Suppa, Pinrang

kecamatan di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan

Suppa adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, Indonesia. Merupakan bekas wilayah dari Swapraja Suppa & bekas wilayah kekuasaan Kedatuan Suppa. Kecamatan Suppa merupakan 7 kecamatan utama sejak pembentukan Kabupaten Pinrang ditahun 1960, bersama Kecamatan Duampanua, Lembang, Watang Sawitto, Mattiro Bulu, Patampanua, Mattiro Sompe, dan Suppa. Wilayah Suppa merupakan wilayah paling selatan Kabupaten Pinrang, pusat pemerintahan dari masa Kedatuan & Swapraja hingga Kecamatan berada di Majennang.

Suppa
Negara Indonesia
ProvinsiSulawesi Selatan
KabupatenPinrang
Pemerintahan
 • CamatH. Muradi Tajuddin, S.Sos
Populasi
 • Total34,656 jiwa
Kode Kemendagri73.15.02 Edit nilai pada Wikidata
Kode BPS7315010 Edit nilai pada Wikidata
Luas74,2 km²
Kepadatan-231 jiwa/km²
Desa/kelurahan8 desa
2 kelurahan
Peta
PetaKoordinat: 3°58′26.47927″S 119°36′35.42825″E / 3.9740220194°S 119.6098411806°E / -3.9740220194; 119.6098411806

Sejarah Suppa

sunting

Suppa memiliki sejarah yang tidak lepas dari Kerajaan Suppa atau kedatuan Suppa (yang dibaca dengan Suppa') adalah salah satu kerajaan Suku Bugis yang disegani di wilayah Ajatappareng dan didaerah Sulawesi Selatan. Setelah kemerdekaan kini kerajaan suppa' merupakan suatu kecamatan yang berada di kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan. Kerajaan Suppa sendiri dapat di lihat asal usulnya dalam naskah lontaraq i lagaligo yang disebut dengan toloqna iyarega minruranna Suppa.

Seperti epik kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yang pembentukan melalui konsep To Manurung atau dikenal dengan kepemimpinan To Manurng sebagai mana pula di tertuang dalam sure' Galigo atau i lagaligo kedatuan suppa pun pembentukannya diawali dengan pengangkatan Manurung’nge sebagai Datu Suppa pertama oleh orang-orang yang menyaksikan dan mendengar berita kedatangannya di tanah Suppa diperkirakan pada abad ke 14. Dalam lontara Suppa diceritakan Manurung’nge Mompo ri lura Malowangnge (muncul didanau yang besar: maksudnya ialah laut. pen.) bersama dengan sarung lumut dan benda-benda Arajang/kebesarannya yang serba emas, seperti periuk emas, sendok nasi emas, periuk sayur emas, dan peralatan dapur lain-lainnya yang terbuat dari emas.

Kerajaan Suppa merupakan salah satu kerajaan anggota konfederasi Ajatappareng yang letaknya di sebelah barat Danau Tempe, Danau Sidenreng, dan Danau Buaya. Sekitar abad ke-15, konfederasi ini terbangun yang dicetuskan oleh La Makkarawi Datu Suppa (tapi hal ini masih menjadi kajian lebih lanjut) yang hasilnya bergabungnya Lima Kerajaan yaitu kerajaan Sidenreng, Suppa, Sawitto, Rappang dan Alitta. Salah satu motif bergabungnya kerajaan-kerajaan ini karena dikenal sebagai penghasil beras terbesar di Sulawesi Selatan dan menjadi rebutan bagi kerajaan-kerajaan besar yakni Luwu, Bone, dan Gowa. Pasca persekutuan terbentuk, tampak eksistensi Ajatappareng makin maju, itu ditandai hadirnya beberapa pedagang dari luar antara lain Antonio De Paiva pada Tahun 1544, seorang pedagang asal Portugis. Kemajuan perdagangan hasil-hasil pertanian telah mengundang kerajaan yang lebih besar untuk melakukan penguasaan.

