Tihulale, Amalatu, Seram Bagian Barat

desa di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku

Tihulale adalah negeri yang berstatus resmi sebagai desa di Kecamatan Amalatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, Indonesia. Secara adat, Tihulale merupakan sebuah negeri.

Tihulale
Amalessy Risapori Sariata
Negara Indonesia
ProvinsiMaluku
KabupatenSeram Bagian Barat
KecamatanAmalatu
Luas... km²
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²

Kondisi wilayah

sunting

Secara astronomis, Tihulale terletak pada 3°27'0 Lintang Selatan, dan 128°30'0" Bujur Timur. Negeri ini berada di pesisir Seram bagian selatan, pada tepian Selat Seram yang memisahkan Seram dengan Kepulauan Lease. Secara administratif, termasuk dalam wilayah Kecamatan Amalatu, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Pulau SeramMalukuIndonesia.[1]

Sistem Pemerintahan

sunting

Sistem pemerintahan di Negeri Tihulale berbentuk pemerintahan “PATASIWA” dengan pimpinan tertinggi seorang Upulatu (Raja) yang ditunjuk dan berasal dari fam atau pemangku jabatan Upulatu (Raja). Fam atau matarumah pemangku jabatan Upulatu (Raja) di negeri Tihulale adalah fam Salawane (teun Upu Ase Upu Rumah Sitanamah). Dalam memimpin,  UPULATU (Raja) dibantu oleh   :

  • Malesi (Kapitan),
  • Maueng (Pemimpin Kakehan/Adat),
  • Marinyo (Pembawa Titah Raja),
  • Juru Tulis(Tambahan sejak mengenal tulisan)
  • Kewang (Penjaga Hutan),
  • Amanupui (Penjaga Negeri),
  • Soa (Persekutuan Fam),
  • Wariwaa (Persekutuan Adik Kakak)
  • Saniri Negeri (Badan pemerintahan yang bertugas mengurusi perkara pemerintahan dan adat istiadat di dalam Negeri serta dalam pengambilan keputusan, semacam parlemen Negeri)

Daftar raja

sunting

Raja-raja yang tercatat pernah memerintah Tihulale, yakni sebagai berikut. d

  1. Coeripati Salawane
  2. Patiraha Salawane
  3. Paltin Salawane
  4. Tentapan Salawane
  5. Leisoeka Salawane
  6. Naisamal Salawane
  7. Welem Salawane
  8. Samuel Salawane
  9. Elseus Salawane 1
  10. Elseus Salawane 2
  11. Juluis Salawane
  12. Timothius Salawane
  13. Lucas Wairata
  14. Nicodemus Salawane
  15. Frans Wairata
  16. Boetje Sapuri
  17. Daniel Sapuri
  18. Elia Salawane

Adapun beberapa Soa yang terdapat di Negeri Tihulale antara lain sebagai berikut.[2]

Soa Harur, yang terdiri dari mata rumah :

  1. Salawane (Upu ase upu rumah sitanamah)
  2. Tualena (Upu niai upu rumah niniari)
  3. Tuarisa (Upu hutui upu rumah sourisa)
  4. Nusawakan (Upu uwen haubawa)

Soa Kukur, yang terdiri dari mata rumah :

  1. Sapuri (Upu selai pewaka tanah makah hurui rua)
  2. Tuapetel
  3. Atapari (Upu selai pewaka sou lalan)

Soa Laha, yang terdiri dari mata rumah :

  1. Hursina (Upu matita)
  2. Sopasina
  3. Pariama (Upu panai upu rumah lei selah)
  4. Wairata (Upu selai pewaka suri au)

Demografi

sunting

Fam adalah sebutan untuk matarumah bagi masyarakat maluku, namun karena pengaruh belanda dipergunakan kata fam yang berasal dari kata "familienam" yang berarti "nama keluarga". Biasanya fam atau matarumah mendiami suatu Negeri sebagai persekutuan Masyarakat adat. Dari beberapa Fam kemudian dibentuk Soa, dari Soa kemudian dibentuk Aman atau yang dikenal dengan Negeri. Fam yang terdapat di Negeri Tihulale terbagi atas dua yaitu   : Ana Negeri (Asli)

  • Atapari
  • Hursina
  • Nusawakan
  • Pariama
  • Salawane
  • Sapuri
  • Sopasina
  • Tualena
  • Tuapetel
  • Tuarissa
  • Wairata

Orang Dagang (Malamait) [3]

  • Selain daripada ke-11 fam asli tersebut merupakan Orang Dagang atau disebut Malamait meski sudah menikah dan menetap lama tidak dapat dikelompokan sebagai fam asli di Negeri Tihulale.

