Suksesi apostolik atau suksesi rasuli merupakan cara di mana pelayanan Gereja Kristen diturunkan dari Para Rasul dalam suatu suksesi yang berkesinambungan, yang biasanya dihubungkan dengan sebuah klaim bahwa suksesi tersebut dilakukan melalui serangkaian uskup.[1] Rangkaian ini sejak awal dipandang sebagaimana yang dilakukan oleh para uskup dari takhta tertentu yang didirikan oleh setidaknya seorang rasul. Justo L. González mengatakan bahwa saat ini suksesi apostolik umumnya dipahami dalam arti serangkaian uskup, tanpa memandang takhta; masing-masing ditahbiskan oleh uskup-uskup lainnya, mereka sendiri kemudian menahbiskan dengan cara yang sama dalam suatu suksesi yang dapat ditelusuri kembali ke para rasul.[2] Namun menurut dokumen yang dihasilkan oleh Komisi Internasional Bersama untuk Dialog Teologis antara Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks, "takhta (cathedra) memainkan suatu peranan penting dalam menempatkan uskup tersebut ke dalam jantung apostolisitas gerejawi".[3]

Penahbisan episkopal atas Deodatus dari Nevers; Claude Bassot (1580-1630).

Mereka yang berpegang pada pentingnya suksesi apostolik (dari para rasul) melalui penumpangan tangan uskup merujuk pada Perjanjian Baru, yang mana dipandang mengisyaratkan suatu suksesi apostolik perorangan (misalnya dari Paulus kepada Timotius dan Titus). Selain itu mereka juga merujuk pada dokumen lain dari Gereja perdana, terutama Surat Klemens.[4] Dalam konteks ini, Klemens secara eksplisit menyatakan bahwa para rasul menunjuk para uskup sebagai penerus mereka dan mengarahkan supaya para uskup ini pada gilirannya harus menentukan penerus mereka juga; mengingat akan hal ini, para pemimpin Gereja tersebut tidak akan diturunkan tanpa sebab dan tidak dengan cara ini. Selanjutnya, para pendukung dari kebutuhan akan suksesi apostolik uskup secara personal di dalam Gereja menunjuk pada praktik universal dari Gereja awal mula yang tak terpisahkan (sampai dengan tahun 431), sebelum terpisah-pisah menjadi Gereja dari Timur, Gereja Ortodoks Oriental, Gereja Ortodoks Timur, dan Gereja Katolik. Umat Kristen dari tradisi Katolik Roma, Ortodoks, Katolik Lama, Anglikan, Moravian, dan Lutheran Skandinavia bersikeras bahwa "seorang uskup tidak memiliki imamat yang lazim atau valid kecuali ia dikonsekrasi dalam suksesi apostolik ini."[5] Dan selain itu, masing-masing kelompok tersebut belum tentu menganggap konsekrasi dari kelompok lainnya adalah valid.[6]

Meskipun demikian, beberapa kalangan Protestan menyangkal perlunya kontinuitas semacam ini,[1][7] dan klaim sejarah yang terkait sangat dipertanyakan oleh mereka; Eric G. Jay berkomentar bahwa cerita mengenai kehadiran para uskup tersebut pada ensiklik Lumen Gentium (1964) bab III "adalah sangat kabur, dan banyak kerancuan dalam sejarah awal pelayanan Kristen yang diabaikan".[8] Denominasi-denominasi ini, sebaliknya, berpegang bahwa suksesi apostolik adalah "dipahami sebagai suatu kesinambungan dalam pengajaran doktrinal sejak zaman para rasul hingga saat ini."[9]

Beragam makna

sunting

Michael Ramsey, seorang uskup Anglikan dari Inggris dan Uskup Agung Canterbury (1961-1974), mendeskripsikan tentang tiga makna "suksesi apostolik":

  1. Seorang uskup menggantikan yang lainnya dalam takhta yang sama berarti ada suatu kontinuitas ajaran: "sementara Gereja secara keseluruhan adalah bahtera yang padanya kebenaran dicurahkan, para Uskup merupakan suatu bagian penting dalam melaksanakan tugas ini".
  2. Para uskup juga merupakan penerus para rasul yang mana dalam hal ini "fungsi-fungsi yang mereka lakukan dengan mengajar, mengatur dan menahbiskan adalah sama seperti yang telah dilakukan para Rasul".
  3. Hal ini juga digunakan untuk menandakan bahwa "kasih karunia diteruskan dari para Rasul oleh setiap generasi uskup melalui penumpangan tangan".

Ia menambahkan bahwa yang terakhir ini menjadi kontroversi sebab ada yang mengklaim bahwa aspek tersebut tidak ditemukan sebelum zaman Agustinus dari Hippo, sementara yang lainnya menyatakan bahwa hal ini tersirat dalam Gereja pada abad ke-2 dan 3.[10]

Dalam pernyataan tahun 1982 mengenai Baptisan, Ekaristi dan Pelayanan, Komisi Iman dan Tata Gereja dari Dewan Gereja-gereja se-Dunia menyatakan bahwa "manifestasi yang terutama dari suksesi apostolik dapat ditemukan dalam tradisi apostolik dari Gereja sebagai satu kesatuan... Dalam situasi sejarah tertentu dari Gereja yang tumbuh pada abad-abad awal, suksesi para uskup menjadi salah satu cara, bersama-sama dengan penyebaran Injil dan kehidupan komunitas tersebut, di mana tradisi apostolik dari Gereja terekspresikan."[11] Dokumen tersebut berbicara tentang suksesi episkopal sebagai suatu hal yang mana gereja-gereja yang tidak memiliki uskup dapat melihatnya "sebagai sebuah tanda, meski bukan jaminan, dari kontinuitas dan kesatuan Gereja" dan semua gereja dapat melihatnya "sebagai sebuah tanda apostolisitas dari kehidupan seluruh gereja".[12]

Beberapa kalangan Anglikan, di samping kalangan Protestan lainnya, menyatakan bahwa suksesi apostolik "juga dapat dipahami sebagai suatu kesinambungan dalam ajaran doktrinal dari zaman para rasul hingga saat ini."[9] Sebagai contoh, Konferensi Methodis Britania menempatkan "kontinuitas sejati" tersebut dengan Gereja pada masa lampau dalam "kontinuitas pengalaman Kristiani, persekutuan dalam anugerah dari satu Roh; dalam kontinuitas ketaatan pada satu Tuhan, pewartaan kabar secara kontinu; penerimaan misi secara kontinu;..."[13]

Ajaran dari Konsili Vatikan II mengenai suksesi apostolik[14] dapat disimpulkan sebagai berikut:

Para uskup telah menggantikan para rasul, bukan hanya karena mereka ada setelah para rasul, namun juga karena mereka mewarisi kuasa apostolik. ... "Untuk menunaikan misi apostolik ini, Kristus ... menjanjikan Roh Kudus kepada para rasul...". [Mereka] "diperkaya oleh Kristus Tuhan dengan suatu pencurahan khusus dari Roh Kudus ... Karunia rohani ini telah diteruskan kepada kita melalui penahbisan episkopal".[15]

