Soedjana Sapi'ie

(Dialihkan dari Soedjana sapi'ie)

Prof. Dr. Soedjana Sapi'ie, MSEE (lahir 4 Januari 1931), adalah Guru Besar Emeritus dari Departemen Teknik Elektro ITB yang pernah menjabat Ketua Rektorium Institut Teknologi Bandung pada periode 16 Februari 1978 - 30 Mei 1979, suatu masa di mana kelangsungan hidup institusi ini berada pada posisi genting, sebagai akibat dari gerakan mahasiswa ITB yang dianggap bertentangan dengan pemerintah.

Prof. Dr. Soedjana Sapi'ie
Ketua Rektorium ITB 1978-1979
Rektorium/Rektor ITB ke-7
Masa jabatan
16 Februari 1978 – 30 Mei 1979
Sebelum
Pendahulu
Prof. Dr. Ing. Iskandar Alisjahbana
Pengganti
Prof. Dr. Doddy A. Tisna Amidjaja
Informasi pribadi
Lahir
Soedjana Sapi'ie

4 Januari 1931 (umur 93)
Hindia Belanda
KebangsaanIndonesia
AlmamaterSarjana Muda - FT UI Bandung[1]

MSEE/S2 - Stanford University

D.Sc./Dr. - George Washington University
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Riwayat hidup

sunting

Soedjana Sapiie atau biasa dipanggil "John" Sapiie menjadi staf pengajar di Departemen Teknik Elektro ITB sejak tahun 1957 hingga pensiun tahun 2001.[2]

Pada tahun 1957 mendapatkan gelar Master of Science in Electrical Engineering (MSEE) dari Stanford University.[2]

Pada tahun 1968 mendapatkan gelar Doctor of Science in Electrical Engineering (D.Sc.) dari School of Engineering and Applied Science, George Washington University.[2]

Pada tahun 1971-1982 menjadi penasihat khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk Pengembangan Pendidikan Tinggi. Pada tahun 1979-1994 menjadi Senior Executive Vice President - Engineering and Technology di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) (sekarang PT Dirgantara Indonesia). Dia juga anggota Economic Development Institute of IBRD[2]

Pada tanggal 16 Februari 1978 - 30 Mei 1979 Soedjana Sapi'ie menjabat sebagai Ketua Rektorium ITB dengan anggota Prof. Dr. Moedomo; Prof. Ir. Wiranto Arismunandar, MSME; dan Ir. Djuanda Suraatmadja. Pada periode rektor sebelumnya John Sapiie menjabat Pembantu Rektor[3] bidang Afiliasi.

Rektorium dibentuk untuk mengisi kekosongan kepemimpinan ITB setelah Prof. Iskandar Alisjahbana selaku rektor ITB diberhentikan secara mendadak pada tanggal 14 Februari 1978. Periode Rektorium tersebut dapat dianggap sebagai masa rektor ketujuh atau rektor ke dua puluh tiga Kampus Ganesha sejak TH Bandung didirikan.[4]

Rektor pada masa genting

sunting

Berikut sekelumit gambaran keadaan Kampus ITB pada saat ditutup dan diduduki militer sejak 9 Februari – 25 Maret 1978.

Seluruh kegiatan sementara terpusat di jalan Tamansari 64 yang biasanya merupakan Rektorat ITB. Seluruh pimpinan ITB kini berada di sana. Prof. Dr. Ing. Iskandar Alisjahbana, bekas rektor ITB yang dibebastugaskan oleh Menteri P & K pada hari Selasa, 14 Februari 1978 telah menyerah-terimakan jabatannya kepada suatu Rektorium yang diketuai Dr. Soedjana Sapi'ie, hari Kamis, 16 Februari 1978. Bersama Prof. Iskandar, Rektorium yang beranggotakan empat orang ini menjadi anggota Dewan Pimpinan Operasionil Pemulihan Kelancaran Pelaksanaan Fungsi ITB, yang dibentuk oleh Senat ITB setelah 9 Februari 1978. Mungkin untuk menghormati keputusan Senat ITB itulah, Menteri P & K Sjarif Thayeb dalam SK tertanggal 14 Februari 1978 segera saja mengangkat keempat orang itu menjadi pimpinan kolektif ITB, sampai terpilih seorang rektor baru.[5]

