Soedarpo Sastrosatomo

pebisnis Indonesia

Soedarpo Sastrosatomo (30 Juni 1920 – 22 Oktober 2007)[1] adalah juru runding, nasionalis, serta pengusaha yang banyak berperan dalam membantu perjuangan diplomasi Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan.

Soedarpo Sastrosatomo
Informasi pribadi
Lahir(1920-06-30)30 Juni 1920
Belanda Pangkalan Susu, Langkat, Sumatera Utara, Hindia Belanda
Meninggal22 Oktober 2007(2007-10-22) (umur 87)
Jakarta, Indonesia
Suami/istriMinarsih Wiranatakusumah
AnakShanti Lasminingsih Poesposoetjipto, Ratna Djuwita Tunggul Hatma, Chandraleika Mulia
Tempat tinggalJalan Pegangsaan Barat Nomor 16, Menteng, Jakarta Pusat, DKI Jakarta
Alma materIka Daigaku, tidak selesai
PekerjaanPengusaha
Dikenal karenaPendiri Bank Niaga
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Ia terlibat sebagai anggota perunding Indonesia dalam Perundingan Linggarjati, kemudian menjadi anggota perwakilan RI di PBB pada tahun 1948 hingga 1950. Setelah menjadi pegawai negeri beberapa saat, ia keluar untuk melakukan bisnis swasta. Ia mendirikan PT Samudera Indonesia, perusahaan pelayaran besar yang menguasai distribusi barang se-Indonesia. Setelah beberapa kali ekspansi ke berbagai bidang usaha, pada tahun 1986 ia tercatat memimpin 21 perusahaan.[2]

Ia dikenal sebagai seorang pengusaha Indonesia yang dijuluki sebagai Raja Kapal karena perusahaan pelayarannya menjadi perusahaan garda terdepan di Indonesia. Pada tahun 2006, namanya masuk dalam "Daftar 40 orang terkaya di Indonesia (2006)" dari Majalah Forbes.[3]

Pada masa tuanya ia dikenal sebagai filantropis serta banyak berhubungan dan membantu aktivis pergerakan, politisi, serta akademisi.

Soedarpo menikah dengan Minarsih Wiranatakusumah (lebih dikenal dengan nama Mien Sudarpo) dan dikaruniai tiga orang putri, Shanti Lasminingsih Poesposoetjipto, Ratna Djuwita Tunggul Hatma, dan Chandraleika Mulia.

Kehidupan sunting

Masa kecil sunting

Lahir di Pangkalan Susu, Langkat, Sumatera Utara, ayah Soedarpo bernama Mas Sadeli Sastrosatomo dan ibunya Rd. Ngt. Sarminah asal Klaten, Jawa Tengah. Sadeli Sastrosatomo adalah seorang pegawai Jawatan Garam di kawasan Sumatra Timur. Menjabat sebagai Ambtenaar Opiumregie. Pada saat Soedarpo berusia 9 tahun (1929), sang ayah meninggal dunia. Ibu Sarminah kemudian membawa Soedarpo dan kedelapan anaknya yang lain ke kampung halaman di Desa Ngupit, dekat Klaten, sebuah desa perkebunan tembakau.

Di Desa Ngupit, Ibu Sarminah membuka warung dibantu oleh anak-anak laki-lakinya, termasuk Soebadio, anak lelaki ketiga (kelak akan dikenal sebagai salah satu pendiri Partai Sosialis Indonesia bersama Sjahrir). Sang ibu walaupun sendiri berhasil memberikan pendidikan yang baik untuk anak-anaknya. Soedarpo mengenyam pendidikan di MULO Yogyakarta, bahkan pada masa sekolah menengah di Algemeene Middlebare School (AMS)-B Yogyakarta, Soedarpo dikenal sebagai atlet wahid, juara lari loncat gawang.[4][5][6]

Aktivis mahasiswa dan anak buah Sutan Sjahrir sunting

Soedarpo muda kemudian melanjutkan pendidikannya ke Ika Daigaku (nama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada saat penjajahan Jepang) jurusan kedokteran. Minarsih Wiranatakusumah yang kelak menjadi istri Soedarpo juga berkuliah di universitas ini tetapi di Yakugaku (jurusan farmasi), sayangnya karena revolus pendidikan keduanya tidak selesai.[7] Soedarpo (bersama Soedjatmoko) dikenal sebagai aktivis mahasiswa, terutama di kalangan mahasiswa Asrama Prapatan 10, asrama mahasiswa kedokteran Ika Daigaku. Keduanya mengadakan mogok massal pada bulan Juni 1945 atas aksi pemerintah Jepang yang memerintahkan para mahasiswa untuk digunduli. Aksi mogok massal ini membuat pusing para senior mereka, dari Soekarno, Hatta sampai Ki Hadjar Dewantara yang mengatakan bahwa aksi itu akan merugikan mereka sendiri dan memerintahkan mereka untuk kuliah lagi.[8]

