Siraja Batak

eponim bagi leluhur masyarakat Batak
(Dialihkan dari Si Raja Batak)

Dalam masyarakat Batak Toba, Siraja Batak (Surat Batak: ᯘᯪᯒᯐᯅᯖᯂ᯲) merupakan eponim, yakni istilah yang digunakan untuk menyebut nenek moyang pertama orang-orang Batak (bangso Batak). Dalam setiap silsilah (tarombo), nama ini sekaligus digunakan sebagai nama pribadi leluhur orang-orang Batak. Dalam penuturan (turiturian) masyarakat Batak, Siraja Batak berasal dari Sianjur Mulamula, Samosir.[1] Siraja Batak diyakini sebagai induk dari marga-marga Batak yang ada saat ini.

Asal sunting

Diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907), maka anaknya bernama Si Raja Buntal adalah generasi ke-20.

Si Boru Deak Parujar, putri dari Batara Guru, dijodohkan dengan putra Mangala Bulan, yaitu Raja Odapodap. Namun, Si Boru Deak Parujar menolak. Dia berupaya menunda pernikahan itu dengan alasan ingin menyelesaikan tujuh tenunan benang terlebih dahulu. Namun, pada akhirnya Si Boru Deak Parujar, yang telah lama hidup kesepian, setuju menikah dengan Raja Odapodap.[2] Pasangan tersebut dikaruniai sepasang anak dengan nama Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia.[3]

Siraja Miokmiok menikah dengan Si Boru Mansur Purnama dan mereka memiliki putra bernama Eng Banua. Eng Banua menikah dengan Boru Siuman dan mereka mempunyai tiga putra, yaitu Siraja Ujung, Siraja Jau, dan Siraja Bonangbonang. Siraja Bonangbonang di kemudian hari memiliki putra bernama Siraja Tantan Debata. Siraja Tantan Debata lah kemudian yang memperanakkan Siraja Batak.[4]

Orang Batak berasal dari leluhur yang sama. Berawal dari Siraja Batak, kemudian berkembang menjadi marga-marga.Catatan silsilah berdasarkan garis keturunan ini lazim disimpan dan dituliskan dari generasi ke generasi.

Orang batak menyebutnya tarombo. Sebagian orang merasa perlu pembuktian, sebagian lagi hanya cukup meyakini.

Dari Pangururan, Ibu Kota Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Danau Toba terlihat menyempit. Nyaris menyatu dengan perbukitan disekelilingnya. Di antaranya tersemat bukit berdinding sulfur membelakangi puncak yang menjulang hingga 1972 Mdpl. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai Pusuk Buhit. Seperti namanya, Pusuk Buhit bila diterjemahkan kebahasa Indonesia berarti ‘puncak bukit’. Merujuk pada titik tertinggi perbukitan yang terhampar mengelilingi Kaldera Toba. Di sinilah diyakini orang batak pertama diturunkan.

Setelah meneguk segelas kopi, Pak Sagala dengan nada penuh semangat bercerita tentang Pusuk Buhit. Mulai dari tradisi masyarakat sekitar hingga hal-hal yang berbau spritual.

“Sampai sekarang masih banyak orang dari luar daerah datang untuk sekedar berdoa dan memohon hajat di Pusuk Buhit,” kata warga Sianjur Mulamula ini.

Rumah Pak Sagala berada disekitar kaki Gunung Pusuk Buhit. Tidak jauh dari sana, jejak sejarah Siraja Batak dan keturunannya masih tersisa. Batu Hobon misalnya. Peninggalan Raja Uti, cucu Siraja Batak. Selalu diceritakan berfungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda pusaka dan kitab ajaran-ajaran para leluhur. Layaknya sebuah tempat sakral untuk menyembah, penduduk setempat menghiasi Batu Hobon dengan berbagai bunga. Masih di kawasan yang sama, terdapat juga Parsaktian Tatea Bulan, anak Siraja Batak.

 
Ilustrasi Siraja Batak dalam gambaran patung

Orang Batak memiliki kosmologi sendiri tentang penciptaan bumi dan manusia. Mitologi Batak mengenal alam terbagi atas tiga banua, yakni Banua Ginjang atau dunia atas, Banua Tonga atau dunia tengah dan Banua Toru atau dunia bawah.

Titik awal kehidupan berada di Banua Ginjang. Di sana, tinggal Ompu Debata Mulajadi Na Bolon bersama tiga dewa ciptaannya. Batara Guru, Soripada, dan Mangalabulan serta para keturunannya.

Alkisah, Siboru Deak Parujar, anak Perempuan Batara Guru, ditunangkan dengan anak laki-laki Mangalabulan, Raja Odapodap. Namun, Siboru Deak Parujar menolak. Berupaya menunda pernikahan dengan alasan ingin menyelesaikan tujuh tenunan benang terlebih dahulu. Ompu Debata Mulajadi Na Bolon mengetahui itu hanya siasat Deak Parujar.

Ompu Debata lalu melemparkan gumpalan benang tersebut. Ingin menyelamatkan benang milikinya, Deak Parujar pun ikut melompat.

Meskipun Siboru Deak Parujar hidup terombang-ambing jauh dari Banua Ginjang, ia enggan untuk kembali. Pun begitu, Deak Parujar memohon agar Ompu Mulajadi Na Bolon mau memberikan segengam tanah sekadar tempat berpijak. Permintaan itu dikabulkan. Dari segenggam tanah, Deak Parujar membentuk daratan yang saban hari semakin lebar.Tempat tinggal Deak Parujar dikenal sebagai Banua Tonga.

Rintangan dan berbagai persoalan dilewatinya. Termasuk saat Naga Padoha, penghuni Banua Toru, mengganggunya. Deak Parujar memilih terus menetap di Banua Tonga.

Takdir tak dapat terelakkan. Deak Parujar yang lama hidup kesepian pada akhirnya setuju menikah dengan Raja Odapodap. Laki-laki yang sekuat tenaga ditolaknya saat masih hidup di Banua Ginjang. Pasangan ini dikaruniai sepasang anak dengan nama Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia. Beberapa generasi setelahnya, lahirlah Siraja Batak, leluhur orang Batak.

Kisah ini masih dipercaya oleh masyarakat Batak. Eksistensi Siraja Batak hadir lewat tarombo atau pohon silsilah garis keturunan marga-marga. Meskipun tarombo yang dituliskan secara turun temurun terkadang mengaburkan garis batas antara mitos dan realitas.

Referensi sunting

  1. ^ bonauli. "Sianjur Mulamula, Desa Batak Pertama yang Sakti Mandraguna". detikTravel. Diakses tanggal 2022-03-21. 
  2. ^ "Jejak Batak, Siraja Batak – LAKE TOBA". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-18. Diakses tanggal 2022-03-21. 
  3. ^ "LEGENDA SIRAJA BATAK". OBATAK. Diakses tanggal 2022-03-21. 
  4. ^ Institute, Batak (2021-08-03). "Awal Silsilah Marga Batak". TOKOH INDONESIA | TokohIndonesia.com | Tokoh.id (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2022-03-21.