Rektorium kini sibuk mengadakan konsolidasi ke dalam. Begitu selesai serah-terima, diadakan briefing dengan staf dosen yang dilanjutkan konsolidasi ke dalam lagi. Pada hari Jumat siang, 17 Februari 1978, diadakan pertemuan Rektorium dengan DM ITB sebagai wakil mahasiswa. Pada hari Sabtu siang, 18 Februari 1978, diadakan pertemuan dengan para Ketua Departemen. Malam harinya, Soedjana Sapi'ie - mewakili Rektorium - menghadap Asisten I Pangdam VI Siliwangi, Kolonel W. R. Samallo.[5]

Rektorium memutuskan, pendaftaran mahasiswa baru diselenggarakan sejak hari Selasa sampai Sabtu (21-24 Februari 1978) di jalan Tamansari. Kemudian 1 Maret 1978 kuliah dimulai tanpa Posma (Pekan Orientasi Studi Mahasiswa). DM ITB waktu itu menjamin bahwa calon mahasiswa baru yang berjumlah hampir 1300 orang tidak akan diganggu gugat dengan alasan, mahasiswa baru itu belum diangkat menjadi anggota Keluarga Mahasiswa ITB, jadi mereka belum terikat pada perjuangan mahasiswa ITB.[5]

Salah satu tugas pertama Rektorium saat itu adalah memulihkan kembali kehidupan di kampus agar lancar kembali sebelum Sidang Umum MPR yang akan diselenggarakan mulai 11 Maret 1978.[5]

Pada tanggal 2 Maret 1978 berlangsung upacara penerimaan mahasiswa baru angkatan 1978 di mana dari 1.275 mahasiswa baru yang diterima, 1.192 di antaranya mendaftarkan diri. Sementara mahasiswa lama yang jumlahnya sekitar 7.500 orang, yang mendaftar ulang baru sekitar tigaratusan[6] dengan batas waktu pendaftaran sampai tanggal 13 Maret 1978, namun tetap diberikan kelonggaran bagi mahasiswa yang terlambat mendaftar ulang. Selain itu Rektorium ITB menjanjikan akan membantu pimpinan mahasiswa untuk mengusahakan dihilangkannya "rintangan psikologis maupun politis" supaya mereka dapat kuliah lagi di mana rektorium sedang mempersiapkan pengamanan pengganti jika ABRI ditarik dari kampus.[7]

Selasa, 4 April 1978, massa mahasiswa bergerombol di sekitar gerbang kampus ITB, sebuah spanduk terentang di gerbang masuk itu berisi tulisan: "Ini adalah aksi prihatin mahasiswa ITB. Kami menghendaki ketenangan serta ketertiban tanpa menghalangi kesibukan kampus."

Pada bagian lain di bawah spanduk itu tertulis tuntutan mereka:

  • Penarikan secepatnya pasukan ABRI dari kampus ITB;
  • Pembebasan mahasiswa ITB sesuai dengan janji Laksusda;
  • Ketegasan tentang proses pengadilan bagi mahasiswa ITB yang harus diadili.

Sekalipun sejak tanggal 25 Maret 1978 pengamanan kampus ITB sudah diserahterimakan pihak Laksusda kepada Rektorium, satuan-satuan Laksusda masih ada di dalam kampus hingga 16 April 1978. Mahasiswa yang sudah melakukan pendaftaran kembali masih kurang dari 90% terutama ada himpunan seperti mahasiswa Departemen Mesin yang tetap belum mau kuliah. Kampus ITB sendiri tampak bagaikan kampung yang baru ditinggalkan penghuni. Sekalipun resminya kuliah sudah dimulai dan ada mahasiswa yang lalu-lalang. Kecuali toko mahasiswa, pintu-pintu ruangan lainnya masih tertutup. Pintu masuk ruang DM ITB diganjal kursi dari dalam. Ruang 8EH Radio ITB tetap terkunci. Dan pasukan Laksusda yang masih ada ditempatkan di Gedung Serba Guna.[8][9]

