Teori ikatan valensi
Dalam kimia, teori ikatan valensi atau teori ikatan valens [1] menjelaskan sifat ikatan kimia dalam suatu molekul dari sudut valensi atom.[2] Teori ini menyimpulkan suatu aturan bahwa atom pusat dalam suatu molekul cenderung untuk membentuk ikatan elektron ganda sesuai dengan batasan geometris seperti kurang lebih ditentukan oleh aturan oktet.
Pada tahun 1916, G.N. Lewis mengusulkan suatu ikatan kimia yang terbentuk melalui interaksi dua elektron yang berbagi ikatan (shared bonding electron) dengan representasi molekul seperti struktur Lewis. Dengan menggunakan teori Heitler-London (1927), untuk pertama kalinya dimungkinkan untuk menghitung sifat hidrogen berdasarkan pertimbangan mekanika kuantum. Dua konsep utama lain dalam teori ikatan valensi adalah resonansi (1928) dan hibridisasi orbital (1930) yang dikembangkan oleh Linus Pauling.
Sejarah
suntingBerdasarkan teori Bohr, diketahui bahwa teori Lewis-Langmuir tentang ikatan kovalen gagal menjawab pertanyaan mendasar mengenai alasan mengapa atom membentuk ikatan, atau mengapa molekul lebih stabil jika ada minimal dua atom yang membentuknya.
Dengan menggunakan mekanika kuantum, dua fisikawan Jerman Walter Heitler dan Fritz London (1927) akhirnya berhasil menjelaskan pembentukan molekul hidrogen dengan penyelesaian persamaan gelombang sistem yang terdiri atas dua atom hidrogen melalui pendekatan valensi atom.
Sistem yang digunakan yaitu proton dan elektron dari setiap atom yang berikatan. Mereka kemudian menghitung energi sistem sebagai fungsi jarak antar atom dengan asumsi bahwa dua sistem harus menyumbang sama besar pada pembentukan ikatan. Dari percobaan ini, mereka berhasil menjelaskan dengan kuantitatif terjadinya ikatan kovalen. Sehingga metode ini memiliki potensi untuk menjelaskan ikatan kimia secara umum. Berikut gambar hasil percobaan Heitler-London.
Teori ikatan valensi
suntingTeori ikatan valensi merupakan teori mekanika kuantum pertama yang muncul pada masa awal penelitian ikatan kimia yang didasarkan pada percobaan W. Heitler dan F. London pada tahun 1927 mengenai pembentukkan ikatan pada molekul hidrogen. Selanjutnya, teori ini kembali diteliti dan dikembangkan oleh Linus Pauling pada tahun 1931 sehingga dipublikasikan dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul “On the Nature of the Chemical Bond”. Dalam jurnal ini dikupas hasil kerja Lewis dan teori ikatan valensi oleh Heitler dan London sehingga menghasilkan teori ikatan valensi yang lebih sempurna dengan beberapa postulat dasarnya, sebagai berikut:
- Ikatan valensi terjadi karena adanya gaya tarik pada elektron-elektron yang tidak berpasangan pada atom-atom.
- Elektron - elektron yang berpasangan memiliki arah spin yang berlawanan.
- Elektron-elektron yang telah berpasangan tidak dapat membentuk ikatan lagi dengan elektron-elektron yang lain.
- Kombinasi elektron dalam ikatan hanya dapat diwakili oleh satu persamaan gelombang untuk setiap atomnya.
- Elektron-elektron yang berada pada tingkat energi paling rendah akan membuat pasangan ikatan-ikatan yang paling kuat.
- Pada dua orbital dari sebuah atom, orbital dengan kemampuan bertumpang tindih paling banyaklah yang akan membentuk ikatan paling kuat dan cenderung berada pada orbital yang terkonsentrasi itu.
Ke enam postulat dasar di atas disimpulkan dari sejumlah penelitian terhadap pembentukkan ikatan pada molekul hidrogen berdasarkan persamaan fungsi gelombang elektron pada masing-masing orbital yang berikatan. Pembahasan selanjutnya diadaptasi dari buku Inorganic Chemistry karangan Shriver dan Atkins mengenai ikatan valensi dalam molekul hidrogen, sebagai berikut:
Ikatan valensi pada molekul Hidrogen Dalam teori ikatan valensi, yang menjadi titik tekannya yaitu fungsi gelombang elektron-elektron yang berpasangan dibentuk dari tumpang tindih fungsi gelombang pada masing-masing orbital dari atom-atom yang berkontribusi dan saling terpisah.
Jika terdapat satu elektron pada masing-masing dua atom H yang berlainan maka kemungkinan fungsi gelombang pada tiap sistem adalah sebagai berikut: Ψ = χA(1)χB(2)... Ψ = χA(2)χB(1)...
Keterangan: χA dan χB adalah orbital-orbital 1s pada atom A dan B. Sementara angka 1 dan 2 merepresentasikan elektron yang berikatan dengan proton pada masing-masing atom A dan B.
Ketika kedua atom H berada pada keadaan yang sangat dekat, kita tidak dapat mengetahui apakah elektron 1 terikat pada atom A dan elektron 2 terikat pada atom B atau justru sebaliknya, sehingga deskripsi yang paling mungkin adalah membuat dua fungsi gelombang pada kedua sistem yang mungkin terjadi. Saat kedua kemungkinan ini disatukan dalam gelombang superposisi maka penjelasan yang lebih baik adalah kombinasi linear dari keduanya. Ψ = χA(1)χB(2) + χA(2)χB(1)...
