Cut Nyak Meutia
Tjoet Nyak Meutia (15 Februari 1870 – 24 Oktober 1910) adalah pahlawan nasional Indonesia dari daerah Aceh. Ia dimakamkan di Alue Kurieng, Aceh. Ia menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada tahun 1964.
Cut Nyak Meutia | |
---|---|
Lahir | Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, Kesultanan Aceh | 15 Februari 1870
Meninggal | 24 Oktober 1910 Alue Kurieng, Aceh, Hindia Belanda | (umur 40)
Sebab meninggal | Gugur terkena 3 butir peluru saat bertempur dengan serdadu Belanda |
Monumen | Museum Rumah Cut Mutia |
Kebangsaan | Kesultanan Aceh |
Dikenal atas | ● Pejuang Perang Aceh, Pahlawan Nasional Indonesia |
Gerakan politik | Perang Aceh Melawan Belanda |
Lawan politik | Hindia Belanda |
Suami/istri | ●Teuku Syamsarif ●Teuku Muhammad ● Pang Nanggroë |
Anak | Teuku Raja Sabi |
Orang tua | ●Teuku Ben Daud Pirak ●Cut Jah |
Keluarga | Saudara Kandung : Teuku Cut Beurahim, Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasan, dan Teuku Muhammad Ali. |
Tjoet Nyak Meutia atau Cut Meutia merupakan , anak dari hasil perkawinan antara Teuku Ben Daud Pirak dengan Cut Jah. Dalam perkawinan tersebut mereka dikaruniai 5 orang anak. Cut Meutia merupakan putri satu-satunya di dalam keluarga tersebut, sedangkan keempat saudaranya adalah laki-laki. Saudara tertua bernama Cut Beurahim disusul kemudian Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasen dan Teuku Muhammad Ali Orang tua Tjoet Nyak Meutia merupakan keturunan asli Aceh seorang Uleebalang di desa Pirak yang berada dalam daerah Keuleebalangan Keureutoe. Awalnya Tjoet Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad atau Teuku Tjik Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Tjik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Tjik Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nanggroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.
Tjoet Meutia kemudian menikah dengan Pang Nanggroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan pasukan lainnya di bawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Tjoet Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26 September 1910.
Tjoet Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara. Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama pasukannya bentrok dengan Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet Njak Meutia gugur.
Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa-jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikannya dalam pecahan uang kertas rupiah baru Republik Indonesia, pecahan Rp1.000.[1]
Penghargaan
sunting- Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh.
- Mata Uang Nominal 1.000 Rupiah
Nama Cut Meutia juga diabadikan di beberapa tempat:
- Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia, Aceh Utara.
- Museum Rumah Cut Meutia, Aceh Utara
- Masjid Cut Meutia, Jakarta Pusat.
- Taman Cut Meutia, Bekasi, Jawa Barat.
- Dan beberapa nama - nama Jalan di Indonesia.
Tempat Peristirahatan
suntingPasukan Belanda menggencarkan pengejaran terhadap pasukan Cut Meutia pada bulan Oktober 1910. Hal itu membuat Cut Meutia memindahkan pasukannya dari gunung ke gunung untuk menghindari pengepungan yang dilakukan Belanda.
Hingga pada tanggal 24 Oktober 1910 di daerah Alue Kurieng, terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda dan pasukan yang dipimpin Cut Meutia. Dalam pertempuran ini Cut Meutia gugur. Sebelum wafat, Cut Meutia menitipkan anaknya kepada Teuku Syech Buwah untuk dijaga.[2]
Referensi
sunting- ^ ZRF, Angga Aliya (19 Desember 2016). "Rupiah Desain Baru Terbit Hari Ini". detikcom. Diakses tanggal 19 Desember 2016.
- ^ News, Tagar (2017-12-23). "Siapa Cut Meutia, Namanya Jadi RS Covid-19 di Aceh". TAGAR. Diakses tanggal 2020-04-27.