Setelah peristiwa Perang Gowa 1905-1906 hingga kekalahan Kerajaan Gowa (wafatnya Karaeng Sombayya I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Somba Gowa XXXIV (Sultan Husain), Tuminanga ri Bundu'na juga sepupu La Parenrengi Daeng Pabeso Karaeng Tinggimae Datu Suppa & Datu Ajatappareng, serta Perang Bone 1905 yang mengakibatkan kekalahan Kerajaan Bone, beserta ditangkapnya Arumpone Bone La Pawawoi Karaeng Sigeri, terhitung paman dari pihak ayah La Parenrengi Manggabarani Daeng Pabeso Karaeng Tinggimae, Arung Malolo Sidenreng-Rappang, Datu Suppa Toa (1900-1926). Membuat baginda harus melakukan perjanjian atau kontrak panjang dengan pihak kolonial setelah kalah mempertahankan Suppa & Sidenreng. Dinyatakan bahwa Suppa merupakan bagian Hindia Belanda dengan status Zelfbestuur (Pemerintahan Otonomi Daerah) yang diakui bahwa Kerajaan berhak menjalankan urusan pemerintahannya. Setelah Puatta La Parenrengi wafat pada 1926, Puteranya yang bernama Andi Mappangile Karaeng Tinggimae Arung Malolo Suppa (Pangeran Hartawan di Ajatappareng) dikehendaki oleh ayahnya sebagai Arung Malolo Suppa (Putra Mahkota) dan didukung oleh rakyat untuk menaiki tahta Suppa dan berkuasa sebagai Datu Suppa Toa, tetapi beliau (Petta Ile) tidak diketahui mengapa enggan untuk naik tahta, maka Andi Makkasau Petta Wawo yang menjadi Datu selanjutnya. Diketahui bahwa Andi Mappangile Karaeng Tinggimae menetap di Sidenreng negeri kekuasaan dari kakek baginda yakni, La Saddapotto kakek pihak ibundanya (I Muntu).

Perang Puatta La Parenrengi Datu Suppa dengan Belanda

sunting

Pada tanggal 12 Juni tahun 1905, pasukan Belanda memulai serangannya pada kerajaan Sidenreng. Masa yang berat bagi La Sadapotto Arung Rappang yang kemudian baru saja dilantik menjadi Addatuang Sidenreng. Ia segera menyusun barisan pertahanan di Lainungan perbatasan Sidrap dan Pare-pare Sulawesi Selatan, dengan menunjuk pula La Parenrengi Daeng Pabeso KaraEngta Tinggimae menjadi Arung Malolona Sidenreng dan Rappang yang memimpin barisan laskar Sidenreng dan Rappang sekaligus Datu ri Suppa. La Sadapotto terhitung paman sekaligus mertua La Perenrengi, sedangkan La Ishak Manggabarani Arung Matoa Wajo (ayah La Parenrengi) sepupu La Saddapotto Addatuang Sidenreng.

Pertempuran sengit antara Belanda dengan pasukan gabungan Sidenreng dan Rappang yang berlangsung hingga Agustus 1905. Nantilah setelah benteng pertahanan Lajawa dan La KapE dapat dikalahkan, barulah pasukan Belanda dapat menembus pertahanannya ibu kota kerajaan Sidenreng di Allakuang (Sidrap) dan berhasil menawan La Sadapotto Addatuang Sidenreng pada tanggal 11 September tahun 1905.

Tertawannya Addatuang Sidenreng tidak melemahkan semangat KaraEngta TinggimaE Putera Arung Matoa Wajo tersebut semakin gencar melakukan serangan terhadap Belanda, hingga pada tanggal 5 Desember 1905, terjadi pertempuran sengit antara pasukan kerajaan Sidenreng dan Rappang melawan Belanda, ini karena berhasilnya ditawan pada tanggal 6 Desember 1905.

Kampung Palla Bessie dan Pengaruh Manggabarani

sunting

La Parenrengi Daeng Pabeso Arung Malolona Sidenreng dan Rappang bersama pasukannya dilucuti persenjataan dari Kedatuan Suppa ( Pinrang), tempat bertahtanya sebagai Datu Suppa Toa, berbeda dengan tokoh-tokoh perjuangan lainnya, Puatta Parenrengi tidak dipenjarakan dalam satu sel kurungan atau dibuang ke negeri yang jauh. Gubernur C.A. Kroesen meminta penahanan rumah Karaeng Tinggimae (La Parenrengi) dan tentaranya. Maka dipilihlah suatu area seluas 50 Hektare dalam wilayah kerajaan Suppa dan dikelilingi pagar besi dan kawat disekelilingnya.

