Hambatan pertumbuhan

(Dialihkan dari Stunting)

Hambatan pertumbuhan, bantutan pertumbuhan, atau tengkes[1] (bahasa Inggris: stunting) adalah keadaan berhentinya pertumbuhan pada anak. Penyebab utama penyakit tengkes adalah kekurangan gizi pada waktu yang cukup lama. Pemberhentian pertumbuhan meliputi pertumbuhan tubuh dan otak. Penyakit tengkes menyebabkan anak memiliki tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan anak-anak lain yang seusia dengannya. Penyakit tengkes juga menyebabkan keterlambatan perkembangan cara berpikir.[2]

Perbedaan kondisi balita yang tumbuh normal dengan balita yang mengalami hambatan pertumbuhan (stunting). Paul (kiri) berusia 5 tahun dan memiliki berat 33 pon sementara adiknya Ralph (kanan) berusia 3 tahun dan memiliki berat 29 pon. Diketahui Paul tidak memiliki kebiasaan makan yang baik dan berakibat pada hambatan pertumbuhan.

Definisi

sunting

Stunting adalah kondisi tak terbalikkan yang dapat berdampak seumur hidup pada individu. Kondisi stunting dapat dilihat dari hasil pengukuran panjang badan menurut umur (PB/U) dan tinggi badan menurut umur (TB/U) di bawah 2 Standar Deviasi menurut standar WHO.[3][4] Stunting pada anak merupakan suatu kondisi yang dapat menimbulkan akibat yang tidak dapat diubah, seperti cacat mental dan fisik.

Prevalensi stunting di India ditemukan sebesar 39% pada anak usia 6-23 bulan, dengan prevalensi lebih tinggi pada anak perempuan (42%) dibandingkan anak laki-laki (38%). Faktor risiko stunting ditemukan adalah berat badan lahir rendah, durasi menyusui yang singkat, status kesehatan ibu yang buruk, dan praktik pemberian makanan pendamping ASI yang tidak memadai.

 

Penyebab

sunting

Tengkes terjadi akibat kurangnya asupan gizi pada anak. Kekurangan gizi ini diawali sejak anak masih di dalam kandungan hingga berusia 2 tahun. Kekurangan protein menjadi penyebab paling umum terjadinya tengkes.

Berdasarkan penelitian Beal dkk, di Indonesia faktor-faktor yang memengaruhi tengkes secara langsung adalah: tinggi badan dan pendidikan ibu, kelahiran prematur, panjang badan bayi baru lahir, pemberian ASI eksklusif, dan status sosioekonomi rumah tangga.[5]

Kondisi lingkungan yang memiliki sanitasi yang buruk dan kekurangan air bersih juga turut meningkatkan risiko tengkes.[5] Infeksi akibat buruknya kebersihan lingkungan juga dapat menjadi penyebab tengkes.[6] Faktor-faktor yang tidak berkaitan dengan kesehatan juga dapat menjadi penyebab tengkes. Masalah ekonomi, politik, sosial, dan budaya merupakan faktor penyebab tengkes yang tidak berkaitan langsung dengan kesehatan tubuh. Kurangnya pemberdayaan perempuan dan penurunan kualitas lingkungan juga menjadi penyebab tengkes.[7]

Dampak

sunting

Tengkes umumnya terjadi pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK) dan terlihat ketika anak berusia 2 tahun. Dampak tengkes yang terlihat jelas adalah pertumbuhan yang terhambat dibanding anak seusianya.

