Perepat
Perepat, Sonneratia alba
dari Sangatta, Kalimantan Timur
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Klad: Tracheophyta
Klad: Angiospermae
Klad: Eudikotil
Klad: Rosid
Ordo:
Famili:
Genus:
Sonneratia
Spesies:
S. alba
Nama binomial
Sonneratia alba
J.E. Smith
Sinonim

Chiratia leucantha Montr.,
Mangium caseolare album Rumph.,
Rhizophora caseolaris Linné,
Sonneratia acida Benth.,
Sonneratia alba F. Vill.,
Sonneratia caseolaris Engl.,
Sonneratia griffithii (non Kurz) Watson,
Sonneratia iriomotensis Masamune,
Sonneratia mossambicensis Klotzsch ex Peters

Perepat atau pidada putih (Sonneratia alba) adalah salah satu jenis pohon penyusun hutan bakau. Pohon berbatang besar ini sering didapati di bagian hutan bakau yang dasarnya berbatu karang atau berpasir, langsung berhadapan dengan laut terbuka.[1] Nama "perepat" juga sering dipakai untuk pohon pantai lain yang agak serupa yang dikenal sebagai pidada.

Hidup menyebar mulai dari Afrika timur, Kepulauan Seychelle dan Madagaskar, Asia Tenggara, hingga ke Australia tropis, Kaledonia Baru, kepulauan di Pasifik barat dan Oseania barat daya.[2] Pohon ini juga dikenal dengan nama-nama lokal seperti bogem, bidada, pidada, pedada, kedada, bangka, beropak, barapak, pupat, posi-posi, mange-mange, muntu, sopo, susup, dan wahat putih.[3] Di Filipina, tumbuhan ini dikenal sebagai bunayon, buñgalon, hikau-hikauan, ilukabban, lukabban, pagatpat, patpat, palatpat, palalan, payan.[2]

Pengenalan

sunting

Pohon yang selalu hijau, gundul (tak berambut), bertajuk melebar, tinggi 3-15 m, jarang hingga 20 m. Pepagan (kulit batang) berwarna krem hingga cokelat, dengan retak-retak halus mendatar. Akar napas tebal, muncul berupa kerucut-kerucut runcing agak tebal, hingga 25 cm tingginya.[2]

Daun-daun terletak berhadapan, tebal sebagai jangat, helaian bundar telur atau bundar telur terbalik, 5–12,5 × 3–9 cm, dengan pangkal bentuk baji dan ujung membulat lebar, sering melekuk; bertangkai 6–15 mm, dengan kelenjar di pangkalnya.[2][4]

Bunga berkelamin ganda, soliter atau dalam karangan tiga kuntum di ujung ranting, bertangkai pendek-kukuh lk. 1 cm. Tabung kelopak serupa lonceng, sering berusuk, dengan 6–7 taju kelopak sepanjang 2–2,5 cm, hijau di sisi luar dan merah di dalam, tidak rontok. Helai mahkota sempit, 13–20 × 0,5–1,5 mm, putih, serupa dengan benangsari, sering kemerahan di pangkalnya, lekas rontok atau kadang-kadang bahkan tak ada. Benang-benang sari berjumlah banyak, putih, dan lekas rontok.[2][4]

Buah buni bentuk bola agak gepeng, 3 × 4 cm, berbiji banyak, dengan pangkal terlindung kelopak yang tidak rontok dan bermahkota bekas tangkai putik; taju kelopak umumnya tertekuk ke belakang, tetapi adakalanya mendatar menyamping. Buah berbau tak enak jika masak. Jenis yang berubah-ubah.[2][4]

Ekologi

sunting

Termasuk jenis pionir di hutan bakau, perepat acap ditemukan tumbuh berhadapan dengan laut namun di bagian yang terlindung dari gempuran ombak secara langsung. Substrat yang disukai adalah campuran lumpur dan pasir; kadang-kadang juga di pantai berbatu, berkarang atau di atas tanah liat. Perepat tidak tahan penggenangan oleh air tawar dalam jangka panjang. Di tempat-tempat di mana jenis bakau yang lain dibalak, perepat bisa berbiak hingga mendominasi.[2][5]

Perepat berbunga sepanjang tahun. Bunganya nokturnal dan diserbuki oleh ngengat, burung, serta kelelawar. Pohon perepat juga kerap dijadikan sebagai tempat berkumpulnya kunang-kunang di waktu malam. Sebagaimana berembang, buah perepat pun mengapung di air dan dipencarkan oleh arus dan pasang-surut air laut.[2]

Kegunaan

sunting

Kayu perepat berkualitas sedang. Kayu ini awet dalam air laut, tidak mudah belah dan menahan pasak dengan baik, sehingga acap dipakai untuk geladak, rusuk dan siku-siku perahu. Di Minahasa, kayu yang berwarna cokelat muda hingga tua ini digunakan untuk ramuan rumah. Hanya saja, kayu ini mengandung garam sehingga menimbulkan karat pada paku dan baut. Kayu ini juga merupakan kayu bakar yang baik.[1]

Daun-daunnya yang muda dimakan mentah (sebagai lalap) atau direbus. Demikian pula buahnya yang sepat dan masam, dapat dimakan jika mulai melunak. Di Maluku, buah ini digunakan sebagai bumbu memasak ikan.[1]

Jenis yang serupa

sunting

Pidada atau berembang (S. caseolaris) memiliki buah yang mirip, tetapi kelopaknya datar atau hanya sedikit cekung, tidak seperti mangkuk. Ranting-ranting berembang banyak menggantung.

Kedabu atau gedabu (S. ovata) memiliki bunga dan buah yang mirip; akan tetapi alih-alih mendatar atau membalik, kelopaknya menutup melingkup buah atau pangkal buah. Sisi luar kelopak berbingkul-bingkul, meski juga berusuk. Lembaran daun bentuk bundar telur, dengan tangkai daun yang jelas.

Di Papua Nugini dikenali adanya persilangan antara Sonneratia alba dan Sonneratia caseolaris, yang disebut sebagai Sonneratia X gulngai.

Galeri

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ a b c Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 3: 1476-1477. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. (versi berbahasa Belanda -1917- III: 338.)
  2. ^ a b c d e f g h Giesen, W., S. Wulffraat, M. Zierenand & L. Scholten. (2007). Mangrove Guidebook for Southeast Asia. Bangkok: FAO and Wetlands International. ISBN 974-7946-85-8 (Sonneratia alba, hlm. 740-741)
  3. ^ Noor, Y.R., M. Khazali, & I.N.N. Suryadiputra. (1999). Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia, hal. 128-129. Bogor: PKA/Wetlands Int'l-Indonesia Programme.
  4. ^ a b c Steenis, CGGJ van. (1981). Flora, untuk sekolah di Indonesia. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Hlm. 316-317
  5. ^ Whitmore, T.C. (1983). Sonneratiaceae. in T.C. Whitmore (ed.). Tree Flora of Malaya 1: 445. Kuala Lumpur: Longman Mly., Sdn.Bhd.

Pranala luar

sunting