Situs Selogending adalah situs peninggalan masa lalu yang memiliki karakter pemujaan berbentuk punden berundak dan mempunyai pusat pemujaan berbentuk batu menhir. Situs ini terletak di Desa Kandangan, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang. Sebagai sebuah situs pemujaan, Situs Selogending memiliki areal peribadatan seluas kurang lebih lima hektar. Paling tidak ada lima batu menhir yang dikeramatkan yaitu : Watu Selogending, Watu Wadung Prabu, Watu Mbah Pikulun, Watu Tejo Kusumo dan Watu Tejo Gedang.

Situs Selogending
Agama
AfiliasiHindu Tengger
ProvinsiProvinsi Jawa Timur
Lokasi
SektorDesa Kandangan

Latar Belakang

sunting

Gunung Semeru sebagai penjelmaan Gunung Meru di India dihormati oleh masyarakat sejak lama. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan prasasti Kumbolo yang menceritakan perjalanan seorang pandita bernama Mpu Kameswara ke Gunung Semeru. Prasasti Kumbolo diperkirakan ditulis pada tahun 1525 Masehi. Adapun tujuan perjalanannya adalah untuk mencari air suci atau Tirtayatra di kaki Gunung Semeru tepatnya di Kalimati atau di Sumbermani.

Hingga saat ini ritual mencari air suci tetap dilestarikan. Umat Hindu Bali bahkan secara berkala mengunjungi sumber mata air Watu Klosot di Pasrujambe. Pasrujambe sendiri merupakan kawasan kuno yang pada masa lampau pernah menjadi tujuan peziarah. Hal ini dibuktikan dengan temuan beberapa benda purbakala di Sungai Rawa. Salah satu prasasti bertuliskan nama sebuah tempat yaitu Rabut Macan Pethak. Jika ditinjau secara kebahasaan Rabut Macan Pethak artinya adalah "Bukit Harimau Putih."

Karena Sungai Rawa mempunyai ikatan yang sangat erat dengan Situs Selogending maka yang disebut sebagai Rabut Macan Pethak itu tentu adalah Selogending itu sendiri. Hubungan antara Situs Selogending dan Sumber Rawa juga terabadikan dalam suatu laporan Belanda yang menyebutkan nama tempat bernama Selarawa. Selarawa merupakan gabungan dua kata yaitu Sela dan Rawa yang merujuk pada dua tempat yaitu Selogending dan Sumber Rawa. Dalam laporan Belanda dikatakan bahwa Selarawa adalah sebuah pertapaan yang dipimpin oleh Pandita Amongdharma. Pertapaan ini menyembunyikan mantan penguasa Malang yaitu Adipati Malayakusuma. Laporan Belanda juga menyebutkan bahwa mata-mata Belanda sempat bertemu dengan Pandita Amongdharma di Gunung Ciri (Banjarsawah). Pada pertemuan itu mata-mata Belanda dilarang oleh Amongdharma untuk menemui Malayakusuma.

Watu Tedjo Kusumo

sunting

Watu Tedjo Kusumo adalah salah satu batu keramat yang disucikan di Situs Selogending. Batu ini dinamai Watu Tedjo Kusumo didasarkan pada nama seorang tokoh yang pada masa lampau pernah menjadi penguasa Tengger yaitu Panji Mas Tedjo Kusumo. Panji Mas Tedjo Kusumo adalah putra dari Adipati Malayakusuma.

Ketika Kota Malang jatuh ke tangan VOC, Panji Mas Tedjo Kusumo yang saat itu masih kanak-kanak diselamatkan oleh Pandita Tengger Amongdharma. Panji Mas Tedjo Kusumo kemudian diasuh di Pegunungan Tengger dan menjadi seorang Demang ketika sudah dewasa. Pada tahun 1813, Panji Mas Tedjo Kusumo memberontak terhadap pemerintah kolonial. Karena memberontak, Panji Mas Tedjo Kusumo kemudian dibuang ke Rembang.

Di Rembang, Panji Mas Tedjo Kusumo kemudian menikah dengan anak keturunan keluarga Han Lasem dan menurunkan beberapa keturunan seperti Mas Soemodiwirjo, Mas Sastrodiwirjo dan Mas Prawiriodiwirjo.

Watu Tedjo Gedang

sunting

Watu Tedjo Gedang adalah batu keramat yang letaknya berdekatan dengan Watu Tedjo Kusumo. Batu ini diberi nama Tedjo Gedang karena berhubungan erat dengan sosok Hasan Mukmin atau Mbah Reso atau Mas Soemodiwirjo. Diberi nama Tedjo karena merupakan anak dari Tedjo Kusumo. Diberi nama gedang karena berhubungan erat dengan peristiwa pemberontakan Kiai Hasan Mukmin di Gedangan.

Referensi

sunting
  1. Lantini, Endah Susi dan Tim Penulis (1996). Refleksi Nilai-Nilai Budaya Jawa Dalam Serat Suryaraja. Jakarta. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  2. Margana, Sri (2007). "Java's Last Frontier : The struggle for hegemony of Blambangan, c. 1763-1813". The Leiden University Scholarly Repository.