Tanah Rejang

istilah untuk wilayah yang dididami oleh suku Rejang

Tanah Rejang (Rejang: Tanêak Jang, Tanêah Hêjang, Belanda: Redjang-landen) adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan daerah kediaman dan daerah persebaran suku Rejang serta pengaruh teritorial dan budaya mereka, termasuk di dalamnya luak dan Ulau Bioa. Pada masa sekarang, wilayah Tanah Rejang berada di wilayah administrasi Provinsi Bengkulu dan Provinsi Sumatera Selatan.[1] Tanah Rejang di wilayah administrasi Provinsi Bengkulu lebih luas dibanding dengan yang berada di wilayah administrasi Provinsi Sumatera Selatan.

Redjang Country atau Negeri Rejang adalah istilah untuk Tanah Rejang yang dipakai oleh M.A. Jaspan dalam karyanya yang berjudul Folk Literature of South Sumatra, Redjang Ka-Ga-Nga Texts. Karangan tersebut membahas mengenai Aksara Kaganga.

Dalam buku The History of Sumatra karya William Marsden, seorang sekretaris dari Presiden Benteng Marlborough, Tanah Rejang disebut sebagai Redjang Country yang secara harafiah bermakna Negeri Rejang.[2] Istilah yang sama dipergunakan oleh M.A. Jaspan yang meneliti teks Rikung. Ia menyebut bahwa suku bangsa Rejang mendiami wilayah atau tanah yang disebut Redjang Country (Negeri Rejang).

Marga sunting

Masyarakat di Tanah Rejang terbagi ke dalam beberapa marga yang mendiami Bengkulu dan Sumatera Selatan. Marga dalam hal ini tidak dipahami sebagai suatu klan atau suatu masyarakat adat yang didasarkan atas hubungan darah (genealogis). Namun, lebih kepada suatu masyarakat adat yang berdasarkan teritorial, walaupun di antara mereka masih memiliki pertalian darah. Oleh sebab itu Tanah Rejang dan wilayah marga-marga luasnya melebihi luas daerah penutur bahasa Rejang itu sendiri.[3]

Marga-marga di Tanah Rejang bukanlah budaya asli daerah ini. Masyarakat Rejang sebelumnya tak pernah mengenal konsep marga. Kehadiran marga di daerah ini adalah buah kerja J. Walland yang merupakan seorang Asisten Residen Belanda di Keresidenan Palembang yang dipindahtugaskan ke Bengkulu pada tahun 1861. Di wilayah Keresidenan Palembang pada masa itu memang telah terdapat marga-marga teritorial yang dibina sejak masa Kesultanan Palembang dan kebetulan terus dilestarikan oleh Pemerintah Kolonial. Ketika J. Walland sudah resmi menjabat, ia mulai membagi-bagi wilayah di Bengkulu termasuk wilayah Rejang dan daerah pengaruhnya ke dalam marga-marga teritorial. Untuk keperluan administrasi diangkatlah seorang kepala marga yang diberi gelar pasirah.[3]

Sebelum tahun 1861 Keresidenan Bengkulu tidak mengenal sistem marga. Kenyataan tersebut diperkuat oleh fakta-fakta sejarah yang terangkum sebagai berikut.[1]

  1. John Marsden, Residen Inggris di Lais, Bengkulu Utara (1775–1779) tidak pernah menyebut istilah marga. Istilah itu juga tidak termaktub dalam karya besar William Marsden mengenai sejarah Sumatra—The History of Sumatra—terbitan tahun 1783.
  2. Sir Thomas Stamford Raffles, Wakil Gubernur Jenderal di Bengkulu (1818–1824) tidak pernah menyebut istilah marga. Istilah itu juga tidak termaktub dalam Memoir of the Life and Public Services of Sir Th. St. Raffles by His Widow terbitan tahun 1820.
  3. J.H. Knoerle, Asisten Residen Belanda di Bengkulu (1831–1833) tidak pernah menyebut istilah marga. Istilah itu juga tidak termaktub dalam notanya yang berjudul Aanteekeningen gehouden op een reis in de binnenlanden van Sumatra enz. De Oosterling 1832.
  4. L.O. Westenenk, Residen Belanda di Bengkulu (1915--1919) dalam Memorie van Ovsgrave'-nya juga menyatakan bahwa nama marga di Bengkulu dan Rejang tidak terdapat sebelum pertengahan abad kesembilan belas masehi.

Geografi sunting

Tanah Rejang meliputi daerah pesisir di Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah, dataran rendah, dan Bukit Barisan. Di Bukit Barisan, terdapat dua luak yang merupakan pusat budaya Rejang, masing-masing Luak Lêbong dan Luak Ulau Musai.[4] Daerahnya dikenal dengan persawahan, perkebunan kopi, dan pertanian sayur-mayur. Sungai Musi, Rawas, dan Ketahun adalah tiga sungai utama yang mengalir di tanah ini. Masyarakat Rejang yang berdiam di sepanjang aliran Sungai Musi umumnya berbahasa Rejang menggunakan dialek Musai (Musi). Sedangkan yang tinggal di kepala Sungai Rawas berbahasa Rejang dalam dialek Awês atau Abês (Rawas). Di sepanjang hulu Ketahun, bermukimlah masyarakat Rejang yang menggunakan dialek Lêbong. Semakin ke hulu sadêi (kampung) seseorang, maka mereka dikenal sebagai orang Ai atau orang hulu. Dan semakin ke hilir, maka dikategorikan sebagai orang Lot.

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b Siddik 1980, hlm. 17.
  2. ^ Marsden 1783, hlm. 40, 207.
  3. ^ a b Siddik 1980, hlm. 19.
  4. ^ Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah 1979, hlm. 88.

Daftar pustaka sunting

  • Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah (1979). Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Bengkulu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya. Diakses tanggal 7 Desember 2021. 
  • Marsden, William (1783). The History of Sumatra, containing An Account of the Government, Laws, Customs, and Manners of the Native Inhabitants, With A Description of the Natural Productions, And A Relation of the Ancient Political State of the Island. hlm. 40, 207. 
  • Siddik, Abdullah (1980). Hukum Adat Rejang. Jakarta: PN Balai Pustaka. hlm. 17, 19.