Tengkeas juga memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang, di antaranya:

  • Tengkes mengganggu perkembangan otak dan metabolisme tubuh.
  • Tengkes juga menyebabkan keterlambatan pertumbuhan fisik. Terlambatnya perkembangan otak menyebabkan anak memiliki kecerdasan dibawah rata-rata anak seusianya.
  • Menurunkan kemampuan sistem kekebalan tubuh sehingga anak mudah sakit. Anak yang stunting lebih berisiko terkena infeksi dan penyakit tidak menular seperti diabetes, strok, dan kanker.[8]

Pencegahan

sunting

Masyarakat dan pemerintah berperan penting dalam mencegah terjadinya tengkes. Tengkes terjadi pada 1000 hari pertama kehidupan anak atau 2 tahun setelah kelahiran. Pada masa ini, anak harus diberikan nutrisi yang mencukupi.Calon ibu harus diberi pengetahuan untuk persiapan kehamilan yang sehat. Tujuannya agar ketika hamil kondisi ibu sehat sehingga janin pun sehat. Ibu hamil dan ibu menyusui harus menerapkan pola hidup sehat. Makanan yang diberikan kepada anak harus memenuhi standar gizi yang diperlukan. Anak harus diberi nutrisi dari sayur-sayuran, buah-buahan, protein dan karbohidrat. Porsi sayur, buah, dan protein harus lebih banyak dibandingkan dengan karbohidrat.[7]

Pola pemberian makanan pada bayi dan balita juga mempengaruhi tengkes. Para remaja, terutama remaja perempuan, harus diberikan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dan gizi. Ini dikarenakan remaja merupakan bakal keluarga yang berperan penting dalam mengurus anak. Para calon ibu hamil juga peru diberikan sosialisasi mengenai kebutuhan gizi yang dibutuhkan bayinya selama kehamilan. Pemberian pengetahuan mengenai persalinan di fasilitas kesehatan yang aman juga diperlukan. Setelah melahirkan, para ibu harus diberi sosialisasi mengenai cara memulai inisiasi menyusu dini hingga cara memberikan Air Susu Ibu yang baik.[7]

Lingkungan hidup di sekitar anak juga perlu diperhatikan. Anak perlu dihindarkan dari risiko penyakit infeksi akibat lingkungan yang kotor. Kebiasaan hidup bersih juga perlu dilakukan. Anak dan ibu harus terbiasa mencuci tangan menggunakan sabun dan air yang mengalir. Perilaku buang air besar sembarangan harus dihilangkan. Pencegahan infeksi juga dilakukan dengan membawa anak ke tempat imunisasi. Tempat yang didatangi adalah fasilitas yang disediakan oleh pemerintah. Imunisasi ini bertujuan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh anak dan mencegah terjadinya infeksi.[7]

Pemantauan keadaan fisik anak juga merupakan tindakan pencegahan tengkes. Orang tua haru mengecek tubuh anak ketika mendatangi fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah. Pada saat anak berusia 6-9 bulan, lakukan pengecekan lingkar lengan atas. Pengecekan ini dapat menentukan kondisi gizi anak. Perkembangan anak juga perlu diperiksa. Tanda-tanda perkembangan anak yang baik adalah:

  1. balita harus sudah dapat membalikkan badan pada usia 3 bulan,
  2. balita sudah dapat tengkurap pada usia 4 bulan,
  3. balita sudah dapat duduk pada usia 8 bulan,
  4. balita sudah dapat berdiri pada usia 9 bulan,
  5. balita sudah dapat berjalan pada usia 1 tahun,
  6. balita sudah dapat mengucapkan beberapa kata di usia 2 tahun.

Balita harus diperiksakan ke dokter apabila terjadi keterlambatan pada tahap-tahap perkembangan anak tersebut.[7]

Menurut Rafnel Azhari ( Dosen Universitas Andalas) dalam artikelnya di Harian Kompas menyatakan bahwa strategi komunikasi perubahan perilaku dalam percepatan penanganan stunting semestinya menggunakan prinsip komunikasi pembangunan. Pertama, dimulai dari komunikasi kebijakan yang difokuskan kepada membuat aturan dan strategi nasional yang dapat dipahami oleh segenap pemangku kepentingan yang terlibat dalam upaya penanganan stunting

Berlawanan dengan pandangan yang menyatakan bahwa tengkes diakibatkan karena kekurangan gizi, sebuah studi yang dilakukan di Bali dan Timor Barat dan diterbitkan di American Journal of Human Biology pada tahun 2021 menyimpulkan bahwa[9]:

