Syech bin Abdullah Albar

Ketika musik gambus mulai dikenal secara luas di Indonesia. Salah satu tokoh yang menjadi pelopor adalah Syech Albar, ayah dari penyanyi legendaris Achmad Albar. Dia mendirikan sebuah orkes gambus bernama Al Wathon (Orkestra S. Albar) yang pertama kali tampil di NIROM Surabaya pada tahun 1935. Di Surabaya, Syech Albar menghasilkan banyak rekaman piringan hitam. Salah satu rekamannya yang terkenal adalah pada tahun 1937 dengan judul "Zahrotoel Hoesoen", yang dideskripsikan sebagai "lagu Arab modern" dan dirilis melalui label His Master's Voice (HMV). Syech Albar pertama kali menandatangani kontrak dengan HMV pada tahun 1931. Selain HMV, lagu-lagu dari Orkestra S. Albar juga direkam dan dirilis melalui label Canary Records.

Sebagai pionir musik gambus, Syech Albar memiliki pengaruh besar dalam memperkenalkan genre musik ini ke khalayak luas di Indonesia. Musiknya memadukan instrumen tradisional gambus dengan sentuhan modern, menciptakan karya-karya yang menginspirasi generasi berikutnya. Warisan musiknya terus dikenang sebagai bagian penting dari sejarah musik Indonesia.

Syech Albar dikenal karena lagu-lagunya seperti "Lativil Roeh" dan "Waslel Habib," yang memadukan instrumen gambus dengan lirik bernuansa Islami. Musik gambus era ini sering disebut gambus Melayu dan memiliki ciri khas nuansa religius yang kuat.

Pada era modern, musik gambus mulai memasuki ranah industri musik populer. Di awal tahun 2000-an, grup musik lintas budaya bernama Debu memperkenalkan musik gambus modern dengan sentuhan sufistik, yang mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Namun, setelah kemunculan Debu, musik gambus mengalami stagnasi dalam industri musik Indonesia. Meskipun demikian, nama-nama seperti Sabyan Gambus muncul di era 2010-an dengan lagu-lagu Islami bernuansa pop, meskipun keberadaan mereka sebagai pelopor musik gambus modern masih menjadi perdebatan.

Menurut Aris Setiawan, Dosen Etnomusikologi ISI Solo, kelompok musik seperti Sabyan lebih banyak memanfaatkan label "gambus" sebagai identitas, tetapi tidak secara mendalam mengeksplorasi esensi musik gambus dalam karya-karya mereka.[1] Meski demikian, keberadaan grup-grup tersebut tetap menjadi bukti bahwa gambus memiliki daya tarik lintas generasi dan tetap relevan dalam berbagai bentuk interpretasi di masyarakat Indonesia.

Referensi

sunting

Bacaan Lebih Lanjut

sunting
  • Sakrie, Denny (25 Maret 2015). 100 Tahun Musik Indonesia [100 Tahun Musik Indonesia]. Jakarta: Gagas Media. ISBN 978-9797807856.
  • Shahab, Alwi (2004). Saudagar Baghdad dari Betawi [Saudagar Baghdad dari Betawi]. Jakarta: Penerbit Republika. ISBN 9793210303.
  • Hadimadja, Ramadhan Karta; Budiarto, Nina Pane (2006). Pengusaha, Politikus, Pelopor Industri Film Djamaludin Malik: Melekat di Hati Banyak Orang [Pengusaha, Politikus, Pelopor Industri Film Djamaludin Malik: Melekat di Hati Banyak Orang]. Jakarta: Kata Hasta Pustaka. ISBN 9789791056021.
  • Weintraub, Andrew N. (26 Agustus 2010). Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia's Most Popular Music. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780199780235.
  • Weintraub, Andrew (2010). "Music and Malayness: Orkes Melayu in Indonesia. 1950-1965". Musiques d'un Archipel. 79 (2). Paris: Institut national des langues et civilisations orientales: 57–78. doi:10.3406/arch.2010.4160.
  • Isa, L. M. (4 Desember 1949). "Mengenangkan Almarhum Sjech Albar" [Kenangan Almarhum Sjech Albar]. Pedoman Radio Gids (dalam bahasa Indonesia). Djakarta: Radio Republik Indonesia.

|}