Pada zaman patristik awal

sunting

Menurut Komisi Teologi Internasional (KTI), perselisihan antar individu tidak selalu dapat dihindari di antara komunitas Perjanjian Baru; Paulus meminta pertimbangan pada otoritas apostoliknya ketika terjadi perbedaan pendapat mengenai Injil atau prinsip-prinsip kehidupan Kristiani. Bagaimana perkembangan tata kelola apostolik sulit untuk dijelaskan secara akurat karena tiadanya dokumen-dokumen tertentu. KTI mengatakan bahwa para rasul atau asisten terdekat mereka atau pengganti mereka menunjuk kolegium episkopoi dan presbyteroi setempat pada akhir abad pertama; sementara pada awal abad kedua sosok seorang uskup tunggal, sebagai pimpinan komunitas, tampak secara eksplisit dalam surat-surat dari Ignatius dari Antiokhia (ca 35-107).[16] Dalam Surat kepada jemaat di Smyrna, St Ignatius menuliskan mengenai tiga tingkat pelayanan:

Ingatlah agar kamu sekalian taat kepada uskup, sebagaimana yang Yesus Kristus perbuat pada Bapa, dan presbiter sebagaimana yang kamu perbuat pada para rasul; dan hormatilah para diakon sebagai intitusi dari Allah. Jangan ada orang yang melakukan apa pun terkait dengan Gereja tanpa sang uskup."[17]:Ch.8

Ramsey mengatakan bahwa doktrin yang dirumuskan pada abad kedua, dalam hal pertama dari ketiga makna yang diberikannya, pada saat itu merupakan tanggapan terhadap klaim kaum Gnostik yang merasa telah menerima ajaran rahasia dari Kristus atau para rasul; doktrin tersebut menegaskan cara umum[18] di mana para rasul telah meneruskan ajaran otentik kepada orang-orang yang diberi kepercayaan oleh mereka untuk memelihara gereja yang mereka dirikan, dan orang-orang tersebut pada gilirannya akan meneruskannya kepada pengganti mereka.[2][19][20] Ramsey berpendapat bahwa baru belakangan doktrin ini memiliki makna yang berbeda, suatu proses yang mana Agustinus (Uskup Hippo Regius, 395-430) berperan dalam menegaskan gagasan akan "hubungan dari konsekrator ke yang dikonsekrasi dimana anugerah imamat diteruskan."[21]

Minta mereka menunjukkan catatan asli dari gereja mereka; minta mereka membentangkan gulungan daftar nama uskup mereka, yang mengalir dalam suksesi sejak awal dengan cara sedemikian sehingga uskup [pertama mereka] harus dapat menunjukkan yang menahbiskannya dan pendahulunya setidaknya salah seorang rasul atau penerus apostolik.[22]

Dalam tulisannya sekitar tahun 94, Klemens dari Roma menyatakan bahwa para rasul menunjuk penerus mereka untuk melanjutkan karya yang telah mereka tanam dalam Gereja dan pada gilirannya para penerus tersebut melakukan hal yang sama karena mereka telah meramalkan adanya risiko perselisihan. Ia menggunakan istilah 'uskup' dan 'presbiter' untuk merujuk pada pada orang-orang ini.[butuh rujukan] Menurut Eric G. Jay, interpretasi atas tulisannya menjadi bahan perdebatan, namun jelas bahwa ia mendukung semacam kesinambungan yang sah atas pelayanan yang dipraktikkan oleh para rasul[23] yang mana berasal dari Kristus.[1]

Hegesippus dan Ireneus (180) secara eksplisit memperkenalkan gagasan bahwa suksesi uskup dalam jabatannya merupakan suatu jaminan kebenaran dari apa yang ia ajarkan, yang dalam hal ini dapat ditelusuri kembali ke para rasul,[24] dan mereka membuat daftar suksesi untuk mendukung hal ini.[25] Mengenai fakta bahwa suksesi ini bergantung pada penahbisan di suatu takhta kosong, dan status dari yang mengatur penahbisan tersebut, jarang dikomentari. Woollcombe juga menyatakan bahwa tidak ada yang mempertanyakan apostolisitas dari Takhta Aleksandria, meskipun menurutnya Paus mereka ditahbiskan oleh kolegium presbiter sampai dengan Konsili Nicea tahun 325.[24] Sebaliknya, sumber lain menyatakan dengan jelas bahwa St Markus adalah uskup pertama Aleksandria (Paus Aleksandria),[26] kemudian ia menahbiskan Anianus sebagai uskup penggantinya (Paus kedua),[27] sebagaimana dikisahkan oleh Eusebius (Historia Ecclesiastica 2.24.1).

James F. Puglisi, direktur Centro Pro Unione, membuat suatu kesimpulan atas tulisan Ireneus: "istilah episkopos dan presbyteros dapat saling menggantikan, tetapi istilah episkopos (uskup) diberlakukan pada orang telah ditetapkan di setiap Gereja oleh para rasul dan penerus mereka".[28] Menurut Eric G. Jay,[siapa?] Ireneus juga merujuk suksesi presbiter yang melestarikan tradisi "yang berasal dari para rasul",[29] dan kemudian melanjutkan dengan berbicara tentang mereka yang memiliki "karisma kebenaran yang sempurna" (charisma veritatis certum). Jay berpendapat bahwa hal ini terkadang dilihat sebagai suatu referensi awal atas gagasan mengenai transmisi anugerah melalui suksesi apostolik yang pada abad-abad berikutnya dipahami sebagai transmisi secara khusus melalui penumpangan tangan oleh seorang uskup dalam suksesi apostolik tersebut. Ia memperingatkan akan kemungkinan adanya keberatan bahwa suksesi tersebut menjadikan anugerah sebagai suatu komoditas materiil (yang semu) dan merepresentasikan suatu metode yang nyaris mekanis atas apa yang menurut definisinya merupakan suatu pemberian gratis. Menurutnya gagasan tersebut tidak dapat dihasilkan dari kata-kata Ireneus.[29]

Beberapa waktu kemudian, Tertullian menuliskan hal pokok yang sama namun menambahkan dengan tegas bahwa gereja yang baru didirikan (seperti yang didirikannya di Kartago) dapat dipandang apostolik jika "menurunkan tradisi iman dan benih-benih doktrin" dari suatu gereja apostolik.[30] Muridnya, Siprianus (Uskup Kartago tahun 248-258) merujuk pada prinsip dasar yang sama dalam pemilihan uskup pada suatu takhta yang kosong setelah terjadinya Penganiayaan Decian, ketika menyangkal keabsahan saingannya di Kartago dan Antipaus Novatianus di Roma.[31] Siprianus juga memberi penekanan yang besar pada kenyataan bahwa siapa pun pelayan yang memisahkan diri dari Gereja secara nyata kehilangan karunia Roh yang telah memvalidasi tahbisannya. Hal ini berarti bahwa pelayan tersebut tidak akan memiliki kuasa atau otoritas untuk merayakan sakramen yang berdaya guna.[32]