Wariwa'a

sunting

Wariwa'a adalah suatu persekutuan berdasarkan hubungan kakak beradik atau rumpun ade kaka. Adapun persekutuan Wariwaa yang terdapat di Negeri Tihulale antara lain   :

  • Salawane dengan Tuarisa
  • Tualena dengan Nusawakan
  • Sapuri dengan Tuapetel dan Atapari
  • Hursina dengan Sopasina
  • Wairata dengan Pariama

Bahasa

sunting

Bahasa yang digunakan di Negeri Tihulale adalah “Bahasa Alune” (Aloene). Ciri khas Alune dalam adalah dalam berpakaian serta yang paling menonjol dari Alune adalah tidak menjadikan ular sebagai makanan.[4]

Hubungan sosial

sunting

Saniri Tiga Batang Air

sunting

Negeri Tihulale terhimpun dalam Saniri besar Tiga Batang Air (Kwele Batai Telu) dan merupakan bagian dari Saniri Talabatai (Batang Air Tala) dengan kedudukan sebagai angkota. Saniri Talabatai terdiri dari 12 negeri, 10 berkedudukan sebagai inama dan 2 negeri lainnya sebagai angkota. Berikut adalah negeri-negeri di wilayah Air Tala dan kedudukannya.[5]

Inama

  • Negeri Amahai (Ina Ama Lounusa Maatita);
  • Negeri Elpaputih (Ina Ama Tahisane Pesihalule);
  • Negeri Hualoy (Ina Ama Tuni Siwalete Sarimetene);
  • Negeri Kaibobu (Ina Ama Tahisane Hena Poput Samale);
  • Negeri Kairatu (Ina Ama Salibubui);
  • Negeri Lohiatala (Ina Ama Lohie);
  • Negeri Makariki (Ina Ama Siwalete Maatita);
  • Negeri Soahuku (Ina Ama Lilipory Kalapesi);
  • Negeri Wasia (Ina Ama Mauwen Tinai);
  • Negeri Watui (Ina Ama Sailewoi);

Angkota

  • Negeri Huku (Moin Nikwele);
  • Negeri Tihulale (Amalesi Risapori Sariata)

Tihulale mengangkat hubungan pela dengan Negeri Kailolo. Pada masa lalu, dikisahkan bahwa Tihulale membantu Uli Hatuhaha dalam perang melawan VOC, bersama Negeri Oma dan Tuhaha. Perang tersebut berakhir dengan kekalahan pihak Hatuhaha dan masyarakatnya diperintahkan untuk turun dan membangun permukiman di pantai. Walaupun demikian, sebagai ungkapan terima kasih, kelima negeri yang tergabung dalam Uli Hatuhaha mengangkat pela keras atau pela perang dengan tiga negeri yang membantu mereka.[6] Pada akhirnya, ikatan pela dengan Oma hanya diakui dan dipertahankan oleh Pelauw, sementara ikatan dengan Tuhaha dipertahankan oleh Rohomoni. Menurut Dieter Bartels, orang Tihulale melupakan hubungan pela dengan Hatuhaha, dan di kemudian hari, atas bantuan kayu yang Tihulale berikan dalam pembangunan Masjid Jami' Nandatu di Kailolo yang dibalas dengan pemberian keramik sisa pembangunan masjid untuk merenovasi Gereja Beth Eden di Tihulale, kedua negeri memperbaharui ikatan pela di antara mereka. Selain itu, Tihulale juga ber-pela dengan Huku Kecil, Hukuanakota, dan Samasuru.

Gandong

sunting

Masyarakat di negeri ini mempercayai bahwa nenek moyang sebagian orang Seith pernah menempati wilayah yang sama dengan nenek moyang mereka, sebelum memutuskan untuk pergi ke [Pulau Ambon]] dan mendirikan negeri yang baru. Lantas, dari Seith, sebagian orang keluar dan pergi ke Pulau Saparua dan mendirikan Negeri Ouw di sana. Oleh karenanya, mereka percaya bahwa secara tidak langsung ketiga negeri memiliki ikatan gandong, walaupun ikatan semacam itu belum diikrarkan. Kepercayaan di Tihulale diamini oleh masyarakat Seith, ditandai dengan diundangnya Pemerintah Tihulale untuk menghadiri pelantikan Upu Latu atau Raja Seith.[7]

Sebelum masuknya pengaruh Kekristenan oleh Portugis dan Belanda, Tradisi keagamaan yang dianut masyarakat Negeri Tihulale adalah Kakehan. Namun sejak masuknya pengaruh kolonialisme dengan membawa ajaran Kekristenan atau penginjilan barulah Masyarakat Negeri Tihulale mengenal agama Kristen. Saat ini, Mayoritas penduduk Negeri Tihulale beragama Kristen Protestan dengan Gereja Protestan Maluku sebagai gerejanya. Selain itu ada juga Gereja Masehi Advent walaupun pengikutnya hanya terdiri dari beberapa orang.[8]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting

Pranala luar

sunting