Area penahanan La Parenrengi Daeng Pabeso KaraEngta TinggimaE Datu Suppa Toa dan tentara-tentaranya, kini menjadi suatu perkampungan dinamai Palla Bessie. Perlakuan khusus ini adalah kebijakan pemerintah Hindia Belanda kepada Datu Suppa Toa bagi kalangan menilai sebagai rasa segan Cornelis Alexander Kroesen Gubernur Celebes Hindiabelanda Terhadap Puatta Ishak Manggabarani KaraEng Mangeppe, Anrong Guru Lompona Tu Bontoalaka/Karaeng Bontoala, Karaeng Pabbicara Gowa, Jenderala' ri Bone, Datu Pammana, Arung Tellu Lattena Sidenreng dan sekaligus Arung Matoa Wajo 1900-1916.

Dan sekaligus Ayahanda La Parenrengi Daeng Pabeso KaraEngta TinggimaE sebagai Datu Suppa Toa, Datu Ajatappareng dan Putra Mahkota Sidenreng & Rappang masa Addatuang La Saddapotto di Sidenreng. Puatta La Parenrengi wafat ditahun 1926 dan dimakamkan di Komplek Makam Raja-Raja Datu La Cincing Parepare, sedangkan Puatta Ishak Manggabarani Arung Matoa Wajo wafat pada 16 Desember 1916 di Saoraja Datu Suppa di Parepare yang merupakan kediaman putra sulungnya La Parenrengi Datu Suppa. Sehingga La Parenrengi bergelar anumerta Petta Matinroe ri Parepare yang merupakan kekuasaannya.

Suppa dalam kemerdekaan

sunting

Pada tahun 1926, Andi Makkasau dinobatkan sebagai Datu Suppa yang kemudian diberi gelar sebagai Datu Suppa Toa. Penobatan rakyat kepada Andi Makkasau langkah dalam menyatukan warga Kerajaan Suppa terutama dalam usaha mereka menentang kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di Parepare dan sekitarnya. Andi Makkasau juga membentuk dan mempelopori organisasi kemasyarakatan dan politik yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia diantarannya,: Partai Sarikat Islam di Parepare dibentuk pada tahun 1927, Sumber Darah Rakyat (SUDARA) dibentuk tahun 1944, Penunjang Republik Indonesia (PRI) dan pada tanggal 28 Agustus 1945 dibentuk Pandu Nasional atau Pemuda Nasional Indonesia (PNI). Ia pernah mengundang tokoh nasional seperti Buya Hamka, AM Sangaji, H. Agus Salim, dan H.O.S Cokroaminoto ke Suppa, untuk memberikan pendidikan politik kepada rakyatnya. Pada 12 September 1945, bendera merah putih dikibarkan di Lapangan Labukkang, Suppa. Andi Makkasau Parenrengi Lawawo juga ikut terlibat dalam pembuatan petisi raja-raja pada 15 Oktober 1945 di kediaman Andi Mappanyukki di Gowa. Petisi yang juga dikenal sebagai deklarasi Jongayya itu menyatakan mendukung Indonesia merdeka. Kerajaan Suppa berwilayah di Kota Pare-Pare sekarang. Ketika pasukan Sekutu dan NICA datang kembali (masa Revolusi Nasional Indonesia), Andi Makkasau mengadakan Konferensi Parapare pada 1 Desember 1945. Dalam konfrensi tersebut, dibuat suatu keputusan untuk mendukung Sam Ratulangi sebagai Gubernur Sulawesi dan menolak kembalinya Belanda di Indonesia.

“Itu pula yang ikut mendorong komandan pasukan Belanda di Netherlands memerintahkan Kapten Raymond Paul Pierre Westerling untuk melakukan pembantaian di Sulawesi Selatan,” katanya.