Selama menjadi mahasiswa inilah, Soedarpo, bersama Soedjatmoko dan kakak nya Soebadio Sastrosatomo mendapat binaan dari Sutan Sjahrir, kebetulan istri Sjahrir, Siti Wahjunah Mangoendiningrat ("Poppy Sjahrir") adalah kakak tertua dari Soedjatmoko. Para pemuda ini dijuluki "Sjahrir Boys", anak buah Sjahrir yang membantunya mengatasi aneka masalah. Pada tanggal 14 November 1945 Sjahrir menjabat sebagai perdana menteri, Soedarpo dan Soedjatmoko bertugas di Departemen Penerangan. Sebagai tangan kanan Sjahrir, mereka harus melaksanakan tugas antara lain menjemput Presiden Soekarno yang saat itu berada di Sukabumi untuk kembali ke Jakarta agar serah terima kabinet bisa dilaksanakan dengan lancar, Soebadio ditugaskan untuk menemui Sri Sultan Hamengkubuwono IX agar mulai 4 Januari 1946 kota Yogyakarta jadi tempat kediaman Presiden dan Wapres RI berkenaan dengan teror dari NICA, Belanda di Jakarta, semua tugas itu dilaksanakan dengan baik.[9]

Minarsih Wiranatakusumah (Mien) juga bekerja sebagai sekretarsi di Departemen Penerangan, dan pada tahun 1946 Soedarpo muda memutuskan untuk melamar Mien, tetai pada awalnya hal ini tidak berjalan mulus. Ibu Mien, Sjarifah Nawawi (istri ketiga dari Wiranatakoesoema V) tidak memberikan izin karena belum mengenal Soedarpo. Nyonya Sjarifah, wanita berdarah Minang yang sejak Mien berumur 2 bulan diceraikan oleh Wiranatakoesoema V, berharap agar Mien menikahi pemuda yang lebih mapan. Pada akhirnya sang ibu memberikan persyaratan, Soedarpo harus mendapat surat izin untuk menikahi Mien dari ayah Mien, Wiranatakoesoemah, yang saat itu menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung di Yogyakarta, dan juga dari paman Mien di Malang. Menurut adat Minang, sang paman inilah pemegang keputusan terakhir.

Saat itu Soedarpo juga sibuk. Pada bulan November 1946, pemuda 26 tahun ini harus bepergian ke Malang menjemput Presiden Soekarno agar datang bersama Wakil Presiden Hatta ke perundingan di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat. Setelah selesai, Soedarpo pergi ke Yogyakarta untuk menyampaikan hasil perundingan antara delegasi Indonesia pimpinan Sutan Sjahrir dan delegasi Belanda pimpinan van Mook kepada Soekarno dan Hatta, yang ketika itu memimpin Indonesia dari Yogyakarta.

Rangkaian perundingan ini kelak dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai Perundingan Linggarjati. Setelah mendapatkan lampu hijau dari ayah dan paman Mien, mereka pun bertunangan. Perjanjian Linggarjati akhirnya ditandatangani pada 25 Maret 1947. Soedarpo mendapatkan cuti dua minggu dan mereka lalu memilih 28 Maret 1947 sebagai hari pernikahan.

Karier diplomat di luar negeri sunting

Karier Soedarpo berlanjut ke Amerika Serikat, bersama L.N. Palar, Soemitro Djojohadikoesoemo dan Soedjatmoko, Soedarpo ditugaskan di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Konsulat Jenderal New York. Dia ditunjuk sebagai atase pers. Di negeri Paman Sam, Soedarpo dan Soemitro meminta dukungan pemerintah Amerika atas kedaulatan Indonesia. Sementara L.N. Palar dan Soedjatmoko mencari dukungan internasional melalui sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Agenda sidang membicarakan agresi militer Belanda kedua terhadap Indonesia. Aksi militer Belanda di wilayah Yogyakarta tersebut diklaim sebagai bentuk ketidakberdayaan Indonesia. Dalam sidang itu delegasi Indonesia ingin membuktikan klaim Belanda tak benar adanya. Ini dibuktikan lewat keberhasilan TNI menduduki Yogyakarta selama 6 jam.