Sebagai transmisi anugerah

sunting

Bagi para penganut paham ini, anugerah atau rahmat ditransmisikan saat konsekrasi episkopal (penahbisan uskup) melalui penumpangan tangan dari para uskup yang telah ditahbiskan sebelumnya dalam rangkaian kesinambungan apostolik. Mereka berpendapat bahwa garis silsilah penahbisan ini berasal dari Keduabelas Rasul, dan karenanya menjadikan Gereja sebagai kelanjutan dari komunitas Kekristenan Apostolik. Mereka melihatnya sebagai salah satu dari empat elemen yang menegaskan Gereja Yesus Kristus yang sejati[33] dan mengabsahkan pelayanan para klerusnya, karena hanya seorang uskup dalam kesinambungan tersebut yang dapat melakukan penahbisan secara valid, dan hanya uskup serta presbiter (imam) yang ditahbiskan oleh uskup dalam kesinambungan rasuli yang dapat melayankan secara valid beberapa sakramen, termasuk Ekaristi, rekonsiliasi, krisma, dan pengurapan orang sakit. Everett Ferguson berpendapat bahwa Hippolitus, dalam Apostolic Tradition 9, merupakan sumber pertama yang diketahui menyatakan bahwa hanya uskup yang mempunyai kewenangan untuk menahbiskan; dan dalam kondisi normal diperlukan -setidaknya- tiga uskup untuk menahbiskan uskup lainnya (Konsili Nicea I, can. 4). Siprianus juga menegaskan bahwa "jika seseorang tidak bersama dengan sang uskup, ia tidak berada di dalam Gereja" (Ep. 66.9).[34]:184

Ferguson, dalam Encyclopedia of Early Christianity, mengatakan bahwa gambaran mengenai pengaruh Yakobus dan penatua dari Gereja Yerusalem dalam Kisah 21:18 mungkin menjadi sebuah model bagi pengembangan episkopasi tunggal (monepiscopacy), di mana jabatan Yakobus menjadi sosok yang mencolok dalam teori-teori modern tentang kemunculan monepiscopacy.[34]:183 Raymond E. Brown mengatakan bahwa pada tahap awal (sebelum abad ke-3 dan mungkin lebih awal lagi) terdapat para penilik jemaat atau uskup jamak (presbyter-bishops) dalam suatu komunitas individual; pada tahap berikutnya berubah menjadi hanya satu uskup per komunitas. Hanya sedikit yang dapat diketahui tentang bagaimana para uskup awal mula ditunjuk atau dipilih secara resmi; sesudahnya Gereja mengembangkan sebuah pola yang diregularisasikan dalam pemilihan dan penahbisan uskup, dan sejak abad ke-3 hal ini diterapkan secara universal. Brown menegaskan bahwa para pelayan tersebut tidak ditahbiskan oleh Gereja untuk bertindak berdasarkan otoritasnya sendiri, tetapi sebagai suatu bagian penting untuk melanjutkan pelayanan Yesus Kristus dan membantu menjadikan Gereja sebagaimana seharusnya.[35]

Raymond E. Brown juga menyatakan bahwa pada awal abad ke-2, seperti yang tertulis dalam surat-surat Ignatius dari Antiokhia, dalam struktur tiga tingkat (uskup tunggal, presbiter jamak, diaken jamak) pelayanan Ekaristi atau Perjamuan Kudus menjadi tugas uskup sendiri saja; sang uskup dapat mendelegasikannya kepada yang lain jika ia berhalangan. Saat Perjamuan Terakhir, perkataan Yesus kepada mereka yang hadir, yang adalah atau termasuk Keduabelas Rasul, "Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku," diandaikan oleh Brown sebagai pengenangan atas Keduabelas Rasul sebagai yang memimpin saat Perjamuan Kudus tersebut. Namun mereka hampir-hampir tidak dapat hadir dalam semua Perjamuan yang diadakan selama abad pertama, dan tidak ada informasi dalam Perjanjian Baru tentang kemungkinan adanya orang yang ditugaskan secara teratur untuk melakukan pelayanan ini dan, jika ada, siapa orang tersebut. Bagaimanapun Gereja kemudian mengatur dan meregularisasikan pelayanan Perjamuan Kudus, sebagai suatu ketetapan yang tak terelakkan jikalau komunitas harus diberikan 'roti hidup' secara teratur, sebab pemberiannya tidak dapat dilakukan secara sembarangan.[35]

Keberatan atas teori transmisi anugerah

sunting

Menurut William Griffith Thomas, beberapa kalangan Protestan mengajukan keberatan bahwa teori ini tidak ditemukan secara eksplisit dalam Alkitab, dan Perjanjian Baru menggunakan 'uskup' dan 'presbiter' sebagai nama-nama alternatif untuk jabatan yang sama.[36] Sementara Michael Ramsey berpendapat bahwa teori ini tidak ditemukan secara jelas dalam tulisan-tulisan para Bapa Gereja sebelum St. Agustinus pada abad ke-4, dan ada upaya-upaya untuk membacanya kembali sebagai hal yang tersirat dalam tulisan para penulis sebelumnya.[37]

Sebagai contoh, C.K. Barret menunjukkan kalau yang menjadi perhatian dalam Surat-surat Pastoral adalah bahwa para pelayan dari generasi Timotius dan Titus harus meneruskan doktrin yang telah mereka terima kepada generasi ketiga. Menurut Barret, pengajaran dan khotbah adalah "aktivitas pelayanan yang utama, hampir satu-satunya." Ia berpendapat bahwa bagi Klemens dari Roma kegiatan pelayanan adalah liturgi: para 'uskup-presbiter' berperan untuk "memberikan persembahan kepada Tuhan pada waktu yang tepat dan pada tempat yang tepat", sesuatu yang tidak ditetapkan oleh para penginjil. Ia juga menyebutkan perubahan dalam penggunaan bahasa pengorbanan sebagai sesuatu yang tetap lebih berarti: bagi Paulus Perjamuan Kudus merupakan suatu penerimaan anugerah dari Allah, pengorbanan seorang Kristen adalah persembahan tubuhnya (Roma 12).[38]:92f Beralih ke Ignatius dari Antiokhia, Barret menyatakan bahwa terdapat suatu perbedaan yang jelas antara 'presbiter' dan 'uskup': istilah yang terakhir sekarang digunakan untuk merujuk seorang "figur yang terisolir" yang harus ditaati dan tanpanya tidaklah sah untuk melakukan pembaptisan atau merayakan suatu Perjamuan.[38]:94f Ia juga menunjukkan bahwa saat Ignatius menulis kepada jemaat di Roma, tidak disebutkan adanya seorang uskup dari Gereja Roma, "yang mana dapat kita duga belum mengadopsi episkopat monarki."[38]:95

Apostolisitas sebagai kontinuitas doktrinal dan yang berkaitan

sunting

Beberapa denominasi Protestan menyangkal perlunya mempertahankan kesinambungan episkopal dengan Gereja perdana, berpegang bahwa peran para rasul adalah, setelah dipilih secara langsung oleh Yesus sebagai saksi-saksi kebangkitan-Nya, menjadi "instrumen khusus dari Roh Kudus dalam mendirikan dan membangun Gereja".[39] E.A. Litton[siapa?] berpendapat bahwa Gereja "dibangun di atas 'fondasi para Nabi dan Rasul' (Ephes. ii. 20), tetapi suatu fondasi tidak berulang dengan sendirinya";[39] karenanya ia mengatakan bahwa ketika para rasul meninggal, mereka digantikan dengan tulisan-tulisan mereka.[39] Menerima iman yang sama dari para rasul, percaya perkataan mereka sebagaimana dapat ditemukan dalam Alkitab, dan menerima Roh Kudus yang sama, merupakan satu-satunya arti "kontinuitas" bagi banyak kalangan Protestan. Maka makna suksesi apostolik yang paling berarti bagi mereka adalah "suksesi setia" atas ajaran apostolik.