Serbuan Westerling ke Suppa, dihadang dengan gigih oleh pasukan Andi Makkasau. Namun, senjata yang terbatas dan personel yang kurang membuat laskar Andi Makkasau tidak bisa lama bertahan. Andi Makkasau tertangkap. Tapi, sekeluarnya dari penjara, ia kembali melawan. Westerling kembali dihadapinya, dan lagi-lagi Andi Makkasau tertangkap, lalu ditahan dan dipenjara di Sawitto Pinrang. Lebih lanjut dikisahkan, Andi Makkasau kemudian disiksa habis-habisan, dan akan dieksekusi. Dengan kaki dan tangan terikat dia dibawa ke Mara’bombang. Sang raja yang dijuluki La Tea Cau’ karena ketangguhanya akhirnya dibunuh tak jauh dari istananya, di depan mata rakyatnya. Ombak dan laut Mar’bombang menjadi saksi nyata perjuangan dan Andi Makkasau yang tak pernah berakhir.

Pembantaian Westerling di Suppa

sunting

Pembantaian Westerling ini juga disebut peristiwa korban 40.000 jiwa yang dilakukan militer Belanda dan dipimpin oleh Raymond Wrestling dari 11 Desember 1946 hingga Februari 1947. Serbuan Westerling ke Asuppo dihadang oleh pasukan Andi Makkasau. Namun, senjata yang terbatas dan personel yang kurang membuat laskar Andi Makkasau tidak bisa lama bertahan. Andi Makkasau tertangkap. Tapi, sekeluarnya dari penjara, ia kembali melawan. Westerling kembali dihadapinya dan ia kembali ditangkap, lalu ditahan dan di penjara di Sawitto Pinrang. Dalam masa tahanannya, terjadi penyiksaan fisik dan kemduaian dieksekusi. Dalam peristiwa ini pada 26 Februari 1947, Andi Makkasau bersama 25 stafnya diculik oleh militer Belanda. Mereka mengalami penyiksaan di lapangan Afdeling Parepare, kemudian Andi Makassau bersama 2 orang lainnya ditenggelamkan ke dalam lautan Suppa.

Kekosongan Pemerintahan Kedatuan

sunting

Suppa mengalami kekosongan pemerintahan selama 2 tahun. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang berani menggantikan kedudukan Andi Makkasau sebagai Datu. Baru pada tahun 1940, Andi Abdullah Bau Maseppe, kemenakan Andi Makkasau sendiri yang tampil menggantikan kedudukan itu. Bagaimana tidak, sebelum menjadi Datu, Andi Makkasau telah mempelopori terbentuknya Partai Syarikat Islam (PSI) di Parepare tahun 1927, oleh Andi Makkasau Parepare dihidupkan sebagai kota yang penuh dengan geliat politik dan warna pergerakan, sehingga pihak penjajah Belanda menganggapnya sangat berbahaya.

Perjuangan Andi Abdullah Datu Lolo Suppa

sunting

Andi Abdullah Bau Massepe memimpin perjuangan dalam bidang politik dan militer dengan cara memelihara keamanan, mengumpulkan senjata, membeli dan merampas senjata dari Jepang. Massepe juga menyusun strategi serta melakukan sabotase dan mengumpulkan pemuda untuk memutuskan jalan yang biasa dilewati oleh Belanda. Serangan dimulai pada Januari 1946. Rencana serangan yang akan dilayangkan oleh Andi Abdullah Bau Massepe adalah sebagai berikut: Menyerang pos NICA pada 3 Februari 1946, tetapi gagal. Pasukan Massepe bertemu dengan pasukan Belanda di Garessi Suppa. Akibatnya, pasukan Belanda berhasil dipukul mundur. Menghadang Belanda dan terjadi pertempuran di La Majakka, pihak Belanda mengalami kerugian besar. Pertempuran La Sekko yang menjadi pertempuran terhebat, karena pasukan Belanda melakukan penyerangan kepada penduduk Bau Massepe di Berpuru. Mencapai keberhasilan dalam pertempuran Teppoe Kanango, karena dapat memukul mundur pasukan Belanda dan merebut beberapa senjata. Telah melakukan beberapa penyerangan dan perlawanan, Massepe akhirnya tertangkap pada 17 Oktober 1946. Ia dibawa ke Makassar dan ditahan selama 160 hari.

