Semua untuk Hindia
Semua untuk Hindia adalah kumpulan cerita pendek karya Iksaka Banu yang diterbitkan pada bulan Mei 2014 oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Buku ini mengantarkan Iksaka meraih Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori prosa, pada tahun 2014. Penghargaan serupa, tahun itu, juga diberikan kepada Oka Rusmini melalui karyanya, Saiban, untuk kategori Puisi.[1][2][3]
Pengarang | Iksaka Banu |
---|---|
Ilustrator | Yuyun Nurrachman |
Bahasa | Indonesia |
Genre | Fiksi sejarah |
Penerbit | Kepustakaan Populer Gramedia |
Tanggal terbit | Cetakan: I, Mei 2014 |
Halaman | 153 |
ISBN | ISBN 978-979-91-0710-7 |
Latar belakang
suntingSemua untuk Hindia merupakan kumpulan cerita pendek yang seluruh kisahnya terjadi saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Kisah-kisahnya merentang dari masa kedatangan Cornelis de Houtman pada 1596 hingga masa-masa awal Indonesia merdeka. Masing-masing diceritakan dari sudut pandang tokoh-tokoh utamanya yang beragam seperti wartawan perang, polisi, tentara, pastor, administratur perkebunan tembakau, dokter tentara, hingga seorang Nyai. Yang membuat kisah-kisah dalam buku ini menjadi menarik adalah hampir semua konflik yang terjadi pada tokoh-tokohnya terkait dengan peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh sejarah yang pernah terjadi pada masa kolonialisme. Seperti pada cerpen Semua untuk Hindia yang dijadikan judul buku ini. Di cerpen ini, pembaca akan disuguhi sebuah kisah tentang wartawan Belanda yang bersahabat dengan gadis kecil keluarga Puri Kesiman yang kelak menewaskan diri dalam Perang Puputan di Bali. Di cerpen ini dikisahkan bagaimana si Wartawan melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana tragis dan dahsyatnya Perang Puputan.
Selain peristiwa perang puputan di Bali, Iksaka Banu juga menyuguhkan kisah berjudul Bintang Jatuh, berlatar pemberontakan etnis Tionghoa terbesar di Hindia Belanda pada 1740. Dikisahkan, tokoh utama, seorang perwira menengah Hindia mendapat tugas rahasia untuk membunuh Gustaff van Imhoff, saingan gubernur Jenderal Hindia Belanda, Adriaan Valckenier. Di cerpen ini pembaca tidak hanya mendapat gambaran bagaimana konflik batin tokoh utama dan bagaimana pemberontakan entis Tionghoa dapat terjadi, melainkan juga gambaran kondisi politik di Hindia Belanda pada masa itu, dimana terjadi persaingan dan perseteruan dua kubu elite Belanda antara Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier dengan saingannya, Gustaaf Willem van Imhoff.
Selain menampilkan tokoh-tokoh Belanda terkenal yang namanya terekam dalam sejarah, Iksaka juga memunculkan nama-nama pahlawan Nusantara pada masa itu seperti Pangeran Diponegoro dan Untung Surapati. Pangeran Diponegoro muncul sekilas dalam cerpen berjudul Pollux yang diambil dari nama kapal layar yang mengantarnya ke tempat pengasingannya, di Manado. Di cerpen yang mengambil sudut pandang seorang tawanan perang Belanda berkebangsaan Belgia, ini kita akan melihat bagaimana Sang Pangeran, sejak ditawan di Balai kota (Stadhuis) Batavia, hingga saat akan berangkat ke Manado, diperlakukan dengan sangat istimewa oleh tentara kerajaan Belanda yang sangat menghormatinya. Di sini muncul pula konflik antara Belgia dan Belanda yang terjadi saat itu.
Sementara Untung Surapati mendapat porsi cukup banyak dalam cerpen Penunjuk Jalan. Cerpen ini mengisahkan seorang dokter tentara Belanda yang tersesat di hutan bersama temannya yang terluka. Di tengah hutan, sang tokoh bertemu dengan seorang yang memperkenalkan diri sebagai Pangeran Kebatinan yang ternyata adalah Untung Surapati. Lewat dialog sang dokter dengan Untung Surapati terungkap bagaimana Belanda mencoba membangun Batavia sebagai 'Belanda di daerah tropis' yang ternyata berakibat buruk pada sanitasi kota.
Kisah lainnya masih berbalut sejarah Indonesia di zaman kolonial dapat kita temukan dalam ketigabelas cerpen yang masing-masing judul diberi ilustrasi hitam putih karya Yuyun Nurrachman. Selain tentang peperangan, ada juga kisah humanis menyentuh seperti kisah administratur perkebunan tembakau Deli yang terpaksa mengusir gundik dan anak-anak yang dicintainya menjelang kedatangan istrinya (Racun untuk Tuan), kisah Nyai yang disayang Tuannya namun berselingkuh (Stambul Dua Pedang), dan lain-lain.
Komentar tokoh
sunting- "Iksaka Banu ‘'peniup ruh' ’ yang jitu dalam menghidupkan masa lalu. Di tangannya, kisah berlatar sejarah tersingkap apik, rinci, dan dramatik." — Kurnia Effendi
- "Cerita-cerita dalam kumpulan ini membawa kita kepada era kolonialisme yang jarang digali oleh penulis Indonesia modern. Dengan riset yang serius dan teliti, Iksaka Banu mengisahkan tentang cinta, keintiman, kemesraan sekaligus pengkhianatan dan kekejian di antara tokoh-tokoh pribumi dan Belanda." — Leila S. Chudori
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ "Kusala Sastra Khatulistiwa". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-02-23. Diakses tanggal 2015-07-14.
- ^ Pee Diarsipkan 2015-06-23 di Wayback Machine., diakses 23 Juni 2015
- ^ Parcel Buku Diarsipkan 2015-06-23 di Wayback Machine., diakses 23 Juni 2015