Suku Moile

suku bangsa di Indonesia
(Dialihkan dari Suku Moire)

Suku Moile adalah sub-suku Arfak yang mendiami Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Suku ini terbagi menjadi marga, Wonggor, Ullo, Sayori, Mandacan, Indow, Ayok, Pungwam, dan Tibiay. Mereka umumnya mendiami bagian barat Pegunungan Arfak, tepatnya di Distrik Minyambouw, Kabupaten Manokwari.

Moile
Daerah dengan populasi signifikan
Bahasa
Moile
Agama
Kekristenan
Kelompok etnik terkait
Arfak (Hatam • Meyah • Sougb)

Sistem yang dianut dalam masyarakat Moile adalah patrinial yang berarti pertalian keturunan berdasarkan garis ayah atau laki-laki. Hal itu dapat dilihat pada pembagian warisan dan pemberian nama, fam/marga pada keturunannya. Hubungan kekerabatan mereka yang cukup dekat juga turut membentuk terjalinnya kerja sama yang baik dalam kehidupan kemasyarakatan melalui sistem gotong-royong dalam hal membuka lahan perkebunan, membuat rumah, dan upacara-upacara adat.

Sejarah

sunting

Suku Moile adalah sub-suku dari suku Arfak yang merupakan penduduk asli di pedalaman Kabupaten Manokwari. Beberapa sumber lisan masyarakat setempat mengungkapkan bahwa suku Moile berasal dari dua orang laki-laki bujang bernama Ndin dan Ndifan yang merupakan penduduk asli daerah Anggi yang juga daerah tempat tinggal suku Sougb. Ndin kemudian menikah dengan seorang perempuan yang berasal dari daerah pantai bernama Wonggor. Pernikahan keduanya kemudian melahirkan seorang anak laki-laki bernama Brim. Keturunan Brim kemudian dikenal sebagai suku Moile yang bermarga Wonggor. Sementara Ndfan menikah dengan seorang perempuan dari Minyambouw yang bernama Mogot dan melahirkan seorang anak bernama Mbrdin. Keturunannya kemudian juga dikenal sebagai orang-orang Moile yang bermarga Wonggor. Dengan demikian, sebagian orang Moile beranggapan bahwa mereka adalah keturunan Sougb dan orang pantai bermarga Wonggor.[1]

Sumber lisan dari penduduk setempat juga menceritakan bahwa Wonggor berasal dari buaya air laut. Ada beberapa marga lain yang dimiliki oleh penduduk suku Moile dan Meyah, yaitu Ullo, Ayok, Indow, Tibiay, Pungwam, Bikiouw, dan Mandacan. Ullo berasal dari salah satu sungai kecil hulu, yaitu sungai Wariori. Indow, Tibiay, dan Mandacan berasal dari Anjing Serce, juga di hulu sungai Wariori, marga-marga seperti Sayori, Punwam, dan Bikiouw berasal dari marga Wonggor. Sehingga, terbentuklah beberapa marga yang dimiliki suku Moile dan Meyah seperti Wonggor, Ullo, Sayori, Mandacan, Indow, Ayok, Pungwam, dan Tibiay.[1]

Sistem pemerintahan

sunting

Adat istiadat suku Moile masih sangat kuat dan kental sejak nenek moyang mereka mendiami tanah Papua hingga sekarang. Mereka hidup dalam sebuah sistem kekerabatan. Sementara itu, sistem pemerintahan adat suku Moile tidak mengenal istilah "kepala suku besar". Mereka hanya mengenal pemimpin suku dengan sebutan "kinam". Beberapa pola kepemimpinan masyarakat adat di sana antara lain:

