Tomesode
Tomesode (留袖 ) adalah kimono paling formal untuk wanita yang sudah menikah. Tomesode dari kain krep berwarna hitam disebut kurotomesode (tomesode hitam), sedangkan tomesode dari kain krep berwarna disebut irotomesode (tomesode warna). Menurut urutan tingkat formalitas, tomesode adalah pakaian paling formal setara dengan baju malam. Istilah tomesode berasal tradisi wanita yang sudah menikah atau sudah menjalani genbuku untuk memperpendek lengan furisode yang dikenakannya semasa gadis.
Kurotomesode hanya dikenakan sebagai pakaian formal ke pesta pernikahan sanak keluarga, pesta-pesta, serta upacara yang sangat resmi. Kimono jenis ini merupakan pakaian yang dikenakan istri nakōdo sewaktu hadir di pesta pernikahan. Bahan untuk kurotomesode adalah kain krep hitam tanpa motif tenun. Corak pertanda keberuntungan seperti burung jenjang atau seruni berