Tari Benten
Tari Benten adalah tari berpasangan dari masyarakat Pesisir Selatan yang disertai dengan adok dan dendang. Tari ini dilakukan oleh dua orang laki-laki. Tari Benten hanya dilakukan sekitar 23 sampai 25 menit sesuai dengan perasaan yang sedang dialami oleh musikus, pendendang dan penari. Tari Benten berkembang melalui pemuka adat. pemerintah Nagari, dan pemerintahan sipil. Para pemain menampilkan gerakan yang berbeda. Maknanya adalah keadaan kehidupan manusia yang selalu berubah-ubah sesuai dengan umur dan tujuan hidupnya. Tari Benten mengisahkan tentang seorang ibu yang bernama Benten, suaminya yang bernama Adau Adau, serta dua orang anaknya yang bernama Buai Buai dan Rantak Kudo. Gerakan Tari Benten juga menyerupai gerakan elang yang sedang terbang.[1]
Gerakan
suntingGerakan dasar dari Tari Benten adalah gerakan menimang bayi dan gerakan kegiatan sehari-hari dalam bekerja. Selain itu, terdapat gerakan yang menyerupai elang yang sedang terbang sambil berputar-putar pada siang hari.[2] Saat melakukan tari Benten, badan harus sedikit lebih maju ke depan daripada kepala seperti sedang menarik pukat harimau. Kedua tangan harus merentang dan gerakan kepala disesuaikan dengan gerakan tangan. Perubahan gerak ditandai dengan perubahan irama musik pengiring dan gerakan penari yang berdiri dan melebar. Setelahnya, para penari saling membalikkan badan ke belakang dan melanjutkan gerakan baru. Ha ini dilakukan secara berulang hingga tarian selesai. Gerakan hanya dilakukan melalui satu arah yaitu ke dapan. Jenis gerakannya beragam, mulai dari berputar hingga bergerak ke samping kiri dan kanan. Dalam Tarian Benten, kaki lebih banyak bergerak dibandingkan dengan tangan.[3]
Kisah
suntingTari Benten mengisahkan seorang ibu yang bernama Benten berserta keluarganya. Suaminya bernama Adau Adau. Mereka memiliki tiga anak yang bernama Buai Buai, Rantak Kudo, dan Nandi Nandi. Keluarga ini hidup sebagai petani di Pasar Kuok Batang Kapas. Pesan yang disampaikan dalam kisahnya adalah mengenai kesombongan diri Rantak Kudo dan sifat durhaka kepada orang tua yang dimilikinya. Rantak Kudo adalah adik dari Buai Buai dan Kakak dari Nandi Nandi. Tokoh yang diceritakan sejak awal kisah yaitu Rantak Kudo, Benten, dan Buai Buai. Sedangkan Nandi Nandi hanya diceritakan saat dilakukan tari pengiring Rantak Kudo.[4]
Penyelenggaraan
suntingTari Benten selalu ditampilkan pada awal peprtunjukan bersama dengan tari tradisi lainnya di Laban. Setelah itu dilakukan tari Buai-buai, dan kemudian Rantak Kudo. Sedangkan nandi-nandi dalam tari hanya disebut dalam dendang pengiring tari Benten, Buai-buai, dan Rantak Kudo. Sejarah Rantak kudo versi Jorong Laban sama dengan Painan Timur, dalam pertunjukan juga diawali dengan Benten, Buai-buai, dan Rantak Kudo.[4]
Dendang
suntingDendang yang menjelaskan kesombongan Rantak Kudo dimulai dari ucapan Benten sebagai berikut:[4]
Ilala nak tuangku Rabbi (Ya Allah ya Tuhanku)
Bakudo lalu ka Jambangan (berkuda lalu ke Jembangan)
Kok indak dapek mukasuik (hati tidak dapat yang di hati)
Badoso mato bapandangan (Berdosa mata berpandangan)
Rantak Kudo kemudian menjawab sebagai berikut:[4]
Duo tigo pelem dibukak (Dua tiga film dibuka)
Balun tantu jatuah ka sudu (belum tentu jatuh ke sudu)
Jatuah ka sayak duo tigo (Jatuh ke sayak dua tiga)
Tigo bulan dikanduang bapak (Tiga bulan dikandung bapak)
Alun tantu jatuah ka ibu (Belum tentu jatuh ke ibu)
Kasieh jo kawan alah juo (Kasih dengan teman sudah mulai juga)
Referensi
sunting- ^ ditwdb (2019-09-04). "Tari Benten, Tari Masyarakat Tradisional Minangkabau". Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya. Diakses tanggal 2020-09-18.
- ^ Wahyuni, W., Yusfil, dan Suharti Juni 2018, hlm. 252–253.
- ^ Wahyuni, W., Yusfil, dan Suharti (25 Oktober 2017). "Gaya Tari Darek dan Pasisia di Minangkabau". Prosiding Seminar Nasional dan Pameran hasil Penelitian & Pengabdian Masyarakat: Seni Teknologi, dan Masyarakat. 2: 107.
- ^ a b c d Nerosti (Oktober 2017). "Tiga Gaya Tari Rantak Kudo Berpotensi sebagai Sajian Pariwisata di Kawasan Mandeh dan Sekitarnya". Journal of Urban Society’s Art. 4 (2): 97. doi:10.24821/jousa.v4i2.2162. ISSN 2355-214X.