Sosiologi sastra

cabang sosiologi yang menggunakan metode dan teknik sosial untuk menelaah karya sastra

Sosiologi sastra adalah pendekatan sastra berupa studi objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, studi lembaga-lembaga, dan proses-proses sosial.[1] Sosiologi sastra menurut istilah yakni cabang sosiologi yang memanfaatkan metode dan teknik sosial yang diterapkan dalam sastra.[2] Sosiologi sastra berkembang dari pendekatan strukturalisme yang dianggap mengabaikan relevansi masyarakat sebagai asal-usul dari suatu karya sastra.[3] Fungsi-fungsi sastra harus sama dengan aspek kebudayaan lain, yang mana dalam sosiologi sastra berkaitan erat dengan hubungan antara kehidupan sosial masyarakat. Pemahaman terhadap karya sastra ini mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan, makna yang terkandung, dan hubungan latar belakang masyarakat dengan karya sastra tersebut. Secara sederhana, sosiologi sastra menghubungkan dialektik antara sastra dan masyarakat.

Sejarah

sunting

Sosiologi sastra sudah ada sejak zaman Yunani Klasik, sekitar abad kelima hingga keempat sebelum masehi. Kemunculan dari prespektif ini hadir dari kerisauan studi sastra struktural yang terpaku pada objek karya. Plato dan Aristoteles yang membahas tentang sastra masih berfokus pada puisi. Plato menganggap karya seni sebagai mimetis atau tiruan dari dunia ide dan karya sastra atau seni dianggap menjauhkan manusia dari realitas kehidupan. Aristoteles menolak dan menganggap bahwa seni atau sastra tidak hanya meniru kenyataan begitu saja, namun mengkreasikan dunia mengenai mimetis sebagai pondasi estetika dan seni.

Dalam kesusastraan Indonesia, sosiologi sastra bermula pada awal 1970-an. Buku pertama yang membahas tentang sosiologi sastra ditulis oleh Sapardi Djoko Damono dengan judul Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas (1978). Kemudian buku Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post Modernisme (1994) karya Faruk dan disusul Ratna yang berjudul Paradigma Sosiologi Sastra (2003)[4] dan terus berkembang. Sosiologi Sastra hadir akibat prespektif "kejenuhan" dari kajian struktural yang menekankan pada otonom karya semata. Ilmu yang memperhatikan aspek kemanusiaan dengan perbandingan fakta estetis ini menumbuhkan era baru dalam penelitian, kritik, maupun kajian prespektif sosial dari berbagai sudut pandang.[4]

Pada perkembanganya, terdapat tokoh-tokoh yang terlibat dalam mengembangkan sosiologi sastra. Sejak zaman Yunani Klasik tokoh yang berperan adalah Plato dan Aristoteles. Menurut Michael Biron yakni tokoh Lukacs berpengaruh pada dasar sosiologi sastra, Wellek dan Warren menganggap tokoh Elizabeth dan De Bonald sebagai tokoh yang mempopulerkan sosiologi sastra, Robert Escarpit, Harry Levin, dan Madame de Stael dianggap Tom Burns sebagai pelopor, sedangkan Damono mengungkapkan Hippolyte Taine sebagai peletak dasar aliran sosiologi sastra melalui konsep genetik kritik sastra.[4]

Paradigma

sunting

Ritzer (1975) menyatakan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang multiparadigma, yang berarti terdapat beberapa paradigma yang saling bersaing dalam merebut hegemoni sosial. Paradigma berarti kerangka berpikir atau model mengenai satu cita fundamental dalam ilmu pengetahuan. Ada tiga paradigma dasar dalam sosiologi yakni paradigma definisi sosial, paradigma fakta sosial, dan paradigma perilaku sosial.[1]

  1. Paradigma definisi sosial mengacu pada karya Max Weber, yang mengarahkan perhatian pada cara individ dalam mendefinisikan situasi sosial. Pokok persoalan sosiologi bukan pada fakta sosial yang objektif, akan tetapi cara subjektif individu menghayati fakta-fakta sosial tersebut.
  2. Paradigma fakta sosial mengacu pada karya Emile Durkheim, yang pokok persoalan sosiologinya ditentukan dari fakta sosial berupa struktur-struktur dan lembaga-lembaga sosial. Fakta sosial dianggap sesuatu yang nyata dan berbeda dari di luar individu.
  3. Paradigma perilaku sosial mengacu pada karya Skinner, perilaku manusia sebagai subjek yang nyata, individual.

Pendekatan

sunting

Ada tiga macam pendekatan sosiologi sastra menurut Sapardi Djoko Damoni (1978)[1] yakni:

  1. Konteks sosial pengarang: hubungan posisi pengarang dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca.
  2. Sastra sebagai cermin masyarakat: karya sastra yang ditulis sebagai cerminan dari masyarakat, pengaruh sifat pribari pengarang dalam menggambarkan masyarakat, dan genre sastra yang digunakan pengarang dalam mewakili masyarakat.
  3. Fungsi sosial sastra: fungsi karya sastra merombak masyarakatnya.

Referensi

sunting
  1. ^ a b c Faruk (2010). Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 1–15. ISBN 978-6028-764049. 
  2. ^ Teeuw, A (1984). Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya. hlm. 156. ISBN 978-979-419-415-7. 
  3. ^ Al-Ma'ruf, Ali Imron; Nugrahani (2017). Pengkajian Sastra Teori dan Aplikasi. Surakarta: CV Djiwa Amarta. hlm. 8. ISBN 978-602-60585-8-4. 
  4. ^ a b c Efendi, Agik Nur (2020). Kritik Sastra, Pengantar Teori, Kritik, dan Pembelajarannya. Malang: Madza Media. hlm. 55–69. ISBN 978-623-7334-31-6.