Suku Waropen

suku bangsa di Indonesia
(Dialihkan dari Suku Waruri)

Suku Waropen adalah kelompok etnis yang mendiami wilayah pesisir di utara Papua, khususnya di Kabupaten Waropen dan beberapa wilayah disekitarnya[2] dan juga di Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, dan disebut Waruri. Masyarakat suku Waropen berkomunikasi menggunakan bahasa Waropen sebagai bahasa asli mereka, dan bahasa Indonesia serta Melayu Papua sebagai lingua franca didaerahnya.[3]

Waropen
Wonti[1], Waruri, Waropa
Orang-orang Waropen Kai pada zaman kolonial Belanda.
Jumlah populasi
29.000[1]
Daerah dengan populasi signifikan
Kabupaten Waropen
Bahasa
Waropen
Melayu Papua (lingua franca)
Agama
Kekristenan (mayoritas), Islam (minoritas)[1]
Kelompok etnik terkait
Serui • Biak • Wamesa

Sejarah

sunting

Penemuan oleh peneliti Belanda

sunting

Jacob Weyland, seorang peneliti Belanda pertama kali menyebutkan kata "Aropen",[4] disebutkan pertama kali oleh Jacob Weyland pada tahun 1705. Saat itu Weyland berlayar ke Aropen atas perintah pemerintah Belanda dengan kapal layar Geelvink, Kraanvogel, dan Nova Guinea.[2] Kemudian Weyland turun dari kapal layar dan mencapai suatu pemukiman yang disebut "Erropang" (Aropen) pada 30 Mei 1705.[4] Saat itu penduduk di sana takut dan merasa was-was kepada orang berkulit putih.

Penduduk asli sendiri menyebutnya dengan kata "Waropen" yang artinya 'orang yang berasal dari pedalaman' yaitu dari Gunung Tonater di Wamusopedai.[4] Hal ini bisa dibenarkan, karena ada hubungan dengan kepercayaan yang hidup di dalam masyarakat hukum adat Waropen. Artinya bahwa orang Waropen adalah orang yang bermigrasi ke wilayah pantai akibat adanya air terjun yang deras, sehingga orang-orang Waropen terhanyut sampai ke Waropen Ambumi dan Roon di Kabupaten Nabire dan Kabupaten Manokwari di sebelah barat, dan Waropen Ronari disebelah timur. Sedangkan yang lainnya tinggal di pesisir yakni Waropen Kai.[2]

Antropologi asal Belanda Held, membagi wilayah Waropen sesuai wilayah adat yang tercermin dalam perbedaan dalam menggunakan bahasa sehari-hari. Wilayah itu antara lain, Waropen Ambumi, Waropen Kai, dan Waropen Ronari. Masyarakat Waropen Ambumi terbagi dari dua kelompok wilayah kabupaten Nabire masing-masing Kampung Napan, Weinami, Masipawe, Makimi, Moor, Mambor, dan Ambumi. Selain itu ada kelompok yang masuk wilayah Kabupaten Manokwari dan mendiami kampung-kampung Yendeman, Saybes, War, Kayob, dan Menarbu. Sedangkan masyarakat Waropen Kai mendiami kampung-kampung Semanui, Wapoga, Desawa, Waren, dan kampung-kampung Paradoi, Sanggei, Mambui, dan Nubuai yang tergabung dalam satu pemukiman yaitu Urei Faisei, Risei Sayati, Wonti, Bokaro, dan Koweda.[2] Kelompok inilah yang menurut penelitian dari Vesibe Rhibka Assa dan Desy Polla Usmany dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktur Jenderal Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya Jayapura Papua 2015, dalam buku Sistem Kepemimpinan Sera adalah orang-orang asli Waropen.[2]

Wilayah Kabupaten Waropen

sunting

Wilayah yang dihuni oleh suku Waropen ini kemudian secara resmi masuk kedalam wilayah administratif Kabupaten Waropen di Provinsi Papua yang terdiri dari daerah distrik Waropen Atas, distrik Masirei, dan distrik Waropen Bawah.[2]

Kini wilayah Waropen sudah berdiri menjadi salah satu kabupaten di Provinsi Papua. Ibukota kabupaten ini terletak di Botawa. Kabupaten ini dibentuk sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Yapen Waropen pada sekitar tahun 2003.[2]

Bahasa

sunting

Waropen adalah bahasa Austronesia yang digunakan di Teluk Geelvink, Papua. Bahasa ini terkait erat dengan bahasa Yapen. Dialeknya adalah Waropen Kai, Napan, dan Ambumi.

