Teuku Muhammad Hasan

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan
(Dialihkan dari Teuku Mohammad Hassan)

Mr. Teuku Mohammad Hasan atau juga ditulis Teuku Muhammad Hasan (4 April 1906 – 21 September 1997) adalah Gubernur Provinsi Sumatra pertama[1] setelah Indonesia merdeka dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1948 hingga tahun 1949 dalam Kabinet Darurat.[2] Selain itu ia adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.

Teuku Muhammad Hasan
Mr. Teuku Muhammad Hasan
Gubernur Sumatra
Masa jabatan
1945–1948
WakilMohammad Amir
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Masa jabatan
19 Desember 1948 – 13 Juli 1949
Menteri Agama
Masa jabatan
19 Desember 1948 – 13 Juli 1949
Sebelum
Pendahulu
Masjkur
Pengganti
Masjkur
Sebelum
Wakil Ketua Senat Republik Indonesia Serikat
Masa jabatan
25 Februari 1950 – 16 Agustus 1950
Informasi pribadi
Lahir
Teuku Mohammad Hasan

(1906-04-04)4 April 1906
Belanda Pidie, Aceh, Hindia Belanda
Meninggal21 September 1997(1997-09-21) (umur 91)
Indonesia Jakarta, Indonesia
MakamTaman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata
AlmamaterLeiden University
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Riwayat Hidup

sunting

Kehidupan Awal

sunting

Teuku Muhammad Hasan dilahirkan tanggal 4 April 1906 sebagai Teuku Sarong, di Sigli, Aceh. Ayahnya, Teuku Bintara Pineung Ibrahim adalah Ulèë Balang di Pidie (Ulèë Balang adalah bangsawan yang memimpin suatu daerah di Aceh). Ibunya bernama Tjut Manyak.[3]

Dia bersekolah di Sekolah Rakyat (Volksschool) di Lampoeh Saka 1914-1917. Pada tahun 1924 bersekolah di sekolah berbahasa Belanda Europeesche Lagere School (ELS), dilanjutkan ke Koningen Wilhelmina School (KWS) di Batavia (sekarang Jakarta). Kemeudian ia masuk Rechtschoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum).

Masa-masa di Belanda

sunting

Pada usia 25 tahun, T.M Hasan memutuskan untuk bersekolah di Leiden University, Belanda. Selama di Belanda, ia bergabung dengan Perhimpunan Indonesia yang dipelopori oleh Muhammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdul Madjid Djojodiningrat dan Nasir Datuk Pamuntjak. Selain kesibukannya sebagai mahasiswa, Hasan juga menjadi aktivis yang mengadakan kegiatan-kegiatan organisasi baik di dalam kota maupun di kota-kota lain di Belanda

Hasan mendapatkan gelar Meester in de Rechten (Master of Laws) tahun 1933.

Kembali ke Tanah Air

sunting

Pada tahun 1933, Mr. T.M Hasan kembali ke Indonesia. Setiba di pelabuhan Ulee Lheue, Kutaraja, buku-bukunya disita untuk pemeriksaan karena dicurigai terdapat buku paham pergerakan yang akan membahayakan kedudukan pemerintah kolonial Belanda, khususnya di Aceh. Selama di Kutaraja, Hasan menjadi Pegiat di bidang Agama dan Pendidikan.

Di bidang agama, ia bergabung dengan organisasi Islam Muhammadiyah sebagai konsul di bawah pimpinan R.O. Armadinata. Pada era ini, Muhammadiyah berhasil mendirikan perkumpulan perempuan yakni Aisyiyah, Hizbul Wathan, dan sebuah lembaga pendidikan setingkat Hollandsch-Inlandsche School atau HIS. Perkembangan selanjutnya, Muhammadiyah juga mendirikan cabang-cabang di beberapa kota lain di Aceh. Tercatat pada masa akhir Pemerintahan Belanda di Aceh (1942), jumlah cabang Muhammadiyah di Aceh sebanyak 8 (delapan) buah.

Selain aktif di Muhammadiyah, Hasan juga aktif dalam dunia pendidikan. Ia ikut mempelopori berdirinya organisasi Atjehsche Studiefonds (Dana Pelajar Aceh) yang bertujuan untuk membantu anak-anak Aceh yang cerdas tetapi tidak mampu untuk sekolah.

Selain itu, Hasan juga menjadi komisaris organisasi pendidikan yang bernama Perkumpulan Usaha Sama Akan Kemajuan Anak (PUSAKA). Tujuan organisasi ini adalah untuk mendirikan sebuah sekolah rendah berbahasa Belanda seperti Hollandsch-Inlandsche School.

Aktivitas kependidikan Hasan yang lain ialah mendirikan Perguruan Taman Siswa di Kutaraja pada tanggal 11 Juli 1937. Dalam kepengurusan lembaga yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara ini, Hasan menjadi ketua dengan sekretaris Teuku Nyak Arief. Sesaat setelah pembentukannya, Hasan mengirim utusannya yaitu, Teuku M. Usman el Muhammady untuk menemui Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta. Tujuannya adalah memohon agar Taman Siswa memperluas jaringannya, yakni dengan mendirikan cabang di Aceh. Berdasarkan permohonan tersebut, Majelis Luhur Taman Siswa mengirim tiga orang guru ke Aceh, yaitu Ki Soewondo Kartoprojo beserta istrinya yang juga sebagai guru dan Soetikno Padmosoemarto. Dalam waktu yang relatif singkat, Hasan dan pengurus Taman Siswa di Kutaraja berhasil membuka 4 (empat) sekolah Taman Siswa di Kutaraja, yaitu sebuah Taman Anak, Taman Muda, Taman Antara dan Taman Dewasa.

Berkat pengalaman di bidang pendidikan tersebut, Hasan memutuskan pergi ke Batavia dan bekerja sebagai pengawai di Afdeling B, Departemen Van Van Onderwijsen Eiredeienst (Departemen Pendidikan). Selain itu, ia juga pernah menjadi pegawai di kantor Voor Bestuurshervarming Buintengewesten. Kemudian pada tahun 1938, Hassan kembali lagi ke Medan untuk bekerja pada kantor Gubernur Sumatra sampai tahun 1942. Pada era penjajahan Jepang ini, yakni antara tahun 1942 sampai 1945, Hasan tetap berada di Medan dan bekerja sebagai Ketua Koperasi Ladang Pegawai Negeri di Medan, kemudian menjadi Penasihat dan Pengawas Koperasi Pegawai Negeri di Medan dan Pemimpin Kantor Tinzukyoku (Kantor permohonan kepada Gunsaibu) di Medan. Ketika Jepang hendak angkat kaki dari Aceh tahun 1945, Hasan adalah sedikit dari tokoh-tokoh Aceh yang memiliki kesadaran kebangsaan dan bersedia bergabung dengan para nasionalis di Jakarta.

Pada 7 Agustus 1945 Mr. Teuku Muhammad Hasan dipilih menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno.[4]

Gubernur Sumatra Pertama

sunting
 
Susunan Kabinet Presidensial Soekarno setelah kemerdekaan Indonesia

Setelah kemerdekaan Indonesia, Mr. Teuku Muhammad Hasan diangkat menjadi Gubernur Sumatra I pada tanggal 22 Agustus 1945 dengan ibu kota provinsi di Medan.[5]

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia

sunting

Tidak lama setelah ibu kota RI di Yogyakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda II, mereka berulangkali menyiarkan berita bahwa RI sudah bubar. Karena para pemimpinnya, seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir sudah menyerah dan ditahan.

Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki ibu kota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatra, mengunjungi Mr. Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatra/Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan teh 15 Km di selatan kota Payakumbuh.

Sejumlah tokoh pimpinan republik yang berada di Sumatera Barat dapat berkumpul di Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. Teuku Muhammad Hasan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI Mr. A. Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi kawat Presiden Soekarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, maka dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut:

  • Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri ad interim
  • Mr. Teuku Muhammad Hasan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama,
  • Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda,
  • Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman,
  • Ir. M. Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan,
  • Ir. Indracaya, Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.

Nasionalisasi Perusahaan Perminyakan

sunting

Pada tahun 1951, sebagai ketua Komisi Perdagangan dan Industri DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara), Mr. T. M Hasan mengadakan suatu penelitian yang akhirnya menyimpulkan dua hal penting:

  1. Terdapat alasan kuat bahwa jika dilakukan nasionalisasi, hasil minyak Sumatera Utara bisa dipakai sebagai alat pembayaran.
  2. Indonesia tidak memperoleh bagian yang wajar dari perusahaan minyak asing berdasarkan Let Alone Agreement dan sistem pembayaran pajak yang berlaku.

Hasil penelitiannya tersebut kemudian diusulkan dalam sebuah mosi yang didukung oleh kabinet dan diterima secara aklamasi pada tanggal 2 Agustus 1951.

Mosi tersebut berbunyi antara lain:[6]

  1. Mendesak kepada pemerintah untuk dalam jangka waktu satu bulan membentuk sebuah Komisi Negara tentang masalah minyak, dengan tugas:
    1. Segera melakukan penyelidikan terhadap masalah pengolahan minyak, timah, batu bara, emas, perak, dan hasil tambang lainnya.
    2. Membuat rencana undang-undang perminyakan yang serasi dengan keadaan yang berlaku sekarang.
    3. Membantu pemerintah dengan usul-usul pendapat mengenai sikap yang patut diambil pemerintah berkenaan dengan status tambang minyak di Sumatera Utara pada khususnya dan pertambangan lain pada umumnya.
    4. Membantu pemerintah dengan usul-usul pertambangan di Indonesia.
    5. Membantu pemerintah dengan usul-usul pendapat mengenai pajak produksi bahan minyak dan ketentuan harga.
    6. Mengajukan usul-usul lain berkenaan dengan masalah pertambangan guna meningkatkan penghasilan negara, menyelesaikan tugasnya dalam waktu tiga bulan dan menyerahkannya kepada pemerintah dan parlemen.
  2. Mendesak kepada pemerintah supaya menunda pemberian konsesi dan izin eksplorasi baru sampai tugas yang diberikan kepada Komisi Negara tentang masalah pertambangan selesai.

Dalam mosi tersebut juga diusulkan agar pemerintah dalam waktu singkat meninjau kembali Indische Mijn Wet 1899, undang-undang kolonial yang masih tetap dipakai sebagai dasar pengelolaan minyak di Indonesia. IMW dianggap tidak sesuai lagi dengan asas-asas pokok pemikiran bangsa Indonesia.[7]

Untuk memenuhi mosi tersebut pada tanggal 13 September 1951 pemerintah membentuk Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP) yang bertugas menyelidiki masalah-masalah pertambangan termasuk pertambangan minyak dan gas bumi dan menyusun rancangan undang-undang untuk menggantikan IMW 1899.[8]

Hasan, dalam pidatonya mengenai mosi tersebut mengatakan bahwa kelompok Tiga Besar (Shell, Stanvac dan Caltex)[9] pada hakikatnya menerima lima kali lebih banyak daripada yang dilaporkannya. Ia berpendapat bahwa hal itu disengaja agar harga minyak mentah lebih murah dari yang semestinya, dan sebagai bukti dia mengutip sebuah penawaran dari suatu kelompok perusahaan minyak Jepang yang bersedia membayar minyak mentah Rp.950 per ton, dibandingkan dengan Rp.100 per ton yang dilaporkan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia dalam kaitannya dengan pembayaran pajak. Kedua, menurut Mr. T. M Hasan, perusahaan-perusahaan minyak itu dengan sengaja mempertinggi ongkos operasinya secara tidak wajar.

Yang menarik di sini adalah pembicaraan yang dilakukan oleh Hasan dengan para pejabat perusahaan minyak asing tidak lama setelah isi mosi itu diumumkan. Mereka mengusulkan pembagian keuntungan berdasarkan pola 50:50. Hal ini dijawab Hasan bahwa dengan pola demikian dikhawatirkan biaya operasi akan bisa di mark-up menjadi lebih tinggi. Ia kemudian mengajukan usul balasan agar hasil produksi minyak di Indonesia dibagi saja antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan minyak asing atas dasar sama banyak. Usulan Hasan tersebut membuat para bos perusahaan minyak asing tercengang dan tidak berani bersuara.[10][11]

Efek dari mosi ini adalah dibentuknya Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP), dan pada Maret 1956 Mr. T.M. Hasan ditunjuk sebagai ketua,[12] dan berhasil menasionalisasi beberapa perusahan minyak asing menjadi Permina (1957) dan Pertamin (1961). Kedua perusahaan ini pada tahun 1968 digabung menjadi Pertamina.[13]. [14]

Kehidupan selanjutnya

sunting

Memasuki masa Orde Baru, Teuku Mohammad Hasan terkesan menjauh dari keterlibatan di dalam dunia politik.[3] Ia memutuskan kembali ke dunia pendidikan yang telah cukup lama ditinggalkannya dengan merintis pendirian Universitas Serambi Mekkah di Banda Aceh pada 21 Maret 1984.[15] Ia juga menulis beberapa buku. Salah satu bukunya adalah Sejarah Perminyakan di Indonesia (diterbitkan oleh Yayasan Sari Pinang Sakti, 1985).[16]

Teuku Mohammad Hasan meninggal dunia pada tanggal 21 September 1997 di Jakarta. Jasadnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan.[3]

 
Batu nisan makam Teuku Mohammad Hasan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata.

Penghargaan

sunting

Doktor Kehormatan

sunting

Pada tahun 1990, Universitas Sumatera Utara menganugerahkan gelar Doctor Honoris Causa.[16]

Pahlawan Nasional

sunting

Mr. Teuku Muhammad Hasan dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 085/TK/Tahun 2006 tertanggal 3 November 2006.[17]

Eponim

sunting

Sebuah jalan di Banda Aceh dinamakan Jalan Mr. Teuku Muhammad Hasan.[18]

Tanda Kehormatan

sunting

Bibliografi

sunting
 
Mr. Teoekoe Moehammad Hasan, Karya dan Pengabdiannya
  • (Indonesia) Muhammad Ibrahim (Drs.) (1983) Mr. Teoekoe Moehammad Hasan, Karya dan Pengabdiannya Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek-Proyek dan Dokumentasi Sejarah Nasional
  • (Indonesia) Teuku Muhammad Hasan (1985) Sejarah Perjuangan Perminyakan Nasional Jakarta: Sari Pinang Sakti.
  • (Indonesia) Dwi Purwoko (1995) Dr. Mr. T. H. Moehammad Hasan Salah Seorang Pendiri Republik Indonesia dan Pemimpin Bangsa, Jakarta: Sinar Harapan
  • (Indonesia) Mr. Teuku Moehammad Hasan (1999) Memoir: Gubernur Sumatra dari Aceh ke Pemersatu Bangsa, Jakarta: Papas Sinar Sinanti, Editor: Dr. T. Mohamad Isa, MPH, MA
  • (Indonesia) Irma Widyani Roring (2000) Teuku Moehammad Hasan: Perjalanan yang Memberi Mahkota Jakarta: Puri Ratnawangsa Media

Referensi

sunting
  1. ^ https://historia.id/politik/articles/yang-terpaksa-jadi-gubernur-DO4wj
  2. ^ "Profile on Kepustakaan Presiden RI". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-04-23. Diakses tanggal 2011-11-25. 
  3. ^ a b c Raditya, Iswara N. (2019-09-21). "Teuku Muhammad Hasan, Gubernur Sumatra Pertama dan Satu-Satunya". Tirto.id. Diakses tanggal 2023-11-18. 
  4. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-04-30. Diakses tanggal 2021-05-27. 
  5. ^ "http://books.google.co.id/books?id=z9C7NuTllisC&pg=PA142&lpg=PA142&dq=mr+teuku+muhammad+hasan+gubernur+sumatera&source=bl&ots=8e4f8c3TBZ&sig=I3OZpB3BaZ42WP5oqYp6UxTbl-M&hl=id&ei=AE62Tua2IMLwrQe0_um9Aw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=7&ved=0CEMQ6AEwBg#v=onepage&q&f=false".  Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan)
  6. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-11-06. Diakses tanggal 2011-11-25. 
  7. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-01-03. Diakses tanggal 2011-12-08. 
  8. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-02-19. Diakses tanggal 2011-12-08. 
  9. ^ http://redfox69.wordpress.com/2011/04/01/menilik-sejarah-kontrak-bagi-hasil-production-sharing-contract-migas-indonesia/
  10. ^ "TEUKU MUHAMMAD HASAN MENTERI PENDIDIKAN "DARURAT". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-04. Diakses tanggal 2011-11-25. 
  11. ^ http://www.scribd.com/doc/52907947/sejarah-pertambangan
  12. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-06-11. Diakses tanggal 2011-12-08. 
  13. ^ "http://www.nasionalis.com/nasionalisasi-usaha-pertambangan-minyak-di-indonesia/". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-11-06. Diakses tanggal 2011-11-25.  Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan)
  14. ^ "Sejarah Pertamina". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-11-25. Diakses tanggal 2011-11-25. 
  15. ^ "http://ypsm.serambimekkah.ac.id//". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-09-18. Diakses tanggal 2011-11-25.  Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan)
  16. ^ a b "http://www.worldcat.org/title/pemberian-gelar-kehormatan-doktor-honoris-causa-dalam-bidang-ilmu-hukum-tatanegara-kepada-mr-th-moehammad-hasan-kumpulan-pidato-28-juli-1990/oclc/052434839".  Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan)
  17. ^ "http://www.gemari.or.id/file/gemari71hal42.PDF" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-04-25. Diakses tanggal 2011-11-25.  Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan)
  18. ^ "http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=1361&tit=Berita%20Utama%20-%20Mr%20T%20Muhammad%20Hasan%20Jadi%20Nama%20Jalan".  Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan)
  19. ^ "Daftar WNI yang Menerima Tanda Kehormatan Republik Indonesia Tahun 1959–sekarang" (PDF). Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia. 7 Januari 2020. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-07-29. Diakses tanggal 12 Agustus 2021. 
  20. ^ Daftar WNI yang Mendapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera tahun 1959 s.d. 2003 (PDF). Diakses tanggal 4 Oktober 2021. 

Pranala luar

sunting
Jabatan politik
Didahului oleh:
Ali Sastroamidjojo
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia
1948–1949
Diteruskan oleh:
Sarmidi Mangunsarkoro
Didahului oleh:
Masjkur
Menteri Agama Indonesia
1948–1949
Diteruskan oleh:
Masjkur
Posisi baru Gubernur Sumatra
1945–1948
Diteruskan oleh:
Sutan M. Amin Nasution
sebagai Gubernur Sumatera Utara
Diteruskan oleh:
Mohammad Nasroen
sebagai Gubernur Sumatra Tengah
Diteruskan oleh:
Mohammad Isa
sebagai Gubernur Sumatera Selatan