Max Thurian, sebelum konversinya ke Katolik Roma pada tahun 1988, menggambarkan konsep Reformed/Presbiterian klasik dari suksesi apostolik dalam perkataan berikut: "Pelayanan Kristen tidak berasal dari jemaat tetapi dari para pendeta; suatu ketetapan alkitabiah memungkinkan pelayanan ini diperbarui melalui penahbisan seorang presbiter oleh para presbiter; ketetapan ini berasal dari para rasul, yang mana mereka sendiri adalah presbiter, dan melalui mereka hal ini merujuk kepada Kristus sebagai sumbernya."[40] Kemudian ia melanjutkan:[41]

"Ini tidak menjamin keberlangsungan dan kesetiaan dari Gereja. Suatu suksesi yang murni historis atau mekanis atas para pelayan, uskup atau pendeta tidaklah berarti suksesi apostolik sejati secara ipso facto dalam Gereja; tradisi Reformed, mengikuti tradisi Katolik yang otentik, membedakan empat kenyataan yang membentuk suksesi apostolik sejati, yang dilambangkan, namun tidak dijamin secara mutlak, oleh suksesi kepelayanan."

Pada saat yang sama Thurian berpendapat bahwa kenyataan-kenyataan tersebut membentuk suatu "kesetiaan gabungan" yang adalah (i) "ketekunan dalam doktrin apostolik"; (ii) "kehendak untuk memberitakan firman Allah"; (iii) "persekutuan dalam kesinambungan mendasar dari Gereja, Tubuh Kristus, perayaan yang setia atas Baptisan dan Perjamuan Kudus"; (iv) "suksesi dalam penumpangan tangan, tanda keberlanjutan kepelayanan".[41]

Menurut Kardinal Walter Kasper, dialog antara Reformed dan Katolik telah sampai pada keyakinan bahwa terdapat suatu suksesi apostolik yang penting bagi kehidupan Gereja, meski kedua belah pihak membedakan arti suksesi tersebut. Selain itu, dialog tersebut menyatakan bahwa suksesi apostolik "mencakup setidaknya dalam kontinuitas doktrin apostolik, tetapi ini tidak berlawanan dengan suksesi melalui kontinuitas para pelayan tertahbis" (Ref I, 100).[42]:85 Sedangkan dialog antara Lutheran dan Katolik membedakan suksesi apostolik dalam iman (dalam arti mendasar) dengan suksesi apostolik sebagai suksesi pelayanan para uskup; kedua pihak bersepakat bahwa "suksesi dalam arti suksesi para pelayan harus dilihat di dalam suksesi seluruh gereja dalam iman apostolik" (Ministry, 61; cf. Malta, 48).[42]:84

Komisi Internasional Bersama untuk Dialog Teologis antara Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks menegaskan bahwa suksesi apostolik berarti sesuatu yang lebih dari sekadar suatu transmisi otoritas; suksesi tersebut bersaksi bagi iman apostolik dari iman apostolik yang sama, dan dalam persekutuan dengan Gereja yang lain (yang melekat pada persekutuan apostolik). Tradisi apostolik berhubungan dengan komunitas, tidak hanya seorang uskup tertahbis sebagai orang yang terisolir. Karena uskup, setelah ditahbiskan, menjadi penjamin apostolisitas dan penerus para rasul; ia bergabung dengan semua uskup, dengan demikian memelihara episkope Gereja-Gereja setempat yang berasal dari kolegium para rasul.[3]

Gereja yang mengklaim suksesi apostolik

sunting

Gereja yang mengklaim suatu bentuk suksesi apostolik episkopal, merujuk kembali pada para rasul atau pemimpin dari zaman apostolik,[43] termasuk Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Ortodoks Oriental, Gereja dari Timur, Komuni Anglikan, beberapa Gereja Lutheran, serta sebagian kecil lainnya yang menyertakan istilah "Katolik". Komuni Anglikan dan Gereja Lutheran yang mengklaim suksesi apostolik tidak secara khusus mengajarkan hal ini tetapi secara eksklusif mempraktikkan penahbisan epikopal. Beberapa kalangan Anglikan mengklaimnya bagi persekutuan mereka, namun pandangan mereka sering kali samar-samar dan ada keberatan secara luas untuk tidak menganggap jemaat Kristen yang tidak memilikinya sebagai Gereja.[44]

Katolik Roma mengakui keabsahan suksesi apostolik para uskup, dan karenanya juga para klerus lainnya, dari Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental, Gereja dari Timur, Gereja Katolik Lama (Serikat Utrecht saja),[butuh rujukan] dan Gereja Katolik Nasional Polandia[butuh rujukan]. Ortodoks Timur pada umumnya mengakui tahbisan Katolik Roma, tetapi memiliki suatu konsep yang berbeda akan suksesi apostolik dalam bentuknya di luar Ortodoksi Timur. Ketiadaan suksesi apostolik melalui para uskup merupakan alasan utama mengapa jemaat Protestan tidak disebut sebagai Gereja, dalam arti yang tepat, oleh Gereja Ortodoks dan Gereja Katolik.[45]

Para pendiri apostolik

sunting

Pemahaman mula-mula akan suksesi apostolik direpresentasikan oleh klaim sejak dahulu dari beragam Gereja, yang terorganisir di seluruh tahta episkopal penting, yang menyatakan telah didirikan oleh rasul tertentu. Atas dasar tradisi ini, semua Gereja tersebut mengaku sebagai pewaris doktrin, otoritas khusus dan/atau praktik atas kuasa dari sang rasul pendiri, yang mereka pahami dilanjutkan oleh para uskup dari singgasana apostolik Gereja di mana rasul itu menjadi pemimpin awalnya.