Fungsi di atas merupakan fungsi gelombang untuk ikatan H-H. Kedua fungsi ini berinterferensi konstruktif sehingga terjadi kenaikkan amplitudo di daerah fungsi gelombang dalam nukleus (inti). Untuk menjelaskan lebih rinci digunakan prinsip Pauli yang menyatakan bahwa hanya elektron-elektron dengan spin berpasangan yang dapat dideskripsikan oleh fungsi gelombang di atas. Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa pada teori ikatan valensi, fungsi gelombang dibentuk oleh pasangan spin dari elektron-elektron pada kedua orbital atom-atom yang berikatan. Ikatan yang terjadi dari tumpang tindih ini adalah ikatan sigma (б). Berikut merupakan contoh formasi ikatan sigma dari orbital s dan p yang saling tumpang tindih:
Penerapan teori ikatan valensi
suntingPenerapan teori ikatan valensi pada molekul diatomik
suntingTeori ikatan valensi mengasumsikan bahwa sebuah ikatan kimia terbentuk ketika dua valensi elektron bekerja dan menjaga dua inti atom bersama. Oleh karena efek penurunan energi sistem, teori ini berlaku dengan baik pada molekul diatomik. Menurut teori ini, elektron-elektron dalam molekul menempati orbital-orbital atom dari masing-masing atom.
Penerapan teori ikatan valensi pada molekul diatomik dapat dilihat pada pembentukan molekul H2 dari atom H seperti yang telah dijabarkan di atas.
Penerapan teori ikatan valensi pada molekul poliatomik
suntingTeori ikatan valensi dapat juga diterapkan dalam molekul poliatomik beriringan dengan teori hibridisasi molekul.[3] Dalam contoh ini disajikan penerapan teori ikatan valensi untuk menjelaskan mengenai hibridisasi sp3 pada molekul metana (CH4).
Metana memiliki atom pusat sebuah karbon yang berkoordinasi secara terahedral. Oleh karena itu, atom karbon pusat haruslah memiliki orbital-orbital yang simetri tepat dengan 4 atom hidrogen. Konfigurasi dasar dari karbon adalah:
Dengan teori ikatan valensi, maka dapat diprediksi bahwa berdasarkan pada keberadaan dua orbital yang terisi setengah, atom C akan membentuk dua buah ikatan kovalen membentuk CH2. Namun CH2 merupakan molekul yang sangat reaktif sehingga teori ikatan valensi saja tidak cukup untuk menjelaskan terbentuknya molekul CH4. Untuk itu, digunakan teori hibridisasi, dimana langkah awal adalah eksitasi satu atau lebih elektron valensi C.
Proton yang membentuk inti hidrogen akan akan menarik salah satu elektron valensi karbon sehingga menyebabkan eksitasi (pemindahan elektron 2s ke orbital 2p) dan terbentuklah ikatan berhibrid sp3.
Persamaan dan perbedaan VBT dengan MOT
suntingBerikut adalah gambaran singkat VBT jika dibandingkan dengan teori MOT dalam menjelaskan ikatan kovalen.
Persamaan
suntingTeori ikatan valensi dan teori orbital molekul memiliki beberapa konsep dasar yang sama, diantaranya adalah:
- Keduanya sama-sama melibatkan pembagian elektron-elektron yang ada dalam sebuah atom ataupun molekul sehingga memiliki paling banyak dua elektron pada setiap pasangnya.
- Kedua teori ini menjadikan kombinasi dari elektron-elektron yang ada oleh inti masing-masing atom atau molekul sebagai konsep pembentukkan ikatan
- Berdasarkan pada kedua teori ini, energi dari orbital-orbital yang saling tumpang tindih merupakan bentuk perbandingan dan memiliki kesamaan pada bentuk simetrinya.
Perbedaan
suntingNo. | Perbedaan | VBT | MOT |
---|---|---|---|
1. | Ikatan | Ikatan hanya dibebankan pada kedua atom, tidak pada molekul | Ikatan dibebankan pada kedua atom dan juga molekul |
2. | Tokoh pengusung | Pertama kali diusulkan oleh W. Heitler dan F. London pada tahun 1927 | Pertama kali diusulkan oleh F. Hund dan R.S. Mulliken pada tahun 1932 |
3. | Penerapan | Menggunakan konsep hibridisasi dan resonansi dalam penerapannya | Tidak ada ruang bagi penerapan resonansi dalam teori ini |
4. | Hubungan dengan sifat paramagnetik Oksigen | Tidak dapat menjelaskan sifat paramagnetik pada Oksigen | Dapat menjelaskan sifat paramagnetik pada Oksigen |
5. | Pendekatan kuantitatif | Pendekatan dalam perhitungan memiliki langkah yang cukup sederhana | Pendekatan dalam perhitungan cukup rumit dan membutuhkan ketelitian lebih tinggi |
Daftar Pustaka
sunting- Atkins, P.W., T.L. Overton, J.P. Rourke, M.T. Weller, and F.A. Armstrong. Inorganic Chemistry, Fifth Edition. Great Britain: Oxford University Press, 2010.
- Gillespie, Ronald J., and Paul L.A. Popelier. Chemical Bonding and Molecular Geometry, From Lewis to Electron Densities. New York: Oxford University Press, Inc, 2001.
Rujukan
sunting- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-06-09. Diakses tanggal 2008-05-23.
- ^ Murrel, JN, Kettle, SF Tedder, JM "The Chemical Bond", John Wiley & Sons (1985) ISBN 0-471-90759-6
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-04-03. Diakses tanggal 2020-03-12.