Tiraz adalah kain yang dipakai di lengan seseorang yang menunjukkan kepada siapa orang tersebut menunjukkan lotalitasnya didalam sebuah kekhalifahan Islam. Kain ini dihiasi dengan tulisan aksara Arab yang bertuliskan siapa nama khalifah yang berkuasa. Tulisan ini biasanya terbuat dari benang emas atau perak, dan didekorasi dengan pola-pola khas. Produksi dan distribusi tiraz diatur secara hukum oleh pemerintah.

Seorang penguasa mengenakan kain tiraz dilengannya.

Etymology

sunting

Kata tiraz adalah bahasa Persia yang berarti "sulaman". Kata tiraz dapat berarti kain itu sendiri, atau tulisan yang tertulis pada kain yang dimaksud sebelumnya, atau pabrik dimana kain tersebut diproduksi (atau dar al-tiraz).[1]

Tiraz juga dikenal dengan nama taraziden di Persia.

Evolusi kode berpakaian di Islam

sunting
 
Tiraz ini diatributkan kepada Marwan I (seorang khalifah dari Kekhalifahan Umayyah (abad ke-7 Masehi), Tiraz ini adalah salah satu tiraz tertua di dunia. Tiraz ini menggunakan tulisan kufic dan pola-pola geometris yang dominan.

Kode berpakaian Islam berevolusi semenjak awal-awal Penaklukan Islam. Didalam Kerajaan Islam yang baru terbentuk ini, terdapat tiga zona kultural dengan kode berpakaiannya masing-masing. Pertama kali, bangsa Arab yang merupakan minoritas di kerajaannya sendiri, mencoba untuk membuat masing-masing kelas teridentifikasi dengan cara membentuk regulasi dalam kode berpakaian. Intensi ini mendorong terbentuknya regulasi ghiyar, semacam regulasi untuk mendiferensiasikan golongan tertentu misalnya orang-orang dzimmi (orang non-Muslim yang dilindungi pemerintah). Regulasi ini pertama kali diperkenalkan oleh khalifah Umar (634-644) dalam Perjanjian Umar. Peraturan-peraturan lain untuk mengenakan kode berpakaian juga diberlakukan kepada militer Arab.[2]

Kecenderungan untuk tidak mengikuti regulasi kode berpakaian yang kaku terjadi di posisi-posisi tinggi dalam pemerintahan Islam dan sudah terjadi di masa awal ekspansi Islam. Sudah tercatat dalam sejarah beberapa tokoh arab Kekhalifahan Umayyah sudah mulai mengenakan pakaian Persia. Mereka juga mengadopsi tradisi mengenakan pakaian regal khusus yang merupakan kebudayaan Romawi Timur dan Sasaniyah. Orang-orang Arab dari dinasti Kekhalifahan Umayyah juga mengikuti kebiasaan Kerajaan Byzantin dan Persia dalam membuat pabrik-pabrik yang memproduksi tiraz, sebuah kain yang mengidentifikasikan loyalitas pemakainya. Sejak itu, tiraz menjadi sesuatu yang pakem di Kerajaan Islam. Kain tiraz dihiasi dengan kaligrafi yang menunjukkan nama Khalifah yang berkuasa, bentuk identifikasi yang sama terjadi di koin-koin masa tersebut.[2]

Kain tiraz diproduksi di pabrik-pabrik resmi milik negara. Penjahit-penjahit tertentu dipilih untuk bekerja di pabrik-pabrik tiraz. Produksi tiraz dikontrol oleh pejabat resmi.[3]

Kain tiraz diberikan kepada pejabat-pejabat sebagai kain penghargaan dalam upacara resmi.[4] Mereka juga diberikan sebagai hadiah. Ada catatan sejarah seorang pemimpin politik di Andalusia memberikan hadiah sebuah tiraz kepada tokoh politik di Afrika Utara. Dibawah pemimpin Fatimid al- Mu'izz, upacara khil'a (upacara pemberian tiraz kepada pejabat negara) menjadi penting.[1] Trend memberikan tiraz sebagai bentuk penghargaan juga terjadi di publik. Relik yang ditemukan di Kairo dan catatat dari Kairo Geniza mengindikasikan bahwa rakyat biasa yang mampu membuat tiraz juga melakukan praktek penghargaan tiraz kepada kerabat atau temannya. Tiraz "publik" ini diperlakukan sebagai pusaka keluarga.[2]

Produksi tiraz terus berlanjut hingga abad ke-14, yang mana sudah menunjukkan tanda-tanda penurunan sejak abad ke-13. Pada titik nadir kekuasaan Islam, bangsawan-bangsawan Islam mulai kehilangan hartanya. Kain tiraz dijual ke pasar-pasar umum. Kain tiraz bahkan dibarterkan atau dijadikan investasi.[1]

Potongan-potongan kain tiraz ditemukan didalam kuburan-kuburan Islam dari masa Fatimid di Mesir. Kain tiraz digunakan dalam upacara penguburan terutama karena tulisan-tulisan Quran yang tertulis pada kainnya. Kain-kain ini dibalut dikepala orang yang meninggal menutupi matanya. Dalam konteks ini, tiraz menjadi memiliki signifikansi religius.[1]

Desain

sunting
 
Potongan kain tiraz dari Yaman abad ke-10 menunjukkan pola-pola berwarna cerah dalam motif ikat.[4]
 
Aksara kufic disulam di tiraz dari Mesir abad ke-10 ini.

Desain kain tiraz bervariasi dalam dessin dan materi, bergantung pada kapan, dimana, dan bagaimana produksi tiraz terbuat dari linen, wol, kapas, atau mulham (sejenis kain campuran antara sutra dan kapas. Di Yemen, tiraz dibuat menggunakan teknik ikat dan biasanya bercorak warna hijau, coklat, dan kuning. Di Mesir, tiraz dihiasi dengan benang-benang merah dan hitam.[1]

Ada dua tipe pabrik tiraz: pabrik negara (khassa) dan pabrik umum (`amma). Dikarenakan banyaknya jenis bahan baku dan jenis teknik dan digunakan dalam produksi tiraz di kedua jenis pabrik tersebut, dan karena kedua tiraz dari dua pabrik tersebut sama-sama menggunakan nama khalifah yang memimpin pada tiraz tersebut, tidak terlihat adanya perbedaan antara tiraz yang diproduksi di prabrij umum dan tiraz yang diproduksi di pabrik negara. [1]

Contoh-contoh tiraz paling awal biasanya hanya memiliki pola-pola berwarna dengan motif medali, heean, dsb tanpa tulisan. Motif-motif ini berevolusi dari era Sasaniyah, Koptik, lalu Romawi Timur.[1]

Pada period berikutnys, tiraz mulai dihiasi dengan tulisan-tulisan yang sering kali dijahit dengan benang emas atau dicat langsung diatas kain. Tulisan-tulisan ini didesani dengan kaligrafi untuk membentuk pola-pola beritme. Tulisan pada kain tiraz berisi nama khalifah yang memimpin, kalimat-kalimat dari Qur'an, atau sebutan nama Allah. Tulisan di tiraz paling awal ditulis dengan tulisan kufic. Pada period selanjutnya, tulisan naskh dan thuluth menjadi lebih umum.[1]

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h Ekhtiar & Cohen 2015.
  2. ^ a b c Meri 2005, hlm. 160.
  3. ^ Fossier 1986, hlm. 263.
  4. ^ a b "Tiraz Textile Fragment". Metropolitan Museum of Art. Metropolitan Museum of Art. 2017. Diakses tanggal November 12, 2017. 

Bibliografi

sunting