Ajaran-ajaran

sunting

Gereja Katolik

sunting

Merupakan kewajiban semua untuk mematuhi para presbiter yang berada dalam Gereja —yakni mereka yang, seperti saya, memiliki suksesi dari para Rasul; mereka yang, seiring dengan suksesi episkopat, telah menerima anugerah kebenaran tertentu seturut kehendak baik Bapa. Namun mereka yang memisahkan diri dari suksesi historis perlu diwaspadai.[56]

Irenaeus

Dalam teologi Katolik Roma, doktrin suksesi apostolik menyatakan bahwa Kristus memberikan sepenuhnya otoritas sakramental Gereja kepada Keduabelas Rasul melalui Sakramen Tahbisan Suci. Dengan menganugerahkan kepenuhan Sakramen Tahbisan Suci kepada para Rasul, mereka diberi kewenangan untuk menganugerahkan sakramen tersebut kepada orang lain, dengan demikian menahbiskan para uskup dalam suatu garis silsilah langsung yang dapat dilacak kembali asal usulnya ke Keduabelas Rasul dan Kristus. Suksesi secara langsung dari para Rasul kepada para uskup saat ini disebut sebagai suksesi apostolik.[3][16]

 
Upacara penahbisan Katolik

Walaupun terkait dengan suksesi apostolik sebagaimana dijelaskan di sini, Keutamaan Uskup Roma merupakan hal yang berbeda. Gereja Katolik secara tradisi mengklaim suatu kepemimpinan yang khas atas Rasul Petrus, yang diyakini telah disebut oleh Yesus sebagai pemimpin para Rasul dan sebagai suatu fokus persatuan mereka. Rasul Petrus dipandang sebagai Uskup Roma yang pertama, dan para penggantinya mewarisi peran tersebut sehingga menjadi pemimpin Gereja di seluruh dunia juga. Meski demikian, Katolikisme mengakui bahwa kepausan dibangun pada suksesi apostolik, bukan sebaliknya. Oleh karenanya, suksesi apostolik merupakan suatu doktrin otoritas yang mendasar dalam Gereja Katolik.[57][58]

Katolikisme mengajarkan bahwa Kristus mempercayakan para Rasul untuk memimpin komunitas umat beriman, dan kewajiban untuk menyebarkan dan melestarikan "deposit iman" (pengalaman akan Kristus dan semua ajaran-Nya yang terkandung dalam "tradisi" doktrinal warisan para Rasul dan tulisan, yakni Kitab Suci). Para Rasul kemudian meneruskan wewenang dan jabatan ini dengan cara menahbiskan uskup-uskup untuk menggantikan mereka (KGK #861–862).[59]

Teologi Katolik Roma menyatakan bahwa suksesi apostolik berdampak pada kuasa dan otoritas untuk melayankan berbagai sakramen selain Baptisan dan Perkawinan (Baptisan bisa saja dilayankan oleh siapa pun dan Perkawinan saling dilayankan satu sama lain oleh pasangan tersebut). Wewenang untuk melayankan sakramen-sakramen tersebut diteruskan hanya melalui Sakramen Imamat (atau Tahbisan Suci), sebuah ritual yang dengannya seorang imam ditahbiskan (penahbisan hanya dapat dilayankan oleh uskup). Uskup tersebut harus dari rangkaian uskup yang berkesinambungan tanpa putus, yang berawal dari Keduabelas Rasul yang dipilih oleh Yesus Kristus sendiri. Karenanya suksesi apostolik diperlukan untuk pelayanan sakramen secara valid.[16]

Pada tanggal 29 Juni 2007, Kongregasi Doktrin Iman menjelaskan mengapa suksesi apostolik merupakan bagian tak terpisahkan, dan suatu elemen pokok, dari Gereja. Dalam menanggapi pertanyaan mengapa Konsili Vatikan II dan pernyataan resmi lainnya dari Gereja Katolik tidak menyebut Komunitas Kristen Protestan sebagai "Gereja-Gereja", disebutkan bahwa "menurut doktrin Katolik, semua Komunitas ini tidak memiliki suksesi apostolik dalam sakramen Tahbisan, dan karenanya kehilangan suatu elemen konstitutif Gereja. Semua Komunitas gerejani yang, secara khusus karena ketiadaan Sakramen Imamat, belum melestarikan hakikat integral dan sejati dari Misteri Ekaristi, menurut doktrin Katolik, tidak dapat disebut 'Gereja-Gereja' dalam arti yang tepat."[60]

Gereja Ortodoks

sunting
 
Penahbisan seorang imam Ortodoks dengan penumpangan tangan. Umat Kristen Ortodoks memandang suksesi apostolik sebagai suatu mekanisme penahbisan oleh Allah, yang dengannya struktur dan ajaran Gereja dilanggengkan.

Referensi-referensi dari Gereja Ortodoks Timur sering kali merujuk para uskup sebagai "penerus para Rasul" dalam pengaruh teologi Skolastik, namun teologi dan eklesiologi Ortodoks secara tegas berpegang bahwa semua uskup yang sah adalah penerus yang benar dari Petrus.[61] Hal ini juga berarti bahwa presbiter (atau "imam") adalah penerus para Rasul. Sebagai akibatnya, teologi Ortodoks membuat perbedaan antara suksesi historis atau geografis, dan suksesi eklesiologis atau ontologis yang tepat. Oleh karena itu, dalam arti historis, para uskup Roma dan Antiokhia dapat dianggap sebagai penerus Petrus karena keberadaan Petrus di komunitas awal tersebut. Mereka juga tidak mengartikan, secara ontologis, uskup-uskup ini sebagai pengganti Petrus yang lebih tinggi tingkatannya dibandingkan yang lain.[62]:86-89

Menurut kanon-kanon kuno yang masih dipelajari oleh komuni Ortodoks, seorang uskup harus ditahbiskan oleh setidaknya tiga uskup lainnya; sehingga apa yang disebut "penahbisan tunggal" tidak ada. Selain itu, para uskup tidak pernah ditahbiskan "secara umum" tetapi hanya untuk suatu komunitas Ekaristis tertentu, dikarenakan suksesi sakramental dan historis.[butuh rujukan]

Pandangan tentang gereja lainnya

sunting

Ortodoksi Timur sering kali mengizinkan klerus non-Ortodoks untuk segera ditahbiskan dalam Ortodoksi sebagai suatu hal terkait ekonomi dan kebutuhan pastoral. Para imam yang memasuki Ortodoksi Timur dari Ortodoksi Oriental dan Katolikisme Roma biasanya diterima dengan cara "penjubahan" (vesting) dan diizinkan untuk menjalankan fungsinya sesegera mungkin sebagai imam dalam Ortodoksi Timur. Pengakuan akan tahbisan Katolik Roma oleh Gereja Ortodoks Rusia ditetapkan pada tahun 1667 oleh Sinode Moskow Agung,[62]:138 tetapi ketetapan ini tidak berlaku secara universal dalam komuni Ortodoks Timur. Validitas tahbisan seorang imam ditentukan oleh masing-masing gereja Ortodoks yang otosefalus.[63]

Gereja Apostolik Armenia, yang mana merupakan salah satu bagian dari Gereja Ortodoks Oriental, mengakui tahbisan episkopal Katolik Roma tanpa syarat apa pun.[butuh rujukan]

Komuni Anglikan

sunting
 
Prasasti yang didedikasikan untuk konsekrasi Samuel Seabury sebagai uskup Anglikan pertama di Benua Amerika.