Menjadi sebuah Kecamatan

sunting

Setelah kemerdekaan Suppa bersama Batulappa, Sawitto dan Alitta mendapatkan status Swapraja (pemerintahan sendiri) sistem ini diteruskan bahwa monarki tetap berkuasa hingga 1960. Suppa menjadi negara bagian pada lingkup Pemerintahan NIT sampai 1950, menjadi daerah Swapraja pada lingkup Kawedanaan Pinrang, Daerah Parepare.

Daerah Parepare meliputi

  • Pinrang dengan ibukota di Sawitto
  • Sidenreng-Rappang dengan ibukota di Sidenreng
  • Barru dengan ibukota di Barru
  • Enrekang dengan ibukota di Enrekang

Kerajaan-kerajaan yang mendapat status Swapraja dan Negara Bagian pada masa Negara Indonesia Timur, di Daerah Parepare (Afdeling Parepare)

  • Kerajaan Sawitto di Pinrang
  • Kerajaan Batulappa di Pinrang
  • Kerajaan Suppa di Pinrang
  • Kerajaan Alitta di Pinrang
  • Kerajaan Sidenreng di Sidrap
  • Kerajaan Rappang di Sidrap
  • Kerajaan Mallusetasi di Barru
  • Kerajaan Balusu di Barru
  • Kerajaan Tanete di Barru
  • Kerajaan Barru di Barru
  • Kerajaan Maiwa di Enrekang
  • Kerajaan Enrekang di Enrekang
  • Kerajaan Alla di Enrekang
  • Kerajaan Buntu Batu (Buttu) di Enrekang
  • Kerajaan Malua di Enrekang

Hingga pembentukan Kabupaten Pinrang pada tahun 1960, membuat Swapraja Suppa yang dipimpin waktu itu oleh Datu Suppa Andi Soji Karaeng Kanjenne (cucu La Parenrengi Dg. Pabeso Krg. Tinggimae Datu Suppa & Datu Ajatappareng) dan Istri Andi Abdullah Bau Massepe. Menjadi Datu Suppa yang berkuasa terakhir secara politik hingga Swapraja Suppa bersama, Swapraja Batulappa, Sawitto, dan Alitta melebur ke Kabupaten Pinrang.

Tokoh Berpengaruh Suppa

sunting
  • La Parenrengi Daeng Pabeso KaraengTa Tinggimae, Arung Malolo (Putra Mahkota) Sidenreng-Rappang, Datu Suppa Toa XXIV. Bangsawan besar Ajatappareng dan Makassar, putra sulung dari Paduka Ishak Manggabarani Arung Matoa Wajo 1900-1916, La Parenrengi bergelar Daeng Pabeso dengan arti yang menyatukan darah kekeluargaan keluarga besarnya dari Bugis & Makassar. La Parenrengi memimpin perlawanan pertahanan dari invasi Belanda (1905-1906) ke Kerajaan Sidenreng (dirinya sebagai Putra Mahkota) dan Kedatuan Suppa (yang merupakan tempat kekuasaannya). Wafat di parepare bergelar anumerta Petta Matinroe ri Parepare
  • La Makkarawi Datu Suppa IV, pelopor terbentuknya Konfederasi Ajatappareng
  • Andi Makkasau Petta Wawo, Datu Suppa 1926-1940 putra La Parenrengi yang mendukung dan menyatakan Suppa bergabung dalam NKRI
  • Andi Abdullah Bau Massepe Datu Lolo Suppa, Pahlawan Nasional Indonesia
  • Andi Soji Karaeng Kanjenne, putri dari Andi Mappangile Karaeng Tinggimae Addatuang Sidenreng (Putra La Parenrengi Datu Suppa), Datu Kanjenne merupakan istri dari Andi Abdullah Bau Massepe. Beliau juga melanjutkan perjuangan suaminya dalam mendukung Kemerdekaan Indonesia, serta Datu Suppa 1947-1984
  • Andi Kuneng Bau Massepe, Datu Suppa 1993-2014, putra Andi Abdullah Bau Massepe dan Datu Kanjenne (Andi Soji)
  • Andi Dala Uleng (Datu Uleng) Bau Massepe Datu Suppa 2014-sekarang (adik kandung Bau' Kuneng Datu Suppa)
  • Andi Bau Fatimah (Datu Toeng)