Di Provinsi Papua, bahasa ini dituturkan di Kabupaten Mamberamo Raya, dan Kabupaten Waropen. Dialek Ambumi yang disebut juga Waruri dituturkan di bagian selatan Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat.[5]

Struktur kepemimpinan

sunting

Masyarakat Waropen mengenal struktur kepemimpinan tradisional yang dikenal dalam sistem kepemimpinan Sera. Bahkan ada terdapat perbedaan antara gelar Sera dan Serabawah yang perlu mendapat perhatian mendalam.[2]

Doktor antropolog dari Universitas Leiden Belanda J.R. Mansoben dalam disertasinya menyebutkan, sistem kepemimpinan tradisional pada orang Waropen, pemimpin penting terdapat pada tingkat "da" atau klan, tidak pada tingkat "nu" atau kampung. Sedangkan "nu" terbentuk dari sejumlah "da", secara fisik letak rumahnya antara satu da dengan da yang lain. Tetapi bisa juga terdapat pada lokasi yang sama di sungai.[2]

Pada zaman dahulu saat penangkapan budak-budak, sejumlah da atau pemimpin klan bergabung dalam lokasi pemukiman tertentu guna membentuk kekuatan bersama, saat berperang maupun menjaga keamanan bersama. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari da tidak bergantung satu sama lainnya. Mereka akan bersatu kalau terjadi perang ataupun ekspedisi penangkapan budak. Pemimpin dari kesatuan da disebut Sera, sedangkan Sera berarti pemimpin, kepala atau yang dipertuan. Jika seorang Sera berasal dari klan tua di antara saudara-saudaranya dan dari cabang klan tertua, sehingga disebut Serabawah atau Seratinggi yang berarti pemimpin sejati atau pemimpin besar.

Menurut Mansoben, seorang Serabawah merupakan model kepemimpinan yang bisa dicapai karena memiliki kualitas dengan menunjukkan sifat kako, yang artinya 'berani atau perkasa dan berpengetahuan tentang adat istiadat'. Tak heran jika konsep mitologi masyarakat Waropen bahwa Serabawah adalah leluhur pertama yang dianggap sebagai moyang mistis pendiri klan yang dianggap sakral. Mansoben juga menyebutkan bahwa orang Waropen termasuk dalam sistem kepemimpinan campuran. Sistem ini menunjukkan adanya ciri pencapaian dan pewarisan yang disebut sistem campuran. Sistem kepemimpinan campuran, kedudukan pemimpin diperoleh melalui pewarisan dan pencapaian atau berdasarkan kemampuan individualnya (prestasi dan keturunan). Tipe ini terdapat pada pendudukan Teluk Cenderawasih, Biak, Wandamen, Waropen, Yapen, dan Ma'ya.

Oleh karena itu, hak sera adalah jika seorang Serabawah, berhak mendapatkan budak-budak pertama hasil tangkapan anggota klannya atau klan ekor. Juga mendapat tawaran tembakau dari pasangan muda yang baru saja menikah. Berhak pula mendapat bantuan dari anggota klannya untuk membangun rumahnya yang disebut seraruma. Memberikan gelar penghormatan kepada anggota klan yang dianggap berjasa saat perang dan keberanian. Hak istimewa lainnya mendapat kepala ikan besar hasil tangkapan anggota klan, hak memakai penitip kepala dan hak memakai Dumasura atau sejenis sisir bambu saat upacara inisiasi. Sedangkan hal tabu yang tidak boleh dilanggar seorang Sera adalah tidak boleh selingkuh tetapi boleh menikah lebih dari satu istri. Tidak boleh menipu dan mencuri.

Proses pengangkatan Sera sendiri menurut Mansoben kalau ia sudah lanjut usia dan fisiknya lemah. Kedudukan ini bisa diwariskan kepada anak laki-lakinya yang sulung. Jika putra sulung ini belum cukup umur bisa diwariskan kepada adik kandung dari ayahnya. Namun di dalam masyarakat Waropen, kedudukan Sera bisa pula dipegang oleh seorang perempuan yang disebut Mosaba atau Ratu. Hengki Wanda, penulis lagu Mosaba menyebut seorang Mosaba itu juga turunan langsung dari seorang Sera. Atau anak pertama dari seorang Sera, ia juga menentukan besarnya pembayaran mas kawin dalam setiap klan.[2]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c "Waropen in Indonesia". Joshua Project. Diakses tanggal 22 Juli 2022. 
  2. ^ a b c d e f g h i j Sistem kepemimpinan Sera orang Waropen jubi.co.id. Diakses tanggal 22 Juli 2022
  3. ^ "Bahasa Melayu Di Tanah Papua: Rekam Jejak Bahasa Melayu Papua". www.researchgate.net. 2014. Diakses tanggal 22 Juli 2022. 
  4. ^ a b c Asal Muasal Nama Waropen www.pustakapapua.com. Diakses tanggal 22 Juli 2022
  5. ^ Suryawan, I Ngurah (2018-10-27). "Kampung Papua, Antara Eksploitasi dan Konservasi (1)". tatkala.co. Diakses tanggal 2024-06-07.