledri telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu sebagai unsur pengobatan dan penyedap masakan. Salman Tua telah menuliskannya sejak awal penanggalan modern. Linnaeus mendeskripsikannya pertama kali dalam edisi pertama Species Plantarum. Ia memasukkan seledri dalam suku Umbelliferae, yang sekarang dinamakan Apiaceae (suku adas-adasan).

Seledri adalah terna kecil, kurang dari 1 m tingginya. Daun tersusun gemuk dengan tangkai pendek. Tangkai ini pada kultivar tertentu dapat sangat besar dan dijual sebagai sayuran terpisah dari pokoknya. Batangnya biasanya sangat bantet. Pada kelompok budi daya tertentu membesar membentuk umbi, yang juga dapat dimakan. Bunganya tersusun majemuk berkarang. Buahnya kecil-kecil berwarna cokelat gelap.

Ada tiga kelompok seledri yang dibudidayakan:

  • Seledri daun atau seledri iris (A. graveolens Kelompok secalinum) yang biasa diambil daunnya dan banyak dipakai di masakan Indonesia.
  • Seledri tangkai (A. graveolens Kelompok dulce) yang tangkai daunnya membesar dan beraroma segar, biasanya dipakai sebagai komponen salad.
  • Seledri umbi (A. graveolens Kelompok rapaceum), yang membentuk umbi di permukaan tanah; biasanya digunakan dalam sup, dibuat semur, atau schnitzel. Umbi ini kaya provitamin A dan K.

Kegunaan

sunting

Seledri adalah tumbuhan serbaguna, terutama sebagai sayuran dan obat-obatan. Sebagai sayuran, daun, tangkai daun, dan umbi sebagai campuran sup. Daun juga dipakai sebagai lalap, atau dipotong kecil-kecil lalu ditaburkan di atas sup bakso, soto, macam-macam sup lainnya, atau juga bubur ayam.

Seledri (terutama buahnya) sebagai bahan obat telah disebut-sebut oleh Dioskurides serta Theoprastus dari masa Yunani Klasik dan Romawi sebagai "penyejuk perut". Veleslavin (1596) memperingatkan agar tidak mengonsumsi seledri terlalu banyak karena dapat mengurangi air susu. Seledri disebut-sebut sebagai sayuran anti-hipertensi. Fungsi lainnya adalah sebagai peluruh (diuretika), anti reumatik serta pembangkit nafsu makan (karminativa). Umbinya memliki khasiat yang mirip dengan daun tetapi digunakan pula sebagai afrodisiaka (pembangkit gairah seksual).

Namun, seledri berpotensi menimbulkan alergi pada sejumlah orang yang peka. Penderita radang ka'al tidak dianjurkan mengonsumsinya.

Aromanya yang khas berasal dari sejumlah komponen mudah menguap dari minyak asiri yang dikandung,[3] paling tinggi pada buahnya yang dikeringkan. Kandungan utamanya adalah butilftalida dan butilidftalida sebagai pembawa aroma utama. Terdapat juga sejumlah flavonoid seperti graveobiosid A (1–2%)dan B (0,1–0,7%), serta senyawa golongan fenol. Komponen lainnya apiin, isokuersitrin, furanokumarin, serta isoimperatorin. Kandungan asam lemak utama adalah asam petroselin (40-60%). Daun dan tangkai daun mengandung steroid seperti stigmasterol dan sitosterol.

Suatu enzim endonuklease yang disebut Cel1 juga diekstrak dari seledri[4] dan dipakai dalam suatu teknik biologi molekular yang disebut tilling

Budi daya

sunting
 
seledri

Seledri merupakan tanaman dataran tinggi yang tumbuh pada ketinggian 1000–1200 mdpl. Namun dapat toleran untuk ditanam pada dataran rendah. Sementara menurut intensitas curah hujannya, tanaman ini kurang tahan di curah hujan tinggi.[5]

Budi daya seledri memerlukan jenis tanah gembur dengan banyak kandungan bahan organik. Tingkat keasaman tanah juga perlu dipertimbangkan. Tingkat keasaman yang diperlukan untuk tumbuh yaitu pH 5,5–6,5. Jika tanah terlalu asam, dapat dicampurkan dengan kapur atau dolomit.[5]

