Suku Kamoro

suku bangsa di Indonesia

Suku Kamoro atau Mimika Wee[2] adalah kelompok etnis yang tinggal di wilayah pesisir selatan Papua, Kabupaten Mimika, Papua Tengah. Luas daerah tersebut sekitar 250 km, yang membentang dari Sungai Otakwa di sisi timur hingga mendekati Potowai Buru di sisi barat. Sebagai masyarakat semi-nomaden, orang Kamoro tinggal di tiga ekosistem, yaitu hutan hujan tropis, rawa-rawa bakau dan daerah muara yang kaya akan sumber makanan.[3]

Suku Kamoro
Mimika Wee
ukiran tradisional suku Kamoro
Jumlah populasi
28.645 (2010; termasuk Suku Sempan, Suku Umari, dll)[1]
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia (Papua Tengah)
Bahasa
Kamoro, Indonesia
Kelompok etnik terkait
Asmat, Sempan, Amungme
Suku Kamoro dengan pakaian tradisional.

Etimologi sunting

Nama Kamoro berasal dari kata kamoroaiku yang berarti orang hidup, nama Kamoro mulai populer saat tahun 1996 disaat Freeport Indonesia mulai membagikan dana 1 persen melalui Yayasan Kamoro. Nama ini berdasarkan kepercayaan rakyat tentang peperangan Kamoroaiku dengan Bee (setan) yang dimenangkan Kamoroaiku (orang hidup).[2]

Sedangkan nama suku Mimika diambil karena Mimika memiliki daerah aliran sungai yang besar dan memiliki arus. Sungai tersebut bernama Mimiaika. Mimi artinya air dan Aika artinya arus sehingga Mimiaika adalah Arus dari gunung. Nama sungai ini digunakan pertama kali oleh Portugis untuk menyebut suku yang tinggal di daerah tersebut.[2]

Populasi sunting

Pada tahun 1986 jumlah penduduk distrik Mimika Timur adalah 16.305 jiwa dan distrik Mimika Barat 6.743 jiwa, yang tersebar di antara 75.766 jiwa penduduk Kabupaten Fakfak. Pada tahun 1990 penduduk kabupaten ini telah menjadi 88.488 jiwa. Jumlah orang Kamoro sendiri diperkirakan sekitar 8.000 jiwa, sekaligus penutur bahasa yang disebut bahasa Kamoro. Suku Kamoro kaya akan ragam budaya, antara lain kegiatan menganyam oleh kaum wanita, mengukir oleh kaum pria, nyanyian, tarian, cerita legenda dan ritual ‘karapao’ yang masih diselenggarakan hingga saat ini.

Keterampilan sunting

 
Pembuatan patung Mbitoro.

Orang Kamoro dikenal sebagai masyarakat yang memiliki keterampilan dalam membuat seni ukir atau patung, seperti yang pernah dikemukakan oleh J.Teurupun dalam Seni Ukir Suku Kamoro (1990). Hasil karya mereka terkesan lebih abstrak dibandingkan dengan karya-karya orang Asmat. Ekspresi seni dituangkan pada tongkat (ote-kapa) dengan motif sirip ikan (eraka waiti) dan latau tulang sayap kelelawar (tako-ema). Ini berarti bahwa pemilik tongkat yang membuat motif itu mempercayai bahwa mereka berasal dari ikan atau kelelawar. Orang yang tidak bisa mengukir dapat memesan motif tertentu sesuai dengan asal usulnya kepada seorang pengukir. Motif lain adalah "ruas tulang belakang" (uema) yang bisa diartikan tulang belakang manusia, ikan, atau unggas. Orang Kamoro berpendapat bahwa ruas tulang belakag itu merupakan lambang kehidupan. Motif awan putih berarak (uturu tani) yang dapat menimbulkan macam-macam imajinasi, baik pada diri pengukir, pemilik atau siapa pun yang melihatnya. Imajinasi tersebut bisa menyangkut kerinduan pada kampung halaman, kekasih yang sudah tiada, ingatan terhadap peristiwa gempa bumi, dan lain-lain.

Dalam budaya populer sunting

Pada tahun 2010 program Lost in the tribal di saluran Cuatro España, memilih suku ini untuk melaksanakan musim ke-2.[4]

Referensi sunting

  1. ^ Ananta, A.; Arifin, E.N.; Hasbullah, M.S.; Handayani, N.B.; Pramono, A. (2015). Demography of Indonesia's Ethnicity. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 122. ISBN 978-981-4519-87-8. Diakses tanggal 2023-10-23. 
  2. ^ a b c "Menanti Harapan Cerah Setelah Nama Kamoro Menjadi Mimika Wee". seputarpapua.com. 2022-04-23. Diakses tanggal 2023-02-14. 
  3. ^ Melalatoa, M.Junus (1995). Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 
  4. ^ "Perdidos en la tribu". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-02-11. Diakses tanggal 2023-03-26. 

Pranala luar sunting