Shamsiah Fakeh
Shamsiah Fakeh (lahir di Kampung Gemuruh, Kuala Pilah, Negeri Sembilan, Malaya Britania, 1924 - meninggal di Kuala Lumpur, 20 Oktober 2008 pada umur 84 tahun) adalah seorang politisi dan pejuang kemerdekaan Malaysia. Ia juga dikenal sebagai "Ratu Rimba Malaya", karena perjuangannya dalam menentang kolonialisme Inggris.[1][2]
Shamsiah Fakeh | |
---|---|
Lahir | Shamsiah 1924 Kampung Gemuruh, Kuala Pilah, Negeri Sembilan, Malaya Britania |
Meninggal | 20 Oktober 2008 (umur 84) Kuala Lumpur |
Kebangsaan | Malaysia |
Almamater | Diniyah Putri |
Dikenal atas | - Pejuang kemerdekaan Malaysia - Pemimpin Angkatan Wanita Sedar (AWAS) |
Suami/istri | Yasin Kina (bercerai) Ahmad Boestamam (bercerai) Ibrahim Mohamad |
Anak | Kamaruddin Jamaluddin Shamsuddin |
Orang tua | Fakeh Sultan Sulaiman (ayah) Saamah Nonggok (ibu) |
Asal usul
suntingShamsiah Fakeh lahir di Kampung Gemuruh, Kuala Pilah, Negeri Sembilan, Malaysia pada tahun 1924. Ayahnya bernama Fakeh Sultan Sulaiman, dan ibunya bernama Saamah Nonggok. Ayahnya adalah seorang guru mengaji dan silat Minangkabau. Pada awal abad ke-20, orang tuanya merantau dari Minangkabau ke Negeri Sembilan, Malaysia.
Shamsiah mulai bersekolah pada tahun 1931 di Sekolah Melayu Kampung Parit, Kuala Pilah. Kemudian berpindah di Sekolah Melayu Bandar, juga di Kuala Pilah. Pada 1938, disaat berumur 13 tahun, dia dihantar ayahnya belajar di Diniyah Putri Padangpanjang, yang dipimpin oleh Rahmah El Yunusiyyah.
Pernikahan
suntingPada umur 17 tahun, Shamsiah menikah dengan Yasin Kina, tetapi mereka bercerai saat mengandung anak yang kedua. Kedua anak mereka meninggal dunia dalam usia muda. Ia telah menikah sebanyak lima kali, dan pernikahannya dengan Ibrahim Mohamad adalah yang terakhir.
Di antara suami Shamsiah adalah Ahmad Boestamam yang merupakan pemimpin Angkatan Pemuda Insaf (API). Ahmad tidak pernah menceritakan pernikahan ini dalam setiap karya-karyanya. Rumah tangganya dengan Ahmad terganggu dengan penahanan Ahmad oleh pemerintah kolonial Inggris pada April 1947, menyusul testamen politik API yang dilarang oleh pihak penjajah. Pengadilan menyatakan Ahmad Boestamam bersalah, dan kemudian didenda 1.200 ringgit atau 9 bulan penjara. Karena perbedaan pandangan politik, merekapun kemudian bercerai.
Perjuangan
suntingShamsiah merupakan pemimpin Angkatan Wanita Sedar (AWAS), sebuah partai politik sayap kiri yang didirikan di Semenanjung Melayu pada Februari 1946. Tujuan partai ini adalah untuk menuntut kemerdekaan negeri Melayu dari tangan penjajah Inggris. Pernikahannya dengan Ahmad Boestamam, Ketua Angkatan Pemuda Insaf, telah membakar semangat sejumlah pemuda tanah Melayu mengangkat senjata melawan penjajah. Oleh karenanya, AWAS kemudian dilarang oleh pemerintah Inggris pada tahun 1948.
Shamsiah bergabung dalam resimen ke-10 yang merupakan sayap Melayu dalam Partai Komunis Malaya (PKM). Tekanan pihak penjajah yang berkelanjutan, memaksa Shamsiah membuat keputusan mengikuti jejak langkah rekan-rekan seperjuangannya untuk lari ke hutan di Lubok Kawah di Temerloh, Pahang, dan melanjutkan perjuangan bersenjata dari sana.
Kehidupannya penuh ranjau berduri dan perjuangannya tidak mengira tempat, baik di hutan maupun di pentas internasional. Bersama suaminya, Ibrahim Mohammad, ia bertugas di Tiongkok, Indonesia, dan Vietnam dalam rangka meniup semangat nasionalisme kepada penduduk Asia Tenggara yang masih di bawah penjajahan.
Pada tahun 1956, Shamsiah dan Ibrahim dikirim PKM ke Tiongkok untuk belajar. Shamsiah terus berada di Tiongkok menghubungkan hidupnya dengan bekerja di pabrik besi. Ia memegang berbagai peran termasuk bertugas untuk siaran Melayu Radio Beijing Internasional. Pada tahun 1965, Shamsiah dan Ibrahim ditugaskan ke Indonesia yang ketika itu menerapkan Nasakom sebagai ideologi nasional di bawah Soekarno. Kehadiran Shamsiah adalah untuk mendirikan kantor perwakilan Liga Pembebasan Nasional Malaya di Indonesia.
Ia dan rekan-rekannya ditangkap oleh penguasa Indonesia pada tahun 1965, dan dibebaskan pada tahun 1967 dengan bantuan kedutaan Vietnam. Dari Indonesia ia diterbangkan ke Vietnam dan kemudian kembali ke Tiongkok.[3]
Ia sekeluarga akhirnya kembali ke Malaysia pada 23 Juli 1994, setelah penandatanganan perjanjian damai antara PKM dengan pemerintah Malaysia serta pemerintah Thailand di Haadyai, Thailand pada tahun 1989.
Shamsiah Fakeh menghembuskan nafas terakhir pada 20 Oktober 2008, jam 9 pagi di rumah anaknya, Jamaluddin Ibrahim, di Kodominium de Tropicana, Jalan Kuchai Lama, Kuala Lumpur. Jenazahnya yang mengalami sakit tua, telah dikuburkan di pekuburan muslim Sungai Besi, Kuala Lumpur pada jam 5.30 sore, dengan diiringi oleh lebih seratus sanak-saudara dan teman-teman dekatnya, termasuk wakil presiden PKR Dr Syed Husin Ali dan kolumnis Hishamuddin Rais.[4]
Catatan kaki
sunting- ^ "To exile and back again" Diarsipkan 2015-11-21 di Wayback Machine. The Star, 25 Mei 2008. Diakses 06 September 2015.
- ^ "Pejuang Kemerdekaan Wanita: Wajarkah Aishah Ghani & Shamsiah Fakeh Diangkat Sebagai Srikandi Negara?" Diarsipkan 2015-11-21 di Wayback Machine. Malaysian Digest, 13 Februari 2015. Diakses 21 November 2015.
- ^ ""Shamsiah Fakeh srikandi Malaya"". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-05-27. Diakses tanggal 2009-05-27.
- ^ "Shamsiah Fakeh meninggal dunia"
Referensi
sunting- Azzah Abdul Rahman, Shamsiah Fakeh: Pejuang, Pemimpin, dan Perempuan, PTS Litera Utama, 2011
- Memoir Shamsiah Fakeh: Dari AWAS ke Rejimen ke-10, Penerbit UKM: Bangi, (2004) ISBN 967-942-659-9. 138 hlm.