Sungai Patai, Sungayang, Tanah Datar

nagari di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat

Sungai Patai merupakan salah satu nagari yang termasuk dalam kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Nagari ini terletak di dekat Batusangkar, ibu kota dari kabupaten Tanah Datar.

Sungai Patai
Negara Indonesia
ProvinsiSumatera Barat
KabupatenTanah Datar
KecamatanSungayang
Kode Kemendagri13.04.07.2001
Luas2,88 km²
Jumlah penduduk2.308 jiwa

Sejarah Singkat sunting

Pembentukan suatu nagari umumnya di daerah kawasan Minang sejak dahulunya sesuai istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, Dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk tersebut minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.[1]

Dahulunya ditempat itu terdapat air yang menyembur dari tanah. Air yang menyembur dengan tegak lurus itu oleh orang-orang sekitar disebut dengan aie tabik. Sekarang, air tabik itu jatuhnya di sebuah tabek yang ada di ateh lago.[2]

Turunlah orang dari angin Sepanjaringan, singgah sebentar di Sungai Jambu lalu ke Tigo batu menetap sakatiko di Sungai Tarab. Dan pada suatu katiko, hari elok katiko baiak, seorang Pengetuo dari rombongan itu melihat ke arah matahari hidup, lalu berkata kepada pengiringnya “ a Tu miang” sambil menunjuk tempat yang akan ditujunya. Sampai sekarang puncak bukit itu bernama juga Puncak Tumiang. Rombongan manusia ini berangkat menuju tempat yang ditunjuk Pengetuonya itu bersama-sama. Saat mereka pergi dari Pariangan padang panjang mereka sudah membawa hewan ternak.

Sesampainya mereka ditempat kaki bukit itu menemui anak sungai (sungai ini kelak nama asal negeri) lantas mereka menyeberangi sungai itu menuju arah puncak yang ditunjuk Pengetuonya. Mereka naik dari sawah lughah, ujung guntuang ateh guguak untuk naik ke puncak bukit yang mereka lihat dari saat akan berangkat. Sesampainya mereka di suatu dataran, mereka menemui taratak-taratak yang telah di diami manusia di sekitar sebuah talago yang mempunyai air mancur.

Pengetuo mereka menanyakan siapa yang punya teratak-teratak ini dan siapa Pengetuonya. Lantas seorang yang tinggal di sebuah Teratak Bundar (sekarang seperti bundaran tanah dan masih disebut Tanah Rajo) menjawab perkataan Pengetuo sambil menunjuk salah satu puncak bukit di sebelah selatannya. Ia menyebut Antalu (sampai sekarang puncak itu bernama juga puncak Antalu). Perkataan ini dimaksudkannya bahwa dialah yang memegang pucuk bulat urat tunggangnya di tempat itu ataukah dia mengatakan bahwa dialah yang memegang bulat boleh digolekkan, picak boleh dilayangkan di tempat itu ataukah dia mengatakan dialah yang menguasai tempat di sekitar bukit itu. Tapi ternyata kemudian hari betul turunnya yang jatuh ke daerah sekitarnya.

Dengan kebijaksanaan, orang yang datang dibolehkan tinggal bersama keluarga mereka. Orang yang datang memanggil orang yang tinggal di teratak bundar itu dengan sebutan Datuk Tuo, yang pada saat itu bukanlah sebutan untuk penghulu tetapi adalah panggilan terhadap orang yang sebaya dengan bapak orang tuanya serta penghormatan terhadap Pengetuo yang mereka tempati.

Datuk Tuo mempunyai tempat jatuhnya ke Sungayang Jolelo, ke Tanjung nan putih, ke Andaleh Jo labiah, ke Sungai Patai Jo Mandur.

Rombongan manusia yang datang ke Talago bertambah-tambah dan tiap-tiap yang datang tetap mempunyai Pengetuo, kelak saat seorang Pengetuo meninggal, kemenakan mereka memakai nama asal Pengetuo mereka sebagai gelaran asal tuntunan mereka.

Pada saat itu jika mereka menghadapi suatu keadaan mereka serta merta berkumpul di suatu tempat guna membulatkan niat mereka, dan terdapatlah pepatah tertelungkup sama makan tanah tertelentang sama makan angin.

Di sebelah Barat, daerah Sungai Patai di pagar dengan aur yang ditanam beraturan, ini dilakukan supaya daerah persawahan tersebut tertata dan penularan penyakit dari kerbau tidak sampai ke daerah perkampungan. Pada masa itu mereka sudah mulai membuat sawah serta ladang dan memelihara ternak. Sawah serta ladang tersebut saat ini telah jadi parak dan padang tempat orang menggembalakan kerbau. Sawah tersebut kemudian menjadi nama sawah polak dan padang gembala disebut padang kobou atau kubang. Untuk membatasi ternak agar tidak masuk keperkampungan saat berada di talago Air Mancur maka dibatasi dengan aua bagighik (berderet). Saat berada di Ate lago masyarakat sudah mempunyai Masjid yang terletak di samping balai medan nan bapaneh. Air untuk di masjid ini di aliri dengan pincuran panjang sehingga sampai sekarang nama tersebut bernama Pincuran panjang.

Orang yang tinggal di Talogo sudah mulai rami, masyarakat yang telah bermukim di sana mencermati daerah di bawahnya. Bentuknya mirip dengan buah petai jika dilihat dari Talago Air Mancur tersebut. Oleh karena itu orang-orang Talago Air Mancur merencanakan untuk dibangun perkampungan karena masyarakat di Talago Air Mancur sudah mulai banyak. Di tempat itu dahulunya menetap kelompok demi kelompok manusia dengan di kepalai oleh seorang Pengetuo. Pengetuo tersebut bercirikan badan besar lagi perkasa dan mempunyai sikap yang arif serta budiman. Mereka tinggal di taratak-taratak yang didirikan di sekitar talago air mancur tersebut.