PBB kemudian mengeluarkan Resolusi 28 Januari 1949 bagi Negara Serikat Indonesia dan Belanda. Salah satu isi resolusi, mengultimatum Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia paling lambat 1 Juli 1950. Atas kesepakatan Palar, Soemitro, Soedjatmoko, dan Soedarpo ditugaskan menemui Soekarno. Soedarpo yang dikenal sebagai kurir politik dipercaya bisa menyampaikan isi resolusi PBB. Soekarno dan Hatta kala itu tengah ditahan Belanda di Pulau Bangka, Sumatra. Perjalanan Soedarpo menemui keduanya tak mudah lantaran Jakarta sudah dikuasai Belanda.

Selanjutnya lewat Perundingan Roem-Roijen pada 1949, ibu kota negara Republik Indonesia Indonesia kembali ke Yogyakarta dan Soekarno-Hatta dibebaskan dari pengasingan. Setelah persetujuan itu ditandatangaini, Soedarpo ditugaskan kembali ke Kedutaan Besar Indonesia Amerika Serikat. Kali ini Soedarpo menempati pos barunya di Washington dengan Dubes Ali Sastroamidjojo.[10]

Memulai Usaha sunting

Baru satu tahun, pada akhir 1950 Soedarpo mengajukan permohonan pengunduran diri dari Kedutaan Besar. Diakui memang Soedarpo tidak suka hidup dalam birokrasi, di mana dia harus berpidato, menyiapkan rancangan pidato dan harus berkonsultasi dengan Duta Besar untuk mendapatkan izin. Pada awalnya, pemerintah tidak menerima pengunduran diri Soedarpo. Hanya Bung Hatta yang mengerti betapa frustrasi nya Soedarpo, Sekjen Kementerian Penerangan, Roeslan Abdulgani pun memintanya untuk berkeliling Indonesia, untuk mengetahui bagaimana keadaan di bagian lain dan mencari seseorang yang bisa menggantikan Soedarpo. Setelah 3 bulan berkeliling, Soedarpo kembali ke New York dan mengajukan dua nama untuk menggantikan nya. Pemerintah kemudian menawarkan alternatif lain seperti penempatan di London atau tempat menarin lain nya, tapi tekad itu sudah bulat. Soedarpo ingin keluar dari dunia diplomat dan berkarier di bidang lain.

Maka pada tanggal 6 Februari 1952, keluarga Soedarpo bersama ibu mertuanya Ny. Sjarifah Nawawi berlayar dari pelabuhan New York dengan kapal “Rijndam” dari Holland-America Line menuju Rotterdam, Belanda. Sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Indonesia, dia menginap di rumah M.T. Harjono, atase militer Indonesia di Den Haag. Pada akhir Februari, Soedarpo dan keluarganya melanjutkan perjalanan ke Indonesia dengan naik kapal “Oranje” untuk pelayaran selama tiga minggu melalui Southampton, Port Said, Colombo, Singapura dan berakhir di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta.[11]

Awalnya Soedarpo menjadi direktur di Zorro Corporation, perusahaan milik Matthew Fox yang dikenal publik sebagai mantan direktur dari Universal Studios. Fox adalah orang yang membantu Soemitro yang seorang diri saat di New York, 1947 dalam rangka mengajukan permasalahan Indonesia ke PBB, berkat Fox lah Indonesia bisa mendapatkan kantor di New York. Pada 3 Januari 1948, Fox dan Soemitro di New York menginisiasi pembentukan American-Indonesian Corporation, sebuah perusahaan dagang untuk menangani belanja dan perdagangan pemerintah Indonesia di Amerika Serikat. Saat Agresi Militer Belanda II, Desember 1948, melalui Soemitro memerintahkan Fox untuk mencari pesawat berukuran besar untuk mengungsikan kabinet. Fox berhasil, meski akhirnya Soekarno memutuskan untuk memakai pesawat pribadi Nehru. Setelah kemerdekaan Indonesia, untuk membalas jasa Fox, pemerintah memberinya waralaba untuk menjual produk Chrysler, Dodge dan Willys Overland. Melalui Zorro Corporation (Zorro adalah Bahasa Spanyol dari nama keluarga 'Fox' yang berarti "Rubah"), Fox memulai usaha bisnis mobilnya.[12]

Kemudian Zorro Corporation mendirikan pabrik perakitan di Tanjung Priok dengan nama Indonesia Service Corporation. Perusahaan ini memang lekat dengan orang-orang Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang didirikan oleh Sjahrir. Salah seorang direkturnya adalah Prof.Tan Goan Po, atau Paul Mawira, ekonom dari Universitas Indonesia juga politisi PSI, Pemegang sahamnya adalah Matthew Fox, perusahaan ekspor-impor C.V. Putera (anak perusahaan Bank Negara Indonesia atau BNI), dan Zorro Corporation.

