Sultan Alauddin Johan Syah
Sultan Alauddin Johan Syah (meninggal 1760) adalah sultan kedua puluh empat kesultanan Aceh. Ia merupakan generasi kedua dari Dinasti Bugis yang memerintah Aceh pada tahun 1735–1760.
Awalnya bernama Pocut Uk, dia adalah anak tertua dari Sultan Alauddin Ahmad Syah. Ketika Alauddin Ahmad Syah meninggal pada bulan Mei atau Juni tahun 1735 suksesi berikutnya diperebutkan antara keturunannya dengan dinasti sebelumnya. Pada saat itu penobatan sultan tidak berlangsung secara otomatis dari Sultan sebelumnya kepada generasi selanjutnya. Tetapi pengangkatan sultan haruslah dengan persetujuan uleebalang tiga sagi yang berpengaruh. Ketika kedudukan sultan yang baru sedang dibicarakan oleh istana dengan tokoh-tokoh utama tiga sagi, Sultan Jamalul Alam Badrul Munir yang telah diasingkan sejak tahun 1726 tiba-tiba kembali ke ibu kota dan mengklaim tahta sultan kepadanya. Jamalul Alam Badrul Munir yang merupakan sultan dari trah Sayyid membawa prestise besar disebabkan keturunannya yang dianggap berasal dari Nabi. Namun para tetua lokal, para panglima dan uleebalang dari XXV Mukim, salah satu dari tiga sagi Aceh bersikeras menyatakan Pocut Uk sebagai sultan dengan nama tahta Sultan Alauddin Johan Syah.[1] Jamalul Alam yang berlindung di Masjid Raya Baiturrahman di ibu kota tetapi ia ditembak dari arah benteng, merasa tidak mampu bertahan ia dan pengikutnya menarik diri ke Kampung Jawa. Untuk sementara XXII Mukim dan XXV Mukim mendukung Sultan Alauddin Johan Syah, di pihak yang lain XXVI Mukim mendukung Jamalul Alam.
Perang sipil
suntingDalam huru hara politik yang tidak menentu tersebut hadirlah tokoh Pocut Muhammad, saudara Alauddin Johan Syah. Pocut Muhammad digambarkan sebagai seorang yang keras kepala. Ia tidak terima atas berlangsungnya dualisme tahta kesultanan di ibu kota, di mana Alauddin Ahmad Syah sebagai sultan di keraton dan Jamalul Alam mengaku pula sebagai sultan tandingan yang berkedudukan di Gampong Jawa. Sultan Alauddin Johan Syah memerintahkan Pocut agar tidak menyerang keturunan Nabi, tetapi Pocut tetap berkeras berangkat ke Pidie dan ketika kembali ke ibu kota ia membawa pasukan yang besar guna menghadapi Jamalul Alam. Peristiwa kepahlawanan Pocut Muhammad di tuliskan dalam kisah epik Aceh yang berjudul Hikayat Pocut Muhammad.[2]
Sesampai di ibu kota Pocut Muhammad segera menyerang kedudukan Jamalul Alam diserang di Gampong Jawa. Serangan itu berhasil menghancurkan kekuatan Jamalul Alam, dan beruntung ia masih bisa selamat dengan menyelinap pergi dari Gampong Jawa dalam penyamaran namun beberapa waktu kemudian ia dikabarkan meninggal di Gampong Kandang.[3]
Sultan Alauddin Johan Syah kini resmi mendapatkan pengakuan yang lengkap dari uleebalang sagi. Namun perang sipil yang terlanjur terjadi akibat perebutan suksesi itu membuat kekacauan yang parah dalam bidang ekonomi di seluruh kesultanan. Menurut berbagai laporan disebutkan kekacauan itu berlangsung selama empat bulan atau sepuluh tahun.[4] Konsekuensi ekonomi yang mengerikan sebagaimana disebutkan dalam laporan pedagang Belanda pada bulan April 1736 mengatakan bahwa selama perang sipil itu tidak ada satu pun kapal dari Aceh yang mengunjungi kota pelabuhan penting di Barus.[5]
Pemberontakan baru
suntingSetelah kekalahan Jamalul Alam, Sultan Alauddin tampaknya kini bisa menikmati pemerintahan yang lama dan relatif damai. Namun kesulitan berikutnya datang secara tiba-tiba pada tahun 1757 atau 1759. Ketika munculnya pemberontakan dari sagi XXII mukim yang dipimpin oleh panglima Sri Muda Perkasa dari garis Panglima Polim, keturunan Sultan Iskandar Muda. Ia tidak puas dengan kebijakan perdagangan sultan yang mengarahkan perdagangan dan pengumpulan tugas di ibu kota Banda Aceh.[6] Ia mengibarkan bendera pemberontakan dan bergerak menuju ibu kota bersama 20.000 tentara pemberontak.[7] Sri Muda Perkasa menduduki Lamseupeung, para pemberontak menduduki kampung itu di bawah tembakan tentara yang setia kepada sultan. Setelah dua bulan bertahan di Lamseupeung pemberontak menarik diri menjauh dari ibu kota.
Kematian
suntingMenurut satu sumber sejarah, sebelum kematiannya Sultan Alauddin sempat digulingkan oleh para panglima yang bersimpati kepada Sri Muda Perkasa. Ia meninggal pada akhir Agustus 1760, mewariskan tahta kesultanan kepada putranya yang bernama Tuanku Raja, sultan penerus ini berkuasa dengan gelar Sultan Alauddin Mahmud Syah.[8]
Referensi
sunting- ^ Djajadiningrat (1911), p. 202.
- ^ "Hikayat Pocut Muhammad" (PDF). acehbooks.org. Diakses tanggal 23 Oktober 2015.
- ^ Djajadiningrat (1911), p. 200-1.
- ^ Djajadiningrat (1911), pp. 202-3.
- ^ Van Goor (1988), p. 722.
- ^ Lee (1995), p. 20.
- ^ Taniputera (2013), p. 195, pemberontakan dikhabarkan pecah tujuh tahun sebelum tahta sultan berakhir, tahun tersebut adalah 1753.
- ^ Djajadiningrat (1911), p. 203.
Pranala luar
sunting- Djajadiningrat, Raden Hoesein (1911) 'Critische overzicht van de in Maleische werken vervatte gegevens over de geschiedenis van het soeltanaat van Atjeh', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 65, pp. 135–265.
- Drewes, G.W.J. (1979) Hikajat Potjut Muhamat: An Achehnese Epic. The Hague: M. Nijhoff.
- Goor, R. van (1988) Generale missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie. Vol. 9: 1729–1737. Den Haag: M. Nijhoff.
- Lee Kam Hing (1995) The Sultanate of Aceh: Relations with the British, 1760–1824. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
- Taniputera, Ivan (2013) Kerajaan-kerajaan Nusantara pascakeruntuhan Majapahit. Jakarta: Gloria Group.
Didahului oleh: Sultan Alauddin Ahmad Syah |
Sultan Aceh 1735—1760 |
Diteruskan oleh: Sultan Alauddin Mahmud Syah I |