Komuni Anglikan "belum pernah secara resmi menetapkan suatu teori tertentu tentang asal mula episkopat secara historis, hubungannya secara tepat ke apostolat, dan arti yang seharusnya dianggap sebagai pemberian Allah, dan kenyataannya mentolerir berbagai pandangan pada pokok-pokok ini".[64] Klaim mereka atas suksesi apostolik berakar dari evolusi Gereja Inggris sebagai bagian dari Gereja Barat.[65] Suksesi apostolik tidak begitu dipandang sebagai transmisi secara mekanis melalui suatu rangkaian tak terputus dari penumpangan tangan, tetapi lebih sebagai pengungkapan kontinuitas dengan rangkaian tanpa putus atas komitmen, keyakinan dan misi yang dimulai dari rasul-rasul pertama; dan karenanya menekankan hakikat Gereja yang abadi namun terus berkembang.[66]

Ketika Henry VIII memisahkan diri dari yurisdiksi Roma pada tahun 1533/4, Gereja Inggris mengklaim suksesi apostolik dan tata kelola episkopal yang melekat dalam masa lalu mereka saat dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik; namun kemudian teologi Protestan menjadi suatu pijakan pasti bagi mereka[67]:49,61 dan di bawah penggantinya, Edward VI, apa yang sebelumnya merupakan suatu skisma menjadi reformasi Protestan di bawah tuntunan Thomas Cranmer.[67]:67 Meskipun ada upaya untuk mempertahankan rangkaian konsekrasi episkopal yang tak terputus, terutama dalam kasus Matthew Parker, yang dikonsekrasi menjadi Uskup Agung Canterbury pada tahun 1559 oleh 2 uskup yang ditahbiskan tahun 1530-an dengan Pontifikal Roma dan 2 uskup lain yang ditahbiskan dengan Ordinal Edwardin tahun 1550, suksesi apostolik tidak dipandang sebagai suatu kekhawatiran utama bahwa pelayanan yang benar tidak bisa ada tanpa konsekrasi episkopal: Reformis Inggris seperti Richard Hooker menolak posisi Katolik yang menyatakan bahwa suksesi apostolik merupakan perintah ilahi atau diperlukan demi pelayanan Kristen yang sejati.[68] Richard A. Norris[siapa?] mengatakan bahwa "Gereja-Gereja Reformed [Presbiterian] asing" adalah orang-orang yang tulus, terlepas dari ketiadaan suksesi apostolik, karena mereka telah ditinggalkan oleh para uskup mereka saat Reformasi.[69]:304

Dengan cara yang sangat berbeda James II dan William III dari Inggris menyatakan secara gamblang bahwa Gereja Inggris tidak dapat lagi mengandalkan 'pangeran saleh' untuk mempertahankan identitas dan tradisi, dan klerus 'Gereja Tinggi' saat itu mulai melihat pada gagasan tentang suksesi apostolik sebagai suatu dasar bagi kehidupan menggereja. Bagi William Beveridge (Uskup St Asaph, 1704-1708), arti penting dari hal ini terletak pada fakta bahwa Kristus sendiri "senantiasa hadir saat penumpangan tangan tersebut; dengan demikian mengalihkan Roh yang sama, yang pertama kali Ia hembuskan kepada para Rasul-Nya, dan kepada yang lainnya berturut-turut setelah mereka",[69]:305 namun doktrin ini tidak benar-benar muncul ke permukaan sampai dengan masa Traktarian.[70]

Pandangan Ortodoks Timur atas tahbisan Anglikan

sunting

Pada abad ke-20 telah ada beragam posisi yang diambil oleh berbagai Gereja Ortodoks Timur atas validitas tahbisan Anglikan. Tahun 1922 Patriark Konstantinopel mengakui validatas tahbisan mereka.[71][butuh klarifikasi] Ia menuliskannya: "Bahwa para teolog Ortodoks yang telah meneliti permasalahan tersebut secara ilmiah telah hampir dengan suara bulat membuat kesimpulan yang sama dan telah menyatakan diri menerima validitas Tahbisan Anglikan."[butuh rujukan]

Tetapi kemudian penilaian atasnya menjadi perdebatan. Seluruh Gereja Ortodoks Timur menuntut suatu totalitas ajaran umum untuk mengakui tahbisan dan dalam cara pandang yang lebih luas ini terdapat kerancuan dalam ajaran Anglikan dan penerapannya yang dianggap bermasalah. Dengan demikian, pada praktiknya, seorang klerus Anglikan yang berkonversi atau masuk dalam Ortodoksi diperlakukan seolah-olah mereka belum pernah ditahbiskan dan harus ditahbiskan dalam komuni Ortodoks Timur seperti layaknya seseorang dari kaum awam.[72]

Pandangan Katolik Roma atas tahbisan Anglikan

sunting
 
Paus Leo XIII menolak argumentasi Anglikan atas suksesi apostolik mereka dalam bulla Apostolicae curae".

Pada tahun 1896, Paus Leo XIII menyatakan dalam bulla Apostolicae curae mengenai keyakinan Gereja Katolik secara khusus bahwa konsekrasi Gereja Anglikan "mutlak batal (null) dan sama sekali tidak berlaku (void)" karena berbagai perubahan yang mereka buat pada ritus konsekrasi sepanjang abad ke-16, di bawah pemerintahan Edward VI, dengan demikian menyangkal partisipasi Anglikan dalam suksesi apostolik. Klerus Anglikan, sejak saat itu, ditahbiskan sebagai imam Katolik pada saat mereka masuk ke dalam Gereja Katolik.[67]:105

Sebuah jawaban dari Uskup Agung Canterbury dan York (1896) dikeluarkan untuk menanggapi argumentasi Paus Leo XIII, yakni Saepius officio.[73] Mereka berpendapat bahwa seandainya tahbisan Anglikan tidak valid, maka tahbisan Roma juga demikian karena Paus mendasarkan kasusnya pada kenyataan perihal ordinal Anglikan yang digunakan tidak mengandung elemen-elemen esensial tertentu tapi hal ini juga tidak ditemukan dalam ritus-ritus Roma awal.[73] Tetapi kalangan Katolik beranggapan bahwa argumentasi ini tidak memperhitungkan intensi sakramental dalam memvalidasi Tahbisan Suci. Dengan kata lain, Katolik meyakini bahwa forma atau kata-kata konsekrasi dibahasakan ulang sehingga membatalkan tahbisan tersebut sebab intensi di balik perubahan dalam ritus tersebut merupakan suatu perubahan mendasar dalam pemahaman Anglikan akan imamat.[74]

Merupakan doktrin Katolik Roma bahwa ajaran dari Apostolicae curae adalah suatu kebenaran yang harus "dipegang secara definitif", sebagaimana dinyatakan dalam sebuah komentar oleh Kongregasi Doktrin Iman.[75] Kardinal Basil Hume menjelaskan mengenai penahbisan bersyarat atas Graham Leonard, seorang mantan uskup Anglikan dari Keuskupan London, ke dalam keimamatan: "Seraya menyatakan kembali dengan tegas penilaian dari Apostolicae Curae bahwa tahbisan Anglikan tidak valid, Gereja Katolik memperhitungkan keterlibatan, dalam beberapa tahbisan episkopal Anglikan, para uskup Gereja Katolik Lama dari Serikat Utrecht yang ditahbiskan secara valid. Dalam kasus-kasus tertentu dan mungkin jarang terjadi, otoritas di Roma dapat menilai kemungkinan adanya suatu 'keraguan bijaksana' (prudent doubt) mengenai ketidakabsahan tahbisan imamat yang diterima oleh seorang pelayan Anglikan individual yang ditahbiskan dalam garis suksesi ini."[76] Pada saat yang sama, ia menyatakan: "Karena Gereja harus tidak dalam keraguan atas validitas sakramen yang dirayakan bagi komunitas Katolik, Gereja perlu meminta semua orang yang dipilih untuk menjalankan imamat dalam Gereja Katolik dengan menerima tahbisan sakramental demi menggenapi pelayanan mereka dan diintegrasikan ke dalam suksesi apostolik."[76] Sejak Apostolicae curae dikeluarkan, banyak yurisdiksi Anglikan yang merevisi ordinal mereka, membuatnya lebih sesuai dengan Gereja perdana.