Zorro Corporation pun lekat dengan Partai Sosialis Indonesia, di mana Presiden Direkturnya adalah Hasjim Ning, anggota PSI dan sebagai direkturnya adalah Soedarpo yang notabene juga anggota PSI. Zorro juga memegang hak waralaba Remington Rand (mesin tulis dan permesinan kantor) dan perusahaan elektronik Radio Corporation of America (RCA). Meskipun memegang hak waralaba nya, tetapi Zorro tidak bisa mendistribusikannya, karena lisensi distribusi harus dipegang oleh orang Indonesia.

Soedarpo pun keluar dari Zorro Corporation, kemudian pada bulan Oktober 1952 mendirikan Soedarpo Corporation (SC) dengan modal 100.000 rupiah. Sebagian modal itu pun diperoleh dari uang yang dia titipkan kepada pedagang Abdul Wahid dari Tasikmalaya yang memilik usaha berjualan kertas koran, dan barang-barang besi. Kemudian Soedarpo Corporation mendapatkan izin dan lisensi yang diperlukan untuk berdagang produk Remington Rand dan RCA. Keuntungan dibagi dua dengan Matthew Fox yang memegang waralaba tersebut. Dalam perjalanan nya Soedarpo Corporation juga mengakuisisi perusahaan Belanda pemilik waralaba distribusi UNIVAC Computer (masih bagian dari Remington Rand), inilah awal Soedarpo masuk ke bisnis komputer.

Bisnis kapal sunting

Soedarpo menikmati hidupnya saat itu, bekerja minimal 6 jam sehari, dan setiap pukul 14.00 menyempatkan diri untuk bermain golf di Rawamangun. Pada bulan November 1952 beberapa orang dari Isthmian Lines datang ke jakarta, salah satunya adalah Archibald King (kelak akan menjadi presiden direktur Isthmian Lines pada 1956) yang pernah dikenalnya saat tinggal di Amerika Serikat. Setelah jamuan makan di Hotel Des Indes, King menyampaikan sebuah permohonan kepada Soedarpo, bahwa Isthmian Lines mempunyai sebuah agensi di Indonesia bernama Indonesia Shipping and Transport Agency (ISTA), Isthimian ingin mengembangkan bisnisnya tetapi terbentur karena ISTA masih di miliki oleh Belanda. Soedarpo di minta untuk mengambil alih ISTA dan melakukan nasionalisasi.

Soedarpo pun meminta bantuan Prof. Tan Goan Po dan berdiskusi dengan dua pemilik ISTA, sebuah perusahaan Belanda dan Jacobson van den Berg NV, salah satu dari 5 besar perusahaan perdagangan Belanda. Awalnya mereka di curigai oleh pihak Belanda sebagai orang-orang yang mau mengambil keuntungan atas revolusi Indonesia. Akhirnya diskusi bisnis berjalan dan disepakati bahwa pemilik lama akan menjual 75% saham nya kepada Soedarpo, tetapi mereka menjual mahal goodwill nya, Soedarpo keberatan dan mengatakan kepada mereka bahwa dia sebenarnya tidak butuh perusahaan itu dan hidupnya sebenarnya sudah bahagia tanpa itu, lagipula reputasi Soedarpo pun sudah merupakan goodwill. Proses negosiasi berhasil pada Februari 1953 dan pada 1 Maret 1953 Soedarpo menjadi presiden direktur ISTA.

Saat itu dana untuk mengambil alih ISTA 2/3 nya berasal dari uang pribadi Soedarpo, sepertiganya berasal dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Soedarpo mengenalnya pada masa perjuangan. Sultan saat itu mempunyai kebijakan untuk tidak meminjamkan uangnya kepada pengusaha lokal karena banyak ditipu, termasuk penghilangan uang oleh Mangkunegaran. Tetapi berkat lobi Soedarpo, Sultan bersedia, dengan syarat tidak menyebutkan namanya.