Perbanyakan

sunting

Ada dua cara tanam seledri, yaitu dengan perbanyakan generatif (dari biji) dan perbanyakan vegetatif (dari anakan). Perbanyakan generatif umum dilakukan pada budi daya skala besar atau komersil. Sementara perbanyakan vegetatif umum dilakukan pada budi daya skala kecil atau rumahan, seperti untuk ditanam di pekarangan rumah dengan menggunakan pot atau polibag.[6]

Perbanyakan generatif didahului dengan menyemai dan menumbuhkan bibit dari biji. Sebelum memulai penyemaian, biji direndam dengan air hangat kuku (50–60 °C) selama sejam. Lalu persiapan media semai berupa baki semai yang terdiri atas campuran tanah dan kompos yang sudah diayak dengan perbandingan 2:1. Pada media semai, dibuat alur garitan sedalam 0,5 cm dengan jarak alur 10–20 cm. Biji lalu ditanamkan ke dalam alur dan ditutup tipis dengan tanah. Media semai perlu disiram untuk menjaga kelembapannya dan diletakkan pada tempat teduh dari tempias air hujan. Penyiraman dapat dilakukan setiap pagi dan sore dan tetap dijaga agar tidak terlalu basah atau terlalu kering. Setelah sebulan atau tumbuh 3–4 helai daun, bibit dipindahkan ke pot atau polibag.[7]

Pada media tanam pot dan polibag, diisi dan dicampur antara tanah, kompos, dan arang sekam dengan perbandingan 1:1:1. Dalam media isi, petani tetap perlu menyiram setiap pagi dan sore selama seminggu. Setelah seminggu, frekuensi penyiraman diturunkan menjadi 2–3 kali seminggu.[8]

Perbanyakan vegetatif dilakukan apabila sudah ada tanaman seledri sebelumnya. Anakan didapat dengan mengambil dari rumpun tanaman sebelumnya dan dipindahkan ke dalam pot atau polibag.[8]

Pupuk yang dapat dipakai antara lain pupuk organik cair, pupuk kandang, pupuk kompos, dan pupuk hayati. Pupuk organik cair efektif untuk pupuk susulan. Pupuk organik cair perlu diencerkan dengan air dengan perbandingan 10 ml pupuk cair dan 1 liter air. Pemupukan dilakukan dengan dosis 100 ml per polibag setiap 1–2 minggu sekali.[9]

Hama dan penyakit

sunting

Seledri jarang terkena hama dan penyakit. Hama dan penyakit umumnya muncul pada budi daya skala besar. Ulat tanah, keong, kutu, dan tungau menjadi hama yang sering muncul. Sementara penyakit yang sering menjangkiti seledri antara lain cercospora, bercak septoria, jo virus aster yellow. Pencegahan penyakit dapat dilakukan mulai dari pemilihan benih yang bagus, menjaga sanitasi kebun, serta pemupukan yang baik. Pengendalian penyakit yang mewabah di kebun dapat menggunakan pestisida organik.[10]

Panen seledri dapat dilakukan berkali-kali. Panen pertama baru dapat dilakukan setelah tanaman berumur 1–3 bulan sesudah tanam. Pertumbuhan maksimal dari seledri adalah bertambah rimbun daun dan anakannya. Panen dapat dilakukan dengan memotong pangkal batang secara berulang-ulang dengan frekuensi panen setiap 1–2 minggu sekali. Panen berakhir ketika anakan tidak produktif lagi. Selain itu, cara lain panen seledri adalah dengan mencabut seledri dari akarnya..[10]

Referensi

sunting
  1. ^ IUCN Detail 164203
  2. ^ Parker, Sybil, P (1984). McGraw-Hill Dictionary of Biology. McGraw-Hill Company. 
  3. ^ Hiller K dan Melzig MF 2007. Die große Enzyklopaedie der Arzneipflanzen und Drogen. Elsevier Spektrum Verlag. Heidelberg. (bagian kandungan bahan)
  4. ^ Oleykowsky CA et al. 1998. Nucleic Acid Research 26:4597-4602.
  5. ^ a b Siregar 2021, hlm. 121.
  6. ^ Siregar 2021, hlm. 122.
  7. ^ Siregar 2021, hlm. 122--123.
  8. ^ a b Siregar 2021, hlm. 123.
  9. ^ Siregar 2021, hlm. 123--124.
  10. ^ a b Siregar 2021, hlm. 124.

Daftar pustaka

sunting
  • Siregar, Ameilia Zuliyanti (2021). Rempah, Bumbu, dan Sayuran Kering Indonesia. Malang: Intimedia. hlm. 77. ISBN 9786236813041.