  1. "Andigpoi" yang disebut sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di dalam masyarakat. Mereka berwenang membuat kebijakan-kebijakan, mengambil keputusan, dan bertanggung jawab atas risiko yang timbul dari keputusan tersebut.
  2. "Pinjoindig" yang disebut sebagai perpanjangan tangan dari andigpoi yang ruang lingkup kewenangannya tidak melebihi andigpoi.
  3. "Pinjoipilei" adalah pelaksanaan pemerintah secara langsung di masyarakat.
  4. "Nikei" adalah hakim yang membantu andigpoi dalam menyelesaikan masalah sosial di masyarakat, seperti membayar denda dan sengketa adat lainnya. Sementara itu, jabatan andigpoi dalam kinam diduduki oleh seseorang yang berpengaruh sehingga keputusan yang diambil dalam suatu perkara dapat diwakili semua andigpoi. Sementara keanggotaan nikei dipilih dari andigpoi atau pinjoindiig dengan beberapa kriteria, seperti memiliki sikap adil (tidak memihak) dan berpengalaman, bijaksana dan tidak emosional dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat.

Aktivitas utama

sunting

Suku Moile merupakan keturunan uku Arfak yang hidup secara tradisional di pedalaman Kabupaten Manokwari. Mereka sangat bergantung pada hutan dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Bagi mereka, hutan adalah sumber makanan, obat-obatan, bahan bangunan (rumah/kandang), dan memiliki nilai-nilai mistik. Dengan demikian, hutan memiliki nilai-nilai sosial dan budaya dalam kehidupan mereka.

Penduduk setempat memanfaatkan hutan untuk empat kegiatan utama, yaitu berladang, berburu, meramu, dan memanfaatkan kayu. Kegiatan tersebut telah mereka lakukan selama turun-temurun dalam kurun waktu yang sangat lama. Dengan kata lain, aktivitas pemanfaatan hutan telah diwariskan oleh nenek moyang dari generasi ke generasi. Bahkan, aktivitas yang sama juga telah dilakukan selama berabad-abad oleh penduduk yang ada di sekitar kawasan hutan dan perairan di berbagai belahan dunia seperti Aborigin di Australia, Indian di Amerika, Dayak di Kalimantan, dan penduduk asli Papua itu sendiri.[2]

Kearifan lokal

sunting

Cara mengelola hutan yang telah berusia tua tersebut kemudian melahirkan sebuah kearifan lokal tersendiri. Kearifan tersebut telah menyatu dalam kehidupan dan kebudayaan mereka, terus terpelihara bersama aturan-aturan yang dikenal sebagai adat istiadat, norma masyarakat, dan berbagai pantangan yang pada dasarnya untuk menjaga keselarasan agar hutan tetap lestari. Suku Moile hingga sekarang masih memelihara kearifan lokal tersebut dan menunjukan keberhasilannya untuk hidup bersama secara selaras dengan hutan. Aturan adat dalam mengelola hutan tersebut dikenal dengan istilah ig ya ser hanjob (dalam bahasa Hattam dan Moile) atau mastogow hanjob (dalam bahasa Sougb). Ig ya dalam bahasa Hattam berarti 'berdiri'; ser artinya 'menjaga'; hanjob artinya 'batas'. Secara harfiah, ig ya ser hanjob berarti menjaga batas namun bukan hanya bermakna sebagai suatu kawasan, tetapi mencakup segala aspek kehidupan masyarakat Arfak. Secara filisofis, nilai-nilai tersebut mengandung makna bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini (termasuk manusia) memiliki batas. Apabila batas tersebut dilanggar, maka akan terjadi bencana yang sangat besar. Hakekat kosmologi Arfak adalah segala sesuatu di alam semesta bukanlah tak terbatas (ad ifnitum). Sebagai sebuh nilai, ig ya ser hanjob adalah landasan hidup sehari-hari mereka.[3]