Pangkopkamtib Sudomo, menyebutkan aksi duduk mahasiswa ITB itu merupakan urusan Departemen P & K, namun kalau rektor menilai aksi itu sudah mengganggu, bisa meminta bantuan Laksusda. Selama rektor masih menyelesaikan sendiri masalah itu, pihak Laksusda hanya stand by untuk membantu rektor.[8]

Itulah sekelumit gambaran periode Rektorium yang diketuai Dr. Soedjana Sapi'ie yang telah memimpin ITB pada saat Kampus Ganesha diambil alih militer melalui Laksusda (9 Februari – 25 Maret 1978 - 16 April 1978). Kearifannya dalam menghadapi mahasiswanya yang kritis terhadap pemerintah saat itu, perhatiannya yang besar pada penanganan mahasiswa ITB yang diadili, cara melaksanakan dua perannya sebagai "bapak" para mahasiswa dan di sisi lain sebagai "anak buah pemerintah" melalui Menteri P & K, telah memberikan andil pada keberlangsungan ITB selaku lembaga pendidikan pada saat genting tersebut.

Masa pensiun

sunting

Pada tanggal 1 April 1988 Soedjana Sapiie diangkat menjadi guru besar ITB, dan menyelesaikan tugasnya sebagai PNS sejak tanggal 1 Februari 2001.

Tanda jasa dan kehormatan yang diterima Prof. Sapiie di antaranya adalah "Bintang Mahaputera Utama" (1998), "Bintang Jasa Utama" (1996) dan "Bintang Karya Setia Wirakarya" (1988).[2]

Sesuai Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional No 54a/DIKTI/Kep/2006 yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Satryo Soemantri Brodjonegoro pada tanggal 10 Oktober 2006, Prof. Sapiie bersama 13 guru besar ITB lainnya (bersamaan dengan 269 guru besar perguruan tinggi lainnya) menerima penganugerahan Anugeraha Sewaka Winayaroha. Selain memperoleh medali, seluruh penerima penghargaan memperoleh piagam dan insentif masing-masing sebesar Rp 50 juta.[10]

Pada tahun 2007 ia diangkat menjadi Guru Besar Emeritus, dan pada tanggal 8 Agustus 2008, Prof. Dr. Soedjana Sapiie diminta untuk memberikan orasi di Balai Pertemuan Ilmiah ITB.

Pada orasi tersebut, ia mengangkat pemikirannya tentang reformasi dan ITB. Pada bagian lain, Prof. Soedjana Sapiie membawakan sebuah refleksi mengenai ITB. Ia memberikan gambaran tentang jati diri ITB sebagai sebuah lembaga perguruan tinggi. Sudah seharusnya ITB memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah sebuah lembaga perguruan tinggi yang harus menjangkau suatu lingkup disiplin keilmuan tertentu, dan dalam lingkupnya itu, ITB merealisasikan dirinya.[11]

Lembaga perguruan tinggi adalah sebuah komunitas, bukan bisnis atau birokrasi. Ia adalah komunitas yang mendedikasikan dirinya untuk memburu dan mendiseminasikan pengetahuan; mempelajari, memperjelas, dan menjaga nilai-nilai kehidupan; serta memajukan masyarakat yang dilayaninya. Dedikasi tersebut hanya mungkin dilakukan dengan baik bila ITB menghayati nilai-nilai tertentu sebagai landasannya untuk berpikir dan bertindak. Nilai-nilai tersebut adalah integritas dan kebebasan.[11]

Di akhir pidato tersebut, Soedjana memberikan pemikirannya tentang apa yang dapat dilakukan ITB dalam gerakan reformasi Indonesia saat ini. Hal pertama yang harus dilakukan adalah ITB kembali menjadi pelopor untuk menyatukan para rektor universitas negeri maupun swasta di Indonesia. Hal tersebut sama halnya dengan yang terjadi pada tahun 1998. Rektor-rektor yang berkumpul mengajak para politisi nasional untuk membangun diri melalui pembangunan ekonomi dengan tenang, paling tidak untuk 10 tahun ke depan.[11]

Hal kedua adalah agar ITB terlibat dalam pembangunan bangsa yang kredibel. Pemikirannya yang berikutnya adalah agar ITB dapat lebih memanfaatkan dosen-dosen profesionalnya sebagai kekayaan dan kekuatan ITB sebenarnya yang tidak ternilai dan tak tergantikan. Selain itu, ITB harus pula mendorong terbinanya kelompok intelektual kampus, di samping mempertahankan posisinya sebagai yang terbaik.[11]

