Silitol

senyawa kimia

Silitol (atau xilitol) adalah gula alkohol dengan rantai lima atom karbon yang memiliki rumus kimia C5H12O5 atau HO(CH2)(CHOH)3(CH2)OH. Silitol digolongkan sebagai polialkohol, secara spesifik sebagai alditol. Silitol berwujud padatan kristalin yang berwarna putih atau tidak berwarna dan larut di dalam air. Nama silitol berasal dari bahasa Yunani Kuno: ξύλον, xyl[on] yang berarti "kayu", dengan akhiran -itol yang digunakan untuk menyebut gula alkohol. Silitol berfungsi sebagai aditif pangan dan pengganti gula. Nomor kode European Union untuk silitol adalah E967.[1]

Struktur silitol

Silitol mengandung 2,43 kilokalori (kcal) per gram, lebih rendah dibandingkan gula yang memiliki 3,87 kcal per gram. Silitol tidak memiliki aftertaste dan dikatakan aman untuk penderita diabetes dan hiperglikemia. Hal ini karena silitol memiliki indeks glikemik (GI) rendah yaitu 7 (dibandingkan gula yang memiliki GI 100), sehingga silitol berefek lebih rendah dalam gula darah.[2]

Sejarah sunting

Silitol pertama kali ditemukan pada tahun 1891 oleh seorang ahli kimia Jerman, Emil Fischer. Silitol mulai banyak digunakan saat Perang Dunia II pada masa 1930-an untuk mengatasi masalah kelangkaan gula. Kemudian pada masa 1960-an, silitol diperdagangkan di Jerman, Swiss, Uni Soviet, Jepang, Italia, dan Cina. Silitol disetujui penggunaannya oleh FDA pada tahun 1963 sebagai aditif pangan. Saat ini, penggunaan silitol sudah disetujui dalam produk pangan, obat-obatan, dan produk kesehatan mulut di lebih dari 35 negara.[3]

Sumber dan Produksi sunting

Silitol secara alamiah terkandung dalam buah seperti stroberi, rasberi, plum; sayur seperti labu, kembang kol, bayam; jamur, alga, dan ragi. Silitol diperoleh dengan proses hidrogenasi katalitik dari silosa yang berasal dari hidrolisis silan (hemiselulosa) kayu.[4] Metode produksi silitol dengan biosintesis meliputi: fermentasi silosa dengan ragi Mycobacterium smegmatis[5] dan konversi silosa menjadi silitol oleh Candida tropicalis[6].

Produksi silitol dalam industri diawali dengan ekstraksi silan dari biomassa yang mengandung lignoselulosa. Bahan baku biomassa meliputi kayu dan limbah pertanian dari pemrosesan jagung, gandum, atau beras. Polimer silan dihidrolisis menjadi silosa, kemudia dihidrogenasi katalitik menjadi silitol. Proses tersebut mengkonversi gula berupa aldehid (silosa) menjadi alkohol primer (silitol). Kemudian pengotor yang terlarut dalam silitol dibuang dengan penyaringan.[7]

Proses produksi silitol umumnya dilakukan menggunakan metode standar industri. Fermentasi industrial yang melibatkan bakteri, jamur, atau ragi juga banyak dilakukan namun hasilnya tidak begitu efisien jika dibandingkan proses standar.

Penggunaan sunting

Silitol digunakan sebagai pengganti gula dalam produk-produk pangan, obat-obatan, suplemen makanan, pasta gigi, dan permen karet, namun silitol bukanlah bahan pemanis yang biasa digunakan sehari-hari. Silitol dapat diserap tubuh lebih lambat daripada gula dan memberikan kalori 40% lebih rendah.[3] Silitol sudah disetujui sebagai aditif pangan di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.[8][9]

Penggunaan silitol untuk menggantikan gula dalam produk pangan diklaim dapat memberi manfaat kesehatan gigi yang lebih baik, namun masih belum terdapat cukup bukti yang menunjukkan silitol dapat mengurangi karies gigi pada anak-anak.[10]

Daftar Referensi sunting

  1. ^ "Food – EPA – European Association of Polyol Producers". polyols-eu.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-27. 
  2. ^ Godswill, Awuchi Chinaza (2017). "Sugar alcohols: chemistry, production, health concerns and nutritional importance of mannitol, sorbitol, xylitol, and erythritol" (PDF). International Journal of Advanced Academic Research. 3 (2): 44. 
  3. ^ a b "Xylitol Uses, Benefits & Dosage - Drugs.com Herbal Database". Drugs.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-27. 
  4. ^ Handbook of sweeteners. Marie, S. (Susan), 1946-, Piggott, J. R. (John Raymond), 1950-. Glasgow [England]. ISBN 978-1-4757-5380-6. OCLC 883381921. 
  5. ^ Izumori, Ken; Tuzaki, Keiji (1988-01). "Production of xylitol from D-xylulose by Mycobacterium smegmatis". Journal of Fermentation Technology (dalam bahasa Inggris). 66 (1): 33–36. doi:10.1016/0385-6380(88)90126-4. 
  6. ^ Gong, Cheng-Shung; Chen, Li Fu; Tsao, George T. (1981-03). "Quantitative production of xylitol from D-xylose by a high-xylitol producing yeast mutant Candida tropicalis HXP2". Biotechnology Letters (dalam bahasa Inggris). 3 (3): 125–130. doi:10.1007/BF00127364. ISSN 0141-5492. 
  7. ^ Ur-Rehman, Salim; Mushtaq, Zarina; Zahoor, Tahir; Jamil, Amir; Murtaza, Mian Anjum (2015-09-19). "Xylitol: A Review on Bioproduction, Application, Health Benefits, and Related Safety Issues". Critical Reviews in Food Science and Nutrition (dalam bahasa Inggris). 55 (11): 1514–1528. doi:10.1080/10408398.2012.702288. ISSN 1040-8398. 
  8. ^ "CFR - Code of Federal Regulations Title 21". www.accessdata.fda.gov. Diakses tanggal 2020-08-27. 
  9. ^ Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (2014). "Peraturan Kepala BPOM No. 4 Tahun 2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis". BPOM. Diakses tanggal 2020-08-27. [pranala nonaktif permanen]
  10. ^ American Academy of Pediatric Dentistry (AAPD) (2015). "Policy on Use of Xylitol" (PDF). American Academy of Pediatric Dentistry. Diakses tanggal 2020-08-27.