Kearifan lokal tersebut menegaskan bahwa aspek biofisik yang bertumpu pada ekonomi dan sosial budaya menjadi pijakan kegiatan berburu, berladang, meramu, dan pemanfaatan kayu dalam kehidupan mereka. Adat istiadat suku Moile secara prinsip mengatur agar pemanfaatan hutan tidak dilakukan secara eksploitatif. Mereka berpegangan pada tekad bahwa pemanfaatan sumber daya hutan untuk kelangsungan hidup dengan tetap memperhatikan kelestarian. Sebagai perwujudannya, kegiatan berladang mereka lakukan di atas lahan pertanian yang sudah ditanami tanaman. Berburu (ntteisi) mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani (konsumsi) dengan tidak mengomersialkannya. Meramu juga mereka lakukan untuk mengumpulkan makanan dari dalam hutan dan tumbuhan obat untuk kesehatan. Sementara itu, dari aktivitas pemanfaatan kayu mereka lakukan untuk memenuhi bahan bangunan, peralatan berladang, peralatan berburu, dan peralatan rumah tangga.[3]

Selain ig ya ser hanjob, suku Moile juga mengenal budaya henjabti yang merupakan kegiatan membangunkan seluruh anggota keluarga menjelang matahari terbit. Mereka akan diingatkan kembali tentang idealitas hubungan antarmanusia dan bagaimana menjaga harmoni manusia dengan dalam. Henjabti sejatinya adalah sebuah tradisi lisan yang di dalamnya juga diajarkan nilai-nilai ig ya ser hanjob. Prinsip-prinsip tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan alam, melainkan juga hubungan sosial sesama anggota keluarga dan masyarakat. Bahkan, sejak masih kecil, anak-anak suku Moile sudah mulai diajarkan berlaku jujur, adil, dan bijaksana. Semua ada batasnya dan setiap orang diharuskan menjaga batas tersebut untuk memenuhi keberlangsungan hidupnya.

Pengelolaan hutan

sunting

Menurut Hans Mandacan Diarsipkan 2017-11-07 di Wayback Machine. (Diarsipkan 2017-11-07 di Wayback Machine.), pembagian zona atau kawasan hutan suku Moile dibagi menjadi beberapa bagian. Pembagian tersebut adalah "bahamti" yang merupakan hutan rimba yang belum dibuka baik untuk lahan berkebun maupun berladang; "tumti" merupakan kawasan hutan yang berada di puncak gunung yang sangat terjal dan curam sehingga sulit diakses masyarakat. Kedua zona tersebut tidak boleh diakses dan dimanfaatkan hasil hutannya karena dianggap sebagai zona kawasan hutan penyangga. Sementara "nimahamti" disebut sebagai zona kawasan hutan yang dapat diakses untuk mengambil hasil hutan kayu namun dalam jumlah yang terbatas, yakni zona kawasan hutan yang telah dibuka dna dijadikan sebagai kebun atau bekas kebun. Nimahamti merupakan kawasan yang sering difungsikan sebagai kawasan yang dapat diakses dan dikelola oleh masyarakat.[4]

Dalam pelaksanaannya, pengelolaan hutan adat suku Moile mengalami dinamika tersendiri. Pelaksanaan kegiatan pengelolaan dan pengembangan hutan yang dilakukan oleh pemerintah tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat. Pemerintah daerah dalam hal ini adalah dinas kehutanan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan tidak melibatkan masyarakat, terutama dalam tahap perencanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Pemerintah daerah lebih memilih untuk menyerahkan pelaksanaan tersebut kepada pihak ketiga melalui perjanjian kontrak.[5]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Asmuruf, Mervin Arison. 2016. Strategi Rehabilitasi Hutan dan Lahan berdasarkan Kearifan Lokal Suku Moile dan Meyah di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Tesis Program S2 Ilmu Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Lihat melalui http://lib.ugm.ac.id
  2. ^ John, R. 1997. Common Forest Tree of Irian Jaya Papua - Indonesia. Royal Botanical Garden, Kew. Inggris
  3. ^ a b Baharinawati, Hastanti dan Ima Yeny. 2009. Strategi Pengelolaan Cagar Alam Pegunungan Arfak meurt Kearifan Lokal Masyarakat Arrak di Manokwari Papua Barat. Info Sosial Ekonomi Vol. 9 1 Maret th. 2009, 19-36
  4. ^ Departemen Kehutanan. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta
  5. ^ Kartasasmita, G. (1996). Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: CIDES