Tionghoa Bali adalah etnis Tionghoa yang tinggal di Pulau Bali, Indonesia. Sugi Lanus, budayawan dan penulis Bali pernah membuat analisis mengenai keluarga peranakan Tionghoa di Bali. Menurutnya imigrasi warga Tiongkok ke Bali dalam gelombang-gelombang yang berbeda. Era sebelum Majapahit, mata uang masyarakat Bali adalah Mong, mata uang yang diperkirakan awalnya dipakai kalangan warga Tionghoa. Pemberlakuan mata uang Tionghoa ini menandakan perdagangan Tionghoa menguasai pulau ini.

Tionghoa Bali

巴厘唐人
巴厘島華人
Jumlah populasi
Provinsi Bali: 14.970 (sensus 2010[1]
Bahasa
bahasa Bali, Hokkien, Hakka, Hainan, Tiochiu
Agama
Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme, Hindu, Kristen

Pura Pucak Penulisan yang diperkirakan telah ada sekitar abad X masehi di Bangli, tulis Sugi, tidak lepas dari keterkaitan legenda pernikahan Putri Tionghoa dengan raja Bali. Konon, putri Tionghoa (bermarga Kang), setelah dinikahi raja Bali, mereka membuka sebuah kawasan di utara Gunung Batur, pada hamparan tanah subur di sekitar 4 kilometer dari Pura Penulisan. Tempat itu disebut Bali-Kang, yang sampai kini dikenal sebagai Pura Balingkang di Desa Pingan. Pingan berarti damai dalam bahasa Tionghoa.

Sugi mencatat, sensus Warga Tionghoa Volkstelling, semacam sensus yang dilakukan pemerintah Belanda. Total jumlah imigran Tiongkok yang telah masuk ke Indonesia sampai tahun 1930 telah mencapai 1.233.214 jiwa. Sejumlah keturunan Tiongkok di Bali menyebar di segitiga perbatasan tiga Kerajaan Karangasem-Bangli-Klungkung. Di Dusun Lampuk, yang masih bermukim di Lampu ada 6 marga: Lie, Siaw, Cwa, Po, Ang dan Tan.[2]

Saat rezim Orde Baru memberangus apapun yang berbau Tionghoa (kecuali menguntungkan untuk penguasa), Tionghoa Bali tetap bisa meneruskan tradisi dan kepercayaannya. Tionghoa Bali tetap bersembahyang ke Kelenteng ataupun Kongco, merayakan Imlek (walaupun tanpa gegap gempita pawai barongsai dan petasan) dan bekerja seperti Warga Negara Indonesia selayaknya.

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting