Tetaken adalah upacara adat berupa ritual sedekah bumi yang dilaksanakan oleh masyarakat di lereng Gunung Limo, tepatnya berada di Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, Indonesia. Upacara adat ini dilaksanakan pada tanggal 15 Muharam menutur kalender Islam dan diwarisi secara temurun.

Tetaken dilakukan untuk mengenang sejarah Desa Mantren dan leluhur mereka yang "babat alas" untuk membuka lahan. Rangkaian tetaken diawali proses pertapaan. Para peserta pertapa akan melewati sejumlah tahap dan setelah selesai disambut warga yang umumnya berprofesi sebagai petani dengan menyuguhkan hasil bumi. Upacara adat ditutup dengan tarian Langen Bekso yang dilakukan secara berpasangan.

Sejak 2015, Pemerintah Kabupaten Pacitan mengangkat tetaken ke ajang Festival Gunung Limo.

Sejarah

sunting

Tetaken berasal dari kata "tetekian" dalam bahasa Sansekerta yang berarti teteki dan mendapat imbuhan "-an" sehingga menjadi tetekian yang berarti pertapaan. Penyebutan tetekian menjadi tetaken mengikuti karakter bahasa setempat untuk mempermudah penyebutan. Upacara adat ini diadakan untuk mengenang sejarah Desa Mantren dan leluhur mereka yang "babat alas" untuk membuka lahan, yakni Kyai Tunggul Wulung. Setelah bertapa di Gunung Limo, Kyai Tunggul Wulung membuka lahan di sekitar lereng gunung yang kini menjadi Desa Mantren dan menyebarkan Islam ke seluruh Pacitan. Mantren sendiri berasal dari kata “mantri” atau punggawa kerajaan, merujuk pada latar belakang Kyai Tunggul Wulung sebagai seorang pejabat keraton yang ditugasi amanah membabat alas.[1][2]

Prosesi

sunting

Upacara adat tetaken dilaksanakan setiap tahun secara rutin pada bulan Muharam dalam kalender Islam, tepatnya tanggal 15. Prosesi pelaksanaan dibagi atas prosesi awal dan prosesi inti. Sebelum upcara adat dimulai, empat puluh hari sebelumnya terdapat kegiatan yang dilakukan oleh para peserta pertapa. Dalam prosesi ini, para pertapa akan melakukan yaitu sebo. Setelah menerima arahan dari "juru kunci" yakni sesepuh adat, mereka akan diangkat sebagai cantrik dan menaiki Gunung Lima untuk bersemedi.[3]

Upacara adat akan dimulai ketika thontongan dibunyikan. Para pertapa disambut iring-iringan warga memasuki areal upacara. Para warga yang umumnya berprofesi petani mengenakan pakaian adat Jawa dan membawa berbagai hasil bumi maupun keperluan ritual, misalnya tumpeng dan ingkung. Beberapa orang membawa bumbung, yakni wadah air dari bambu berisi legen atau nira, air yang diperoleh dari pohon aren. Para pembawa legen secara bergilir menuangkan isi bumbungnya ke dalam gentong. Setelah semua penunjang ritual berada di tempat acara, upacara inti dimulai yakni memberi tanda kelulusan kepada para peserta pertapa. Mereka satu per satu diberi minum air dari sari aren tersebut. Selanjutnya, mereka secara bergilir menghadapi tes mental dengan penguasaan ilmu bela diri, terkadang mendapatkan cambukan.[4]

Pada akhir acara, semua warga peserta upacara adat tetaken melakukan tarian bersama Langen Bekso dengan cara berpasangan. Tarian ini diiringi permainan musik gending-gending Jawa.[4]

Festival

sunting

Upacara adat Tetaken pada tahun 2015 dimasukkan ke dalam salah satu agenda wisata budaya di Pacitan dengan penambahan konsep. Tetaken dijadikan rangkaian acara Festival Gunung Limo yang digelar oleh Pemeritnah Kabupaten Pacitan. Penambahan baru seperti adanya perjalanan pendakian puncak Gunung Limo, kajian Kasepuhan, wejangan pinisepuh Gunung Limo, dan Ruwatan Nagari. Penambahan tersebut bertujuan untuk menarik minat masyarakat untuk ikut melestarikan tradisi yang tetaken.[4]

Rujukan

sunting
Catatan kaki
Daftar pustaka