Perkataan Soedarpo bahwa dia memiliki goodwill pun terbukti, pada bulan Januari 1954, ISTA berhasil memiliki keagenan dari Hapag (Hamburg-America Line, sekarang Hapag-Lloyd, perusahaan ini pada masa sebelum perang adalah satu-satunya pelayaran non-Belanda ke Eropa) dan Tokyo Senpaku Kaisha, perusahaan pelayaran Jepang. Pemegang saham ISTA dari Belanda pun sangat senang dengan hal ini. Kemajuan usaha ini juga didukung oleh Program Benteng yang diluncurkan tahun 1950, Soedarpo adalah salah satu dari pengusaha yang menerima manfaat dari program ini selain itu di antara nya ada Hasjim Ning dan Hadji Kalla.

Kepercayaan dari pihak Belanda pun berlanjut, sepupu dari kepala bagian Jacobson van den Berg adalah kepala bagian dari perusahaan asuransi Belanda, Assurantie Maatschappij tegen Brandschade De Nederlanden van 1845 (Asuransi Kebakaran Belanda 1845, sekarang Nationale-Nederlanden, salah satu perusahaan asuransi terbesar di Belanda) mengajaknya bermain golf bersama. Saat itu masih jarang pengusaha Indonesia yang bermain golf, setelah bermain 19 lubang dia mengutarakan bahwa pihaknya butuh perwakilan asuransi di Indonesia. Soedarpo setuju untuk membentuk perusahaan asuransi, dengan syarat pihak Belanda mengirimkan orang untuk manajemen sementara karyawan Indonesia dilatih di Belanda. Pada tanggal 17 Maret 1955, bersama Ali Algadri, Idham dan Wibowo (teman Soedarpo selama mahasiswa di Ika Daigaku), Pang Lay Kim (ekonom, ayah dari Mari Elka Pangestu), Roestam Moenaf, Ismet, dan Johan Radi Koesman mendirikan Asuransi Bintang. Asuransi pada saat itu belum memberikan banyak uang, maka pada tahun yang sama kelompok yang sama mendirikan Bank Niaga (sekarang CIMB Niaga) pada tanggal 26 September 1955.

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ "Apa dan Siapa Soedarpo Sastrosatomo. PDAT Tempo". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-10-26. Diakses tanggal 2007-10-23. 
  2. ^ Patriotic businessman Soedarpo Sastrosatomo dies. The Jakarta Post[pranala nonaktif permanen]. Diakses 23 Oktober 2007
  3. ^ Soedarpo Patut Jadi Teladan. Kompas, 22 Oktober 2007
  4. ^ Anwar, Rosihan (23 Oktober 2007). ""In Memoriam" Soedarpo Sastrosatomo". Blogspot.com. Kompas. Diakses tanggal 15 Mei 2015. 
  5. ^ "Lebih Dekat Dengan Pak Darpo (Bagian ke-2)". draft.samudera.com. Diakses tanggal 2021-05-21. 
  6. ^ "Sosok Soedarpo Sastrosatomo, Kakek Mertua Lulu Tobing, Salah Satu Perunding Perjanjian Linggarjati Hingga Dirikan Perusahaan Pelayaran". Sosok. Diakses tanggal 2021-05-21. 
  7. ^ Kleden, Hermien (16 Januari 2007). "Mien Soedarpo Berpulang". Tempo.co. Tempo. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-01-29. Diakses tanggal 15 Mei 2015. 
  8. ^ Rahzen, Taufik (6 Juni 2007). "Asrama Perjuangan". Blogspot.com. Blogspot.com. Diakses tanggal 15 Mei 2015. 
  9. ^ Anwar, Rosihan (2004). Sejarah kecil "petite histoire" Indonesia, Volume 3. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 231-232. ISBN 9797094294. 
  10. ^ Wijaya, Taufik Budi (7 Juni 2007). "Soedarpo Sastrosatomo: Diplomat di Balik Layar Kemerdekaan Republik". Kompasiana.com. Kompasiana.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-05-20. Diakses tanggal 19 Mei 2015. 
  11. ^ Thee, Kian Wie (2003). Recollections: The Indonesian Economy, 1950s-1990s. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 141-164. ISBN 9812301747. 
  12. ^ Setiyono, Budi (30 Januari 2015). "(Bukan) Lafayette Amerika Modern". Historia.id. Historia.id. Diakses tanggal 19 Mei 2015. 

Pranala luar sunting