Sukarton Marmosujono
Laksamana Muda TNI (Purn.) Sukarton Marmosujono, S.H. (3 Oktober 1937 – 29 Juni 1990) adalah Jaksa Agung pada Kabinet Pembangunan V Indonesia. Ia meninggal dunia pada tahun 1990 sewaktu masih menjabat.
Sukarton Marmosujono | |
---|---|
Jaksa Agung Republik Indonesia ke-12 | |
Masa jabatan 19 Maret 1988 – 29 Juni 1990 | |
Presiden | Soeharto |
Informasi pribadi | |
Lahir | Tegal, Jawa Tengah, Hindia Belanda | 3 Oktober 1937
Meninggal | 29 Juni 1990 Jakarta, Indonesia | (umur 52)
Karier militer | |
Pihak | Indonesia |
Dinas/cabang | TNI Angkatan Laut |
Pangkat | Laksamana Muda TNI |
NRP | 1739/P[1] |
Sunting kotak info • L • B |
Kehidupan Awal
suntingSukarton lahir di Desa Batuagung, Tegal pada 3 Oktober 1937. Masa kecilnya berada dalam pusaran Perang Kemerdekaan Indonesia. Ayahnya saat itu berprofesi sebagai guru yang menolak bekerja di sekolah Belanda. Sedangkan ibunya bertugas di dapur umum pasukan. Saat pertempuran makin meluas, ayahnya ini membawa seluruh keluarga bersama penduduk lainnya mengungsi ke kaki Gunung Slamet. Dan saat keadaan sangat tidak memungkinkan untuk kembali ke rumah, kelompok pengungsi ini melanjutkan perjalanan mendaki Gunung Slamet hingga tiba di Wonosobo.
Beberapa hal mengerikan saat perang juga pernah disaksikanya, seperti pembumihangusan desa, ibu hamil yg melahirkan tanpa bantuan, dan pemuda-pemuda yang dibunuh dengan disiksa terlebih dahulu oleh Belanda. Pada masa kecilnya Sukarton juga pernah dimintai seorang tentara untuk mengamati gerak-gerik tentara Belanda. Menurutnya dalam sebuah wawancara pada 1988, ini adalah pengalaman yang tidak dapat dilupakan sepanjang hidupnya.
Saat keluarga ini tiba di Yogyakarta, Sukarton lalu dimasukkan ke dalam Sekolah Rakyat Pakualaman. Menjadi anak desa yang jarang bersepatu tidak menjadi halangan baginya bersekolah di sekolah yang notabene sebagai tempat bersekolah anak-anak petinggi di Yogya, para priyayi yang menggunakan tata krama dan berbicara dengan bahasa krama inggil. Pernah suatu hari Sukarton memperingatkan temannya "Ee.. mas, cungurmu ana cemonge" (hidungmu ada kotorannya). Yang diperingatkan bukannya berterima kasih malah menjotos Sukarton. Sukarton lalu membalasnya dan terjadi baku hantam. Belakangan, ia mengetahui juga kata-kata yang diucapkannya dengan maksud baik tersebut, tidak sopan bagi orang keraton. Di Kota Yogyakarta juga ia menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.[2]
Wafat
suntingSukarton wafat pada tanggal 29 Juni 1990 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan.
Tanda Kehormatan
suntingBaris ke-1 | Bintang Mahaputera Adipradana (29 Juni 1990)[1] | Bintang Jasa Pratama (5 Agustus 1982)[3] | |
---|---|---|---|
Baris ke-2 | Satyalancana Kesetiaan 24 Tahun | Satyalancana Wira Dharma | Satyalancana Penegak |
Galeri
sunting-
Makam Sukarton Marmosudjono di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan
-
Makam Sukarton Marmosudjono di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan
Referensi
sunting- ^ a b Daftar WNI yang Mendapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera tahun 1959 s.d. 2003 (PDF). Diakses tanggal 4 Oktober 2021.
- ^ Majalah Kartini, 17 April 1988. "Orang-orang baru di kabinet bercerita tentang masa kecil mereka: Dari yang menjadi komandan gembala sampai mata-mata cilik"
- ^ Daftar WNI yang Menerima Anugerah Bintang Jasa Tahun 1964 - 2003 (PDF). Diakses tanggal 25 Februari 2022.
Pernikahan
suntingSukarton adalah suami dari Lastri Fardani Sukarton yang merupakan jurnalis Majalah Kartini dan penulis buku antologi puisi "Gunung Biru di Atas Dusunku".
Didahului oleh: Hari Suharto |
Jaksa Agung Republik Indonesia 1988 - 1990 |
Diteruskan oleh: Singgih |