Tan Gin Ho
Tan Gin Ho, Letnan Cina (1880–1941) dulu adalah seorang birokrat, penulis berbahasa Melayu, dan keturunan dari keluarga Tan dari Cirebon, bagian dari 'Cabang Atas' di Hindia Belanda (kini Indonesia).[1][2]
Biografi
suntingLahir di Cirebon, Tan adalah putra sulung dari Ong Hwie Nio dan Tan Tjin Kie, Mayor-tituler Cina, pemimpin komunitas Cina di Cirebon (1852–1919).[1][3] Melalui ayahnya, Tan adalah cucu dan cicit dari Kapitan Cina Cirebon sebelum ayahnya.[2] Anggota keluarga Tan banyak yang menjadi pejabat Cina, yang terdiri dari jabatan Mayor, Kapitan, dan Letnan Cina, yang saat itu merupakan bagian dari birokrasi sipil di Hindia Belanda.[1][2]
Tan memiliki seorang saudara, Tan Gin Han, dan seorang saudari, Tan Ho Lie Nio.[2] Seperti sebagian besar Tionghoa Peranakan lain, Tan adalah penutur bahasa Melayu, tetapi karyanya menunjukkan bahwa pendidikan yang ia tempuh membuatnya familiar dengan Klasik Tionghoa dan mampu – setidaknya menulis – dalam bahasa Belanda. Ia juga sangat tertarik dengan Konfusianisme, Daoisme, Buddhisme, dan teosofi.[1][2][4]
Pada tahun 1897, di usia 17 tahun, Tan Gin Ho diangkat menjadi Letnan Cina.[2] Mulai tahun 1907 hingga 1909, Letnan Tan Gin Ho mengambil cuti dan digantikan sementara oleh saudara iparnya, Letnan Kwee Tjong In.[2] Tan kemudian mengundurkan diri dari jabatannya pada tahun 1913.[2]
Pada tahun 1914, saudara Tan, Tan Gin Han, membeli satu unit Fiat Landaulet Torpedo, sebuah mobil mewah sepanjang enam meter, dari importir mobil Verweij en Lugard's Automobiel Maatschappij.[4] Pembelian tersebut kemudian memicu ketertarikan dari keluarga besar Tan untuk ikut membeli mobil, termasuk sepupu mereka, keluarga Kwee dari Ciledug.[4]
Sesaat setelah ayahnya meninggal pada tahun 1919, Letnan Tan Gin Ho menulis buku Peringetan dari Wafatnja Majoor Tan Tjin Kie (Batavia, 1919) yang ternyata sangat diminati.[5][4] Buku tersebut merinci hari-hari menjelang ayahnya meninggal, pengaturan dan upacara pemakaman, serta pesan duka dan petinggi yang melayat.[5][4] Buku tersebut juga dilengkapi dengan foto-foto koleksi keluarga, yang menunjukkan kehidupan mewah dari keluarga Tan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.[5][4] Sebuah artikel koran pada tahun 1919 memperkirakan bahwa biaya pemakaman dan pembangunan mausoleum ayah Tan mencapai 580.000 gulden – sekitar jutaan dolar Amerika Serikat pada tahun 2019.[4]
Buku Tan pun menjadi semacam eulogi atas status keluarganya sebagai keluarga Cabang Atas tertua dan terkemuka di Karesidenan Cirebon.[4] Perang Dunia I (1914–1918) dan krisis gula kemudian menghancurkan kondisi keuangan keluarga Tan.[4] Lebih lanjut, pemerintah Hindia Belanda juga mengenakan pajak laba perang sebesar satu juta gulden kepada keluarga Tan.[4] Pada tahun 1922, Letnan Tan Gin Ho dan saudaranya, Tan Gin Han, mengajukan kebangkrutan, dan terpaksa menjual Pabrik Gula Loewoenggadjah – salah satu pabrik gula terbesar di Jawa yang dimiliki oleh etnis Tionghoa. Pabrik gula tersebut didirikan pada tahun 1828 oleh kakek buyutnya, Kapitan Tan Kim Lim.[2][4] Pada tahun 1931, keduanya resmi dinyatakan bangkrut.[2][4]
Buku pertama Letnan Tan Gin Ho adalah adaptasi ulang dari sebuah hagiografi Eropa mengenai Napoleon, Kaisar Prancis.[1] Selama dekade 1930-an dan awal dekade 1940-an, Tan pun menulis, menerjemahkan, dan mengadaptasi ulang sejumlah buku bertema sastra, sejarah, agama, dan astrologi.[1] Tan akhirnya meninggal di Cirebon pada tahun 1941.[1]
Pendahulu
suntingSilsilah dari Tan Gin Ho | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
|
Karya
sunting- Peringetan dari wafatnja Majoor Tan Tjin Kie Batavia: G. Kolff & Co. (1919)[5]
- Kitab "Ka'adjaiban takdir": dari soeal takdir, masoek dalam soeal agama Batavia: The Chinese & English Book (1935)[6]
- Wet dari karma dan Wet dari reincarnatie Cirebon: De Boer (1938)[7]
- To dan Tek-to menerangkan wet-alam, sorga dan neraka Batavia: The Chinese & English Book (1940)[8]
Referensi
sunting- ^ a b c d e f g Wei-Ying, Ku; Ridder, Koen De (2001). Authentic Chinese Christianity: Preludes to Its Development (nineteenth and Twentieth Centuries) (dalam bahasa Inggris). Leuven: Leuven University Press. ISBN 978-90-5867-102-8. Diakses tanggal 1 December 2019.
- ^ a b c d e f g h i j k Haryono, Steve (2017). "Chinese officers in Cirebon". Wacana (dalam bahasa Inggris). 18 (1): 216–236. doi:10.17510/wacana.v18i1.578 . ISSN 2407-6899. Diakses tanggal 1 December 2019.
- ^ a b Haryono, Steve (2017). Perkawinan Strategis: Hubungan Keluarga Antara Opsir-opsir Tionghoa Dan 'Cabang Atas' Di Jawa Pada Abad Ke-19 Dan 20 (dalam bahasa Inggris). Utrecht: Steve Haryono. ISBN 978-90-90-30249-2. Diakses tanggal 1 December 2019.
- ^ a b c d e f g h i j k l Post, Peter (2019). The Kwee Family of Ciledug: Family, Status, and Modernity in Colonial Java (dalam bahasa Inggris). LM Publishers. ISBN 978-94-6022-492-8. Diakses tanggal 1 December 2019.
- ^ a b c d Tan, Gin Ho (1919). Peringetan dari wafatnja Majoor Tan Tjin Kie. Batavia: G. Kolff & Co. Diakses tanggal 1 December 2019.
- ^ Kitab Ka'adjaiban takdir: dari soeal takdir, masoek dalam soeal agama. Batavia: The English & Chinese Book. 1935. Diakses tanggal 1 December 2019.
- ^ Tan, Gin Ho (1938). Wet dari karma dan Wet dari reincarnatie. Cirebon: De Boer. Diakses tanggal 1 December 2019.
- ^ To dan Tek-to menerangkan wet-alam, sorga dan neraka. Batavia: The Chinese & English Book. 1940. Diakses tanggal 1 December 2019.