Situs Tutari merupakan sebuah situs megalitikum yang berlokasi di Desa Doyo Lama, Distrik Waibu, Jayapura. Kawasan ini tak jauh dari Samudera Pasifik, Kabupaten Sarmi di utara, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom di timur, Kabupaten Yahukimo dan Tolikara di selatan, dan Kabupaten Sarmi di Barat. Ia terletak 3 km di barat daya kawasan Sentani dan bisa dicapai dengan kendaraan roda dua ataupun roda empat.[1] Dinamai Tutari oleh sebab di sini pernah hidup suku Tutari sejak 1500 SM dan berkuasa hingga sekitar 400 M di sekitar danau Sentani. Penanggalan situs diperkirakan tidak terlalu tua sekitar 600-650 tahun lampau, atau diperkirakaan abad ke 12-13 Masehi. Ini berdasarkan perhitungan mundur melalui 17 ondoafi Doyo Lama yang pernah memerintah dikarenakan berdasarkan legenda, ondoafi pertama adalah pemimpin suku pendatang yang memusnahkan suku Tutari.[2]

Megalit Tutari Doyo Lama
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Menhir-menhir di Situs Megalit Tutari Doyo Lama dengan latar Danau Sentani.
Cagar budaya Indonesia
PeringkatNasional
KategoriSitus
No. RegnasCB.499
Lokasi
keberadaan
Kabupaten Jayapura, Papua
Tanggal SK2007
Pemilik Indonesia

Suku Tutari sunting

Berdasarkan cerita setempat sekitar 600 tahun silam, kawasan Bukit Tutari dihuni sekelompok masyarakat asli bernama Suku Tutari. Perkampungan suku tersebut bernama Tutariyohu tamaiyohu, yang hidup makmur dan tenang, karena di bagian timur terdapat dataran luas yang subur (dataran ini sekarang disebut dengan Doyo Baru). Suku tersebut dipimpin oleh lima kepala adat (ondoafi) yaitu Tutari Do Daime, Do Seime, Do Ini, Do Omio, dan Do Mangkin. Di bukit Tutari ini ada empat cungkup yang melambangkan empat ondoafi tersebut dan satu cungkup sebagai sentralnya. Tinggalan yang terdapat di situs ini dari zaman prasejarah (neolitik) berupa kapak batu, perunggu, manik-manik, alat berburu atau nelayan. Diperkirakan suku ini memperoleh makanan dengan berburu, menangkap ikan, beternak, dan bercocok tanam.[3]

Pada masa lampau Suku Tutari diserang oleh Suku Ebe yang berdiam di sebuah pulau di Danau Sentani, pulau itu disebut dengan Pulau Yonahang (sekarang bernama Kwadeware). Kisah menyebutkan bahwa dalam peperangan tersebut seluruh anggota Suku Tutari musnah, dan tidak seorangpun yang lolos dari pembantaian. Wilayah ini kemudian dikuasai Suku Ebe yang menempati kawasan tepi barat Danau Sentani dan sudah dipimpin oleh 17 ondoafi secara turun temurun.[2]

Situs Bukit sunting

Situs Tutari dapat dikelompokkan pada corak megalitik yang dicirikan oleh bentuk menhir dalam jumlah banyak. Meskipun mempunyai ukuran yang berbeda, namun bentuk-bentuk menhir yang tersebar di situs ini mengingatkan pada kompleks menhir yang ada di Sumatera barat. Kesamaan antara Situs Tutari dan situs megalitik di Sumatera Barat terdapat pada teknik pendirian menhir. Pada kelompok menhir di Situs Tutari tampak bahwa menhir-menhir tersebut tidak ditanam dalam tanah, melainkan hanya diletakkan di atas tanah dan ditopang oleh beberapa batu kecil untuk menjaga agar tidak runtuh. Hal semacam ini juga dijumpai pada kelompok menhir di Sumatera Barat.[2]

Ciri megalitik lain adalah tatanan batu yang berjejer dua dengan orientasi pangkalnya mengarah ke kelompok menhir sedangkan ujungnya mengarah ke batu-batu berlukis di bawahnya. Bentuk semacam ini jarang ditemukan di wilayah Indonesia lainnya. Lukisan yang digambarkan berupa motif hewan (ikan, kura-kura, biawak), manusia, geometris, dan flora. Lukisan ini mengingatkan pada budaya megalitik, khususnya pahatan bentuk biawak dan manusia di wilayah Serawak, pahatan dan goresan batu dan dolmen di daerah Bondowoso (Jawa Timur) dalam bentuk manusia, hewan (burung dan anjing) yang merupakan binatang totem bagi masyarakat pada waktu itu.[2]

Masyarakat Doyo beranggapan bahwa puncak Bukit Tutari ditebari sejumlah besar tiang-tiang batu yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah orang Tutari, sedangkan batu-batu yang berdiri dianggap sebagai simbol tokoh-tokoh adat yang hadir dalam musyawarah. Adapun deretan batu yang terletak tidak jauh dari kelompok tiang batu merupakan simbol keberhasilan orang Tutari dikala berperang melawan Suku Boroway yang bermukim di bagian barat. Jumlah batu yang ada dalam barisan sesuai dengan jumlah korban yang jatuh. Deretan sebelah kanan merupakan barisan perempuan, sedenagkan deretan kiri merupakan barisan laki-laki.[2]

Di antara batu-batu yang berserakan terdapat beberapa batu yang dianggap berbentu kepala burung. Batu ini merupakan penjelmaan mahluk gaib yang diutus oleh Suku Eba untuk memusnahkan Suku Tutari pada waktu peperangan. Kemudian sebuah batu dalam posisi berdiri dianggap sebagai panglima perang yang memberi komando.[2]

