Surat Izin Usaha Penerbitan Pers

Surat Izin Usaha Penerbitan Pers atau SIUPP adalah surat izin yang diperlukan bagi perusahaan penerbitan dan pers untuk menjalankan usahanya pada zaman Orde Baru. Pencabutan SIUPP sering digunakan untuk mengontrol dan memberangus perusahaan pers yang tidak sejalan atau berseberangan dengan pemerintahan.[1] SIUPP saat ini sudah tidak berlaku lagi semenjak diberlakukannya UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers pada era Presiden Habibie.[2]

Landasan hukum sunting

SIUPP didasari oleh Permenpen Nomor 1 Tahun 1984 yang dicabut oleh Menteri Penerangan Yunus Yosfiah dan digantikan dengan Permenpen Nomor 1 Tahun 1998.[3]

Pencabutan SIUPP sunting

Beberapa perusahaan pers yang dicabut SIUPP-nya (diberedel), antara lain:[1]

  • Tempo karena meliput kasus korupsi
  • Detik karena kritik terhadap pemerintahan
  • Editor karena pemberitaan putra presiden terkait kasus Bapindo
  • Expo karena memuat daftar 100 milioner Indonesia (yang banyak menyebut nama-nama di lingkaran Orde Baru)
  • Ekuin karena meliput harga dasar minyak pemerintah
  • Fokus karena memberitakan daftar 200 orang kaya Indonesia
  • Sinar Harapan karena analisa kebijakan ekonomi pemerintahan
  • Prioritas karena bertentangan dengan nilai Pers Pancasila
  • Monitor karena kontroversi angket Majalah Monitor yang menimbulkan kericuhan dari kalangan umat Islam
  • Senang karena membuat ilustrasi Nabi Muhammad[4]

Catatan kaki sunting

  1. ^ a b developer, era id. "Peringatan 20 Tahun Reformasi: Saat Pers Terbelenggu". era.id. Diakses tanggal 2020-05-05. [pranala nonaktif permanen]
  2. ^ "Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers". Scribd. Diakses tanggal 2020-05-05. 
  3. ^ "Warisan Habibie: Kebebasan Pers yang Membebaskan". Republika Online. 2016-06-26. Diakses tanggal 2020-05-05. 
  4. ^ Tempomedia (1990-11-10). "Wajah rasulullah di tengah umat". Tempo (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-05-05.