Penamaan Sungai Patai dikarenakan di sepanjang aliran sungai yang mengitarinya daerah itu terdapat pohon-pohon petai yang sangat besar. Ketika masyarakat mulai menyebar dari Talago Tinggi, mereka lebih memilih membuka lahan di sekitaran pohon-pohon petai tersebut. Sehingga, nama perkampungan tersebut menjadi Sungai Patai.

Masa Pemerintahan Kolonial Belanda sunting

Saat ini peninggalan Belanda yang masih terlihat adalah jembatan sebagai pintu masuk ke Sungai Patai. ada 2 jembatan Peninggalan Belanda, pertama di sebelum masuk Sungai Patai tahun 1918 dan Jembatan Ngungun yang dibangun 1930.

Tangsi Belanda, Bekas Perkebunan Kopi dan Kina Pada saat tanam paksa kopi di zaman Belanda. Jembatan Tabek dewagh dan Jembatan Ngungun, Jembatan ini di buat pada zaman Belanda tahun 1918 dan 1930. Jembatan ini merupakan bagian penting dari sungai Patai karena jembatan ini sekarang dipergunakan sebagai jalan utama dan pintu masuk nagari Sungai Patai,

Masa Pendudukan Jepang sunting

Rentang tahun 1934-1945 ada beberapa badan yang dibentuk oleh Jepang di Sungai Patai yaitu Sukarela, Hei-Ho, Giu-Gum dan lascar Rakyat anggotanya adalah Ramli Jamil, Muhammad Rasyid Manan Rusli Shaloh, Muruk, Nana, Nasar Bohar, Satin Biran, Buyuang Rambau dan Buyuang Tamba. PMT ini benar-benar dapat memporak-porandakan pasukan Belanda. Untuk mengantisipasi sergapan PMT Belanda meningkatkan tekanan militer terus menerus. Dalam pasukan PMT ini meniggal akibat serangan Belanda adalah Tutin dan Nazaruddin.

Masa Perang Kemerdekaan sunting

Pada masa perang kemerdekaan Sungai Patai pernah diserbu oleh Belanda lebih kurang 1 peleton dan menangkapi orang Sungai Patai beberapa orang yang meninggal yaitu Bahaudin, Ilyas, dan seorang Wanita. Di awali tahun 1949 terbentuk suatu unit gerilya yang bernama Pasukan Mobil Teras (PMT). Anggota PMT ini berasal dari pemuda yang telah mendapat latihan militer dari tentara Jepang dahulu.

Nagari adalah merupakan suatu masyarakat hokum. Nagari adalah gabungan dari beberapa buah suku, minimal mempunyai 4 buah suku, jadi federasi genealogis. Menurut hokum adat (undang undang Nagari), ada empat syarat untuk mendirikan sebuah Nagari, yang pertama harus mempunyai sedikitnya 4 suku, kedua harus punya balairung untuk bersidang, ketiga sebuah mesjid untuk beribadah, ke empat sebuah tepian tempat mandi.

Abdul Rahman putra asli Sungai Patai, Rumahnya di Tanjung Malintang (dirumah Datuk Bagindo Sinyato, Kampung Tanjung Malintang, Suku Piliang, Nagari Sungai Patai Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat).

Abdul Rahman ini adalah guru agama yang mengajarkan Tafsir Al Quran. Muridnya datang dari berbagai Nagari. Tempat pengajaran Abdul Rahman terletak di Surau Tangah, Tepatnya di Belakang SD inpres Tanah Lapang (SD Dibawah).

Pada Agresi Militer Belanda Kedua, Tempat pengajian Buya Abdul Rahman ini di gerebek oleh Belanda yang pasukannya datang dari Batusangkar. Tawanan- tawanan yang ditangkap oleh Belanda, ada yang ditempak mati seperti Bahaudin dan ada 2 orang laki-laki serta 1 prang perempuan. dan tiga orang lainnya disuruh untuk memetik kelapa muda. Buya Abdul Rahman dibelenggu dan dia duduk di samping mobil. Orang yang disuruh untuk memetik kelapa adalah:

  1. Abdul Malik Muhammad
  2. Martunus Uhid
  3. Sudin BinuSelesai Minum air kelapa muda ini. Komandan Belanda ini memerintahkan untuk membawa Buya Abdul Rahman ke dalam mobil dalam keadaan tangan terbelenggu. Buya Abdul Rahman di bawa ke Batusangkar

Referensi[2] sunting

  1. ^ A Dt. Batuah & A Dt. Madjoindo, (1959), Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka.
  2. ^ Catatan tertulis dari penelitian kelompok yang beranggotakan sepuluh orang yang diketuai langsung oleh Wali Nagari saat itu yaitu N.Z. Datuak Paduko Jalelo angootanya adalah Abdul Malik Muhammad, Intan Penghulu, Mawardi Ibrahim, Nai Tan Marajo, Sutan Mangun, Khatib Kayo ditemukan informasi tentang asal-usul nama Sungai Patai. Dalam catatan para peneliti tersebut diuraikan bahwa Nagari asal Sungai Patai itu terletak di Talago air mancur yang berada pada lereng Bukit Barisan yang membujur dari arah Utara ke Selatan Sumatera di sisi Barat Gunung Sago. [1]

Pranala luar sunting