Pemikirannya yang terakhir adalah agar ITB dapat mempertahankan dirinya sebagai pulau-pulau integritas dan kebebasan serta menjadi aset bangsa yang tidak tergantikan dalam mendukung pembangunan.[11]

Sebagai penutup pidatonya, Prof. Soedjana Sapiie mengutip kata-kata mutiara hasil penyair Belanda. Kata-kata inilah yang dipakai Bung Hatta ketika membela diri di sidang pengadilan di Negeri Belanda 80 tahun lalu, dan juga disampaikan oleh Soedjana dalam Dies Natalis ITB pada tahun 1978 semasa pergolakan mahasiswa,

Er is maar een land
Dat mijn land kan zijn
Het groeit met de daad
En die daad is mijn

Diterjemahkan secara bebas menjadi,

Hanya ada satu negara
yang menjadi negaraku
Ia tumbuh dengan perbuatan
dan perbuatan itu perbuatanku.

Catatan

sunting
  1. ^ Periode 1950-1959 sebelum ITB diresmikan, kampus Jl. Ganesha Bandung merupakan lokasi Fakultas Teknik dan FIPIA (Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam) Universitas Indonesia. Tanggal 2 Maret 1959 kedua fakultas tersebut beserta seluruh sumber dayanya baik berupa prasarana fisik, staf pengajar, staf administrasi, dan mahasiswanya dipisahkan dari Universitas Indonesia dan diresmikan sebagai Institut Teknologi di Kota Bandung. Beberapa tahun kemudian Universitas Indonesia mendirikan Fakultas Teknik dan FIPIA yang baru (1960-1963) di Jakarta.
  2. ^ a b c d e "Profiles". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-02-13. Diakses tanggal 2012-06-12. 
  3. ^ sekarang disebut Wakil Rektor (Warek).
  4. ^ "Sejarah Rektor TH Bandung - ITB". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-07-13. Diakses tanggal 2012-05-18. 
  5. ^ a b c d ""Di Sini Pak Djon", Tempo online, 25 Februari 1978". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 2012-06-09. 
  6. ^ Pada saat pendudukan kampus dimulai, dilanjutkan dengan penangkapan para mahasiswa yang dianggap terlibat, sebagian mahasiswa mengamankan diri dengan bersembunyi, sebagian lagi "pulang kampung" memanfaatkan "liburan mendadak" tersebut, ada juga yang mengisinya dengan aktivitas lain di luar kampus. Media informasi-komunikasi pada masa itu terbatas, sehingga banyak mahasiswa yang terlambat mengetahui informasi tentang pendaftaran ulang tersebut.
  7. ^ “Mengatur Kuliah Baru”, Tempo online, 11 Maret 1978.[pranala nonaktif permanen]
  8. ^ a b “Massa bergerombol”, Tempo online, 15 April 1978.[pranala nonaktif permanen]
  9. ^ Sumber Tempo online "Ruang Serba Guna" yang dimaksud adalah "Gedung Serba Guna"
  10. ^ Empat Belas Guru Besar ITB Terima Anugeraha Sewaka Winayaroha.
  11. ^ a b c d e Prof. Soedjana Sapiie: Sebuah Pemikiran Brilian Tentang Reformasi dan ITB.

Rujukan

sunting
  • Sakri, A. (1979). Dari TH ke ITB: Kenang-kenangan lustrum keempat 2 Maret 1979, Jilid 1: Selintas perkembangan ITB. Bandung: Penerbit ITB.

Pranala luar

sunting
Didahului oleh:
Prof. Dr. Ing. Iskandar Alisjahbana

(1976 - 1978)

Rektorium/Rektor ke-7 ITB
1978 - 1979
Bersama dengan: Prof. Dr. Moedomo Soedigdomarto

Prof. Ir. Wiranto Arismunandar, MSME
Ir. Djuanda Suraatmadja

Diteruskan oleh:
Prof. Dr. Doddy Achdiat Tisna Amidjaja

(1979 - 1980)