Studi lanjutan sunting

Studi etnografi menunjukkan bahwa pernah terjadi suatu aktivitas di bukit itu, yang dilakukan oleh masyarakat Tutari sebelum punah. Kegiatan yang berlangsung di atas bukit itu bersifat ritual dan upacara yang dicirikan oleh sekelompok menhir, untuk pembuktian secara arkeologis diperlukan data materi yang dapat mendukung fungsi dari suatu situs.[2]

Renfrew (1984) menyebutkan bahwa suatu situs dapat dicirikan sebagai tempat situs dan upacara atas dasar beberapa indikator. Indikator tersebut antar lain bahwa situs harus terletak di suatu bentang alam seperti puncak gunung, bukit, atau tempat yang ditinggikan. Indikator berikutnya berupa adanya bekas sesaji atau bekal kubur, dan adanya tempat atau bangunan yang diperuntukkan sebagai peralatan kegiatan, seperti altar dan sebagainya. Walaupun belum ditemukan bukti-bukti hasil ekskavasi yang memberikan gambaran fungsi situs tersebut, namun beberapa kriteria yang diajukan Renfrew, khususnya yang mengenai penetapan suatu situs sebagai situs upacara, dapat diterapkan pada situs-situs Tutari. Secara keseluruhan Situs Tutari terletak di suatu puncak bukit, serta menunjukkan pengulangan dalam bentuk simbol-simbol seperti ikan, kura-kura, biawak yang mungkin dianggap sebagai hewan totem, serta mempunyai makna simbol tertentu bagi masyarakat pada waktu itu.[2]

Keberadaan gambar cadas di situs ini pertama kali dicatat oleh K.W.Galis pada tahun 1959 dan sekaligus gambar cadas berbentuk pahatan pertama yang dilaporkan dari Papua (Galis 1961). Pada saat itu seluruh daerah tersebut tertutup oleh alang-alang, sehingga sulit untuk menemukan bongkah-bongkah batu berpahatan. Galis mengemukakan bahwa kemungkinan lebih banyak pahatan dapat ditemukan di bukit ini dibandingkan yang ia laporkan dan lampirkan foto-fotonya dalam tulisannya. Ia menyebutkan motif motif yang digambarkan pada bongkah-bongkah batu ini terutama berupa binatang air, seperti ikan, kura-kura, buaya, atau kadal dan burung. Namun demikian, ditemukan pula motif berupa anjing atau babi, ular dengan mulut menganga, manusia dan bentuk lain yang aneh (Galis 1961). Gambar cadas yang dilaporkan Galis semuanya berjumlah 76 gambar dan ukuran tinggi motif yang dipahatkan berkisar antara 12 cm sampai 150 cm. Pahatan ini dibuat dalam bentuk ragangan atau isian penuh. Gambar cadas ini dipahatkan pada bagian permukaan batu yang danggap baik, artinya cukup luas dan rata. Itu sebabnya pahatan ditemukan pada bagian batu yang menghadap ke segala penjuru. Uraian mengenai situs ini juga dibuat oleh Bintarti (1982) secara sepintas.[2]

Laporan penelitian Bagyo Prasetyo (2001) memuat deskripsi situs ini dengan sangat rinci. Ia menyebutkan bahwa Situs Tutari lebih mencerminkan budaya megelitikdan berdasarkan penelitian yang dilakukan tahun 1994 dan 1995 peninggalannya dikelompokkan ke dalam empat jenis, yaitu bongkahan batu dengan berbagai macam gambar, jajaran batu, menhir, dan batu kandang.(Prasetyo 2001:7) Dalam penelitian ini bongkah batu yang berhasil diidentifikasi jumlahnya lebih banyak dari yang dilaporkan Galis. Disebutkan bahwa terdapat 83 bongkah batu, 80 di antaranya mempunyai pahatan pada satu sisi, dua bongkah pada dua sisi, dan satu bongkah pada tiga sisi. Gambar cadas tersebut menggambarkan 138 motif, tiga di antaranya tidak dapat lagi diidentifikasi, karena keadaan batunya sudah sangat aus. Adapun yang dapat diidentifikasi menggambarkan manusia (17), hewan (93) yang terdiri dari ikan (64), biawak (17), kura-kura (14), ular (1), dan burung (1), bentuk geometris (15), flora (3), kapak (3).(Prasetyo 2001)[2]

Prasetyo menyebutkan sejumlah dongeng yang berkaitan dengan bangunan-bangunan megalitik yang ada ditempat itu. Namun demikian, tidak ada dongeng yang berkaitan dengan bongkah-bongkah batu bergambar cadas. Disebutkan bahwa gambar cadas tersebut sudah ada sebelum nenek moyang penduduk setempat tinggal di tempat ini.(Prasetyo 2001) hal ini menimbulkan dugaan bahwa bongkah-bongkah batu bergambar cadas ini kemungkinan besar berasal dari masa yang lebih tua dari bangunan megalitik yang ada di tempat ini.[2]


Referensi sunting

  1. ^ Animal motifs on rock art in Papua and West Papua Diarsipkan 2022-07-24 di Wayback Machine. Wacana UI.
  2. ^ a b c d e f g h i j k "Megalit Tutari Doyo Lama". Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya. 2017-10-04. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-26. Diakses tanggal 2022-07-29. 
  3. ^ Asrida, Elisabeth (4 Desember 2018). Cerita Makhluk Hidup dan Alam Papua di Situs Megalitik Tutari Mongabay.