Tengkes sering diamati tidak hanya pada orang miskin, tetapi juga pada strata sosial yang makmur dan bergizi baik selama 10.000 tahun terakhir. Hanya dalam sejarah baru-baru ini, dan hanya dalam beberapa masyarakat modern yang demokratis, tinggi badan telah meningkat melampaui rata-rata ketinggian historis yang bertahan lama. Dilihat dari perspektif evolusi, dan mempertimbangkan plastisitas adaptif dan efek masyarakat pada pertumbuhan, pertumbuhan kompetitif, dan penyesuaian pertumbuhan strategis, tengkes tampaknya adalah kondisi alami tinggi manusia.

Sebagai gambaran pentingnya perhatian terhadap stunting ini, hasil Studi Status Gizi Indonesia Tahun 2021 dapat diketahui sebanyak 1 dari 4 anak Indonesia mengalami stunting. Angka ini cukup serius dengan kesimpulan kurang lebih terdapat 5 juta anak Indonesia yang mengalami stunting pada tahun 2021.[10]

Sementara itu, Kementerian Kesehatan RI mencatat, angka stunting nasional pada 2023 sebesar 21,5 persen, sedang tahun 2022 sebesar 21,6 persen, cuma turun 0,1 persen.[11]

  1. ^ Siagian, Albiner (2022-01-25). "Mewujudkan "Stunting 14.0"". Kompas.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-02-07. Diakses tanggal 2022-02-07. 
  2. ^ "Stunting: Kenali Stunting dan Cara Pencegahannya". RS Awal Bros. 2019-04-05. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-04. Diakses tanggal 2020-02-29. 
  3. ^ de Onis, Mercedes; Branca, Francesco (2016-05). "Childhood stunting: a global perspective". Maternal & Child Nutrition (dalam bahasa Inggris). 12 (S1): 12–26. doi:10.1111/mcn.12231. ISSN 1740-8695. PMC 5084763 . PMID 27187907. 
  4. ^ Putri, Erisa Renata Intania; Lindayanti, Tulus Ervina; Afdilah, Irmawati Nur (2024-01-30). "EFEKTIVITAS PENYULUHAN SEBAGAI STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DI KELURAHAN NYAMPLUNGAN SURABAYA". Beujroh : Jurnal Pemberdayaan dan Pengabdian pada Masyarakat (dalam bahasa Inggris). 2 (1): 128–141. doi:10.61579/beujroh.v2i1.68. ISSN 3025-9320. 
  5. ^ a b Beal, Ty; Tumilowicz, Alison; Sutrisna, Aang; Izwardy, Doddy; Neufeld, Lynnette M. (2018-10). "A review of child stunting determinants in Indonesia". Maternal & Child Nutrition (dalam bahasa Inggris). 14 (4). doi:10.1111/mcn.12617. ISSN 1740-8695. PMC 6175423 . PMID 29770565. 
  6. ^ "Memahami Stunting pada Anak". Alodokter. 2019-04-10. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-08. Diakses tanggal 2020-02-29. 
  7. ^ a b c d e "Kenali Penyebab Stunting Anak – RSUP Dr. Sardjito" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-27. Diakses tanggal 2020-02-29. 
  8. ^ "Pahami Penyebab Stunting dan Dampaknya pada Kehidupan Anak". Alodokter. 2016-11-10. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-01. Diakses tanggal 2020-02-29. 
  9. ^ Scheffler, Christiane; Hermanussen, Michael (2022-05). "Stunting is the natural condition of human height". American Journal of Human Biology (dalam bahasa Inggris). 34 (5). doi:10.1002/ajhb.23693. ISSN 1042-0533. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-13. Diakses tanggal 2022-10-10. 
  10. ^ "Tanya Jawab Materi Stunting Kemenkes". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-11. Diakses tanggal 2023-02-11. 
  11. ^ "Prevalensi Stunting di Bawah Target Presiden, Menko PMK Akan Tingkatkan".  dari versi asli tanggal 2024-07-01. Diakses tanggal 2024-07-01.

Referensi

sunting

Pranala luar

sunting