Timothy Dufort, dalam tulisannya di The Tablet tahun 1982, berpendapat bahwa pada tahun 1969 suksesi apostolik semua uskup Anglikan telah sepenuhnya diakui oleh Roma,[77] karena sejak tahun 1930-an para uskup Katolik Lama (yang mana dikatakan tahbisan mereka diakui validitasnya oleh Roma)[butuh rujukan] telah bertidak sebagai ko-konsekrator dalam penahbisan para uskup Anglikan. Pandangan ini tidak diterima oleh Takhta Suci, dan permasalahannya menjadi semakin rumit oleh praktik penahbisan perempuan dalam Anglikanisme.[78] Dalam sebuah dokumen yang diterbitkan bulan Juli 1998, Kongregasi Doktrin Iman menyatakan bahwa deklarasi Gereja Katolik atas ketidakabsahan penahbisan Anglikan merupakan suatu ajaran yang telah dikemukakan secara definitif oleh Gereja dan karenanya setiap umat Katolik perlu memberikan "persetujuan yang definitif dan tegas" akan hal ini.[75]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c (Inggris) F.L. Cross, E.A. Livingstone (editors), The Oxford Dictionary of the Christian Church (Oxford University Press 2005 ISBN 978-0-19-280290-3), article "apostolic succession"
  2. ^ a b (Inggris) Justo L. González, ''Essential Theological Terms'' (Westminster John Knox Press 2005 ISBN 978-0-664-22810-1), p. 15, Google.com, diakses tanggal 18 July 2013 
  3. ^ a b c (Inggris) "The Sacrament of Order in the Sacramental Structure of the Church with Particular Reference to the Importance of Apostolic Succession for the Santification and Unity of the People of God", Orthodox - Roman Catholic International Dialogue, 1988 
  4. ^ (Inggris) Adam, Karl. The Spirit of Catholicism Doubleday & C°, Inc: 1957 p. 20
  5. ^ (Inggris) Guidry, Christopher R.; Crossing, Peter F. (1 January 2001). World Christian Trends, AD 30-AD 2200: Interpreting the Annual Christian Megacensus. William Carey Library. hlm. 307. ISBN 9780878086085. 
  6. ^ (Inggris) Apostolic succession. Encyclopædia Britannica. 
  7. ^ (Inggris) ""Apostolic Succession" in ''The Columbia Encyclopedia'', Sixth Edition (Columbia University Press 2004)". Questia.com. Diakses tanggal 18 July 2013. 
  8. ^ (Inggris) Jay, Eric G. The Church John Knox Press: 1980, p.317f
  9. ^ a b (Inggris) Donald S. Armentrout, Robert Boak Slocum An Episcopal Dictionary of the Church (Church Publishing 1999 ISBN 9780898692112), p. 25
  10. ^ (Inggris) Ramsey, Arthur Michael. The Gospel and the Catholic Church (translated from the Spanish edition published in the Dominican Republic: 1964, pp.134ff)
  11. ^ (Inggris) Baptism, Eucharist and Ministry, 35, 36[pranala nonaktif permanen]
  12. ^ Baptism, Eucharist and Ministry, 38
  13. ^ (Inggris) Jay, Eric G. The Church. John Knox press: 1980, p.229
  14. ^ Pada dasarnya Lumen Gentium, 19–21
  15. ^ (Inggris) Wells, David F. Revolution in Rome, Tyndale Press: 1973, p.36
  16. ^ a b c (Inggris) Catholic Teaching on Apostolic Succession, International Theological Commission, 1973 
  17. ^ (Inggris) St. Ignatius of Antioch, "The Epistle of Ignatius to the Smyrnaeans", dalam Alexander Roberts, James Donaldson, A. Cleveland Coxe, Ante-Nicene Fathers, Vol. 1 (edisi ke-1885), Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co. (retrieved from New Advent) 
  18. ^ (Inggris) Kelly, J.N.D (1965), Early Christian Doctrines, London: A&C Black, hlm. 37 
  19. ^ (Inggris) Walter A. Elwell, ''Evangelical Dictionary of Theology'' (Baker Academic 2001 ISBN 978-0-8010-2075-9), p. 89, Google.com, diakses tanggal 18 July 2013 
  20. ^ (Inggris) Merrill F. Unger, Roland Kenneth Harrison (editors), ''The New Unger's Bible Dictionary'' (Moody 1988 ISBN 978-0-8024-9066-7), article "Apostle", Google.com, diakses tanggal 18 July 2013 
  21. ^ (Inggris) Ramsey, Arthur Michael. From Gore to Temple. Longmans (1959)
  22. ^ (Inggris) The Prescription against Heretics: Chapter 32, Newadvent.org, diakses tanggal 26 July 2011 
  23. ^ (Inggris) Jay, Eric G. The Church, John Knox Press (1978). p.31ff citing Ad Cor. xliiff
  24. ^ a b (Inggris) Woollcombe, K.J. "The Ministry and the Order of the Church in the Works of the Fathers" in The Historic Episcopate. Kenneth M. Carey(ed) Dacre Press (1954) p.31f
  25. ^ (Inggris) Bernard B. Prusak, ''The Church Unfinished''(Paulist Press 2004 ISBN 978-0-8091-4286-6), p. 125, Google.com, diakses tanggal 18 July 2013 
  26. ^ (Inggris) Bunson, Matthew; Bunson, Margaret; Bunson, Stephen (1998), Our Sunday Visitor's Encyclopedia of Saints, Huntington, Indiana: Our Sunday Visitor Publishing Division, hlm. 401, ISBN 0-87973-588-0 
  27. ^ (Inggris) Otto Friedrich August Meinardus (2002), Two Thousand Years of Coptic Christianity, American Univ in Cairo Press, hlm. 29, ISBN 9789774247576 
  28. ^ (Inggris) James F. Puglisi (1996), The Process of Admission to Ordained Ministry, Liturgical Press, hlm. 20, ISBN 9780814661284 
  29. ^ a b (Inggris) Jay, Eric G. The Church, John Knox Press (1978). p.47f citing Adv. Haer. III.ii.2 and IV.xxvi.2 respectively
  30. ^ (Inggris) Jay, Eric G. The Church, John Knox Press (1978). p.51 citing De Praescr. xx,xxi
  31. ^ (Inggris) Jay, Eric G. The Church, John Knox Press (1978). p.67f
  32. ^ (Inggris) Woollcombe, K.J. "The Ministry and the Order of the Church in the Works of the Fathers" in The Historic Episcopate Kenneth M. Carey(ed) Dacre Press (1954) pp. 56–7
  33. ^ (Inggris) Oskar Sommel, Rudolf Stählin Christliche Religion, Frankfurt 1960, p.19
  34. ^ a b (Inggris) Everett Ferguson (1998). Encyclopedia of Early Christianity Volume 1. Taylor & Francis. ISBN 9780815333197. 
  35. ^ a b (Inggris) Raymond E. Brown (2003). 101 Questions and Answers on the Bible. Paulist Press. hlm. 119–122. ISBN 9780809142514. 
  36. ^ (Inggris) Thomas, Griffith. The Principles of Theology. Church Book Room Press:1963, p.357
  37. ^ (Inggris) Ramsey, Arthur Michael. The Gospel and the Catholic Church (translated from the Spanish edition published in the Dominican Republic: 1964, p.136)
  38. ^ a b c (Inggris) Barrett, C.K. Church, Ministry and Sacraments in the New Testament Paternoster Press: 1993
  39. ^ a b c (Inggris) Litton, E.A. Introduction to Dogmatic Theology. James Clarke & C°: 1960, p.388-389
  40. ^ Dikutip oleh Max Thurian dari sebuah laporan Sidang Umum Gereja Skotlandia tahun 1911
  41. ^ a b (Inggris) Thurian, Max. Priesthood & Ministry. Paula Clifford (tr) Mowbrays: 1983, pp.167f
  42. ^ a b (Inggris) Walter Kasper (2009). Harvesting the Fruits: Basic Aspects of Christian Faith in Ecumenical Dialogue. Bloomsbury Publishing. ISBN 9781441136817. 
  43. ^ (Inggris) Apostolicity Catholic Encyclopedia article
  44. ^ (Inggris) Ramsey, Arthur Michael. From Gore to Temple Longmans: 1960, pp. 119–24
  45. ^ (Inggris) "Some Questions Regarding Certain Aspects of the Doctrine on the Church", published 10 July 2007.
  46. ^ (Inggris) Greek Orthodox Church of Alexandria Official Website, Greekorthodox-alexandria.org, diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-26, diakses tanggal 26 July 2011 
  47. ^ (Inggris) website of the Coptic Orthodox Church Network, Copticchurch.net, diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-06-10, diakses tanggal 26 July 2011 
  48. ^ (Inggris) Syriac Orthodox Resources, sor.cua.edu, diakses tanggal 18 August 2011 
  49. ^ (Inggris) "Eusebius Pamphilius: Church History, Life of Constantine, Oration in Praise of Constantine" at the Christian Classics Ethereal Library, Ccel.org, 13 July 2005, diakses tanggal 26 July 2011 
  50. ^ (Inggris) Official Website of the Armenian Church, 66.208.37.78, diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-05, diakses tanggal 26 July 2011 
  51. ^ (Inggris) Syro Malabar Catholic Church, Smcim.org, diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-23, diakses tanggal 26 July 2011 
  52. ^ (Inggris) Malankara Orthodox Syrian Church, malankaraorthodoxchurch.in, diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-21, diakses tanggal 18 August 2011 
  53. ^ (Inggris) Ethiopian Orthodox Official website, Ethiopianorthodox.org, diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-06-11, diakses tanggal 26 July 2011 
  54. ^ (Inggris) Cyprian Orthodox Church Official Website, Churchofcyprus.org.cy, diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-23, diakses tanggal 26 July 2011 
  55. ^ (Inggris) History of the Russian Church, Russian-crafts.com, diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-15, diakses tanggal 26 July 2011 
  56. ^ (Inggris) Adversus Haereses (Book IV, Chapter 26), Newadvent.org, diakses tanggal 26 July 2011 
  57. ^ St. Augustine; Letters 53:1:2 [A.D. 412]
  58. ^ (Inggris) Cyprian of Carthage (251), "The Unity of the Catholic Church 4; first edition", Peter's Successors, Catholic Answers, diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-20, diakses tanggal 2015-09-21 
  59. ^ (Inggris) Catechism of the Catholic Church, #861–862, Old.usccb.org, 14 December 1975, diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-29, diakses tanggal 18 July 2013 
  60. ^ (Inggris) Congregation for the Doctrine of the Faith, ''Responses to some questions regarding certain aspects of the doctrine of the Church'', Vatican.va, diakses tanggal 18 July 2013 
  61. ^ Meyendorff J., Byzantine Theology
  62. ^ a b (Inggris) Cleenewerck, Laurent. His Broken Body. Washington, DC: EUC Press, 2007 [rujukan terbitan sendiri]
  63. ^ (Inggris) Internet Archive Wayback Machine, Web.archive.org, 23 July 2011, diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-23, diakses tanggal 28 September 2012 
  64. ^ (Inggris) Jay, Eric G. The Church John Knox Press(1980), p.291 quoting the Anglican-Methodist Unity Commission Report 1968 p.37
  65. ^ (Inggris) Brian Reid (26 August 1998), The Anglican Domain: Church History, Anglican.org, diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-25, diakses tanggal 26 July 2011 
  66. ^ (Inggris) Document Library, Cofe.anglican.org, 11 July 2011, diakses tanggal 26 July 2011 
  67. ^ a b c (Inggris) Neill, Stephen. Anglicanism Pelican (1960)
  68. ^ (Inggris) Archer, Stanley (1993), "Hooker on Apostolic Succession: The Two Voices", The Sixteenth Century Journal, 24 (1): 67–74, JSTOR 2541798 
  69. ^ a b (Inggris) Norris, Richard A. "Episcopacy" in The Study of Anglicanism Sykes, Stephen & Booty, John (eds) SPCK(1988)
  70. ^ (Inggris) Webster, John B. "Ministry and Priesthood" in The Study of Anglicanism Sykes, Stephen & Booty, John (eds) SPCK(1988), p.305
  71. ^ (Inggris) The Ecumenical Patriarch on Anglican Orders Diarsipkan 2009-10-23 di Wayback Machine.
  72. ^ (Inggris) The Orthodox Web Site for information about the faith, life and worship of the Orthodox Church Diarsipkan 2007-11-26 di Wayback Machine.
  73. ^ a b (Inggris) [1] Diarsipkan 2009-08-07 di Wayback Machine.
  74. ^ (Inggris) Franklin, R. William. "Introduction: The Opening of the Vatican Archives and the ARCIC Process" in Franklin, R. William (ed)Anglican orders Mowbray:1996
  75. ^ a b (Inggris) Congregation for the Doctrine of the Faith, "Doctrinal Commentary on the Concluding Formula of the Professio fidei", L'Osservatore Romano Weekly Edition in English (edisi ke-15 July 1998), EWTN, hlm. 3-4, diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-04-29, diakses tanggal 2015-09-23 
  76. ^ a b "Statement of Cardinal Hume on the Ordination of Anglican Bishop Leonard as a Roman Catholic Priest". The Catholic Resource Network. Trinity Communications. 1994. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-24. Diakses tanggal 22 February 2015. 
  77. ^ (Inggris) Timothy Dufort, The Tablet, 29 May 1982, pp. 536–538.
  78. ^ (Inggris) R. William Franklin(ed). Anglican Orders. Mowbray 1996 pp.72,73(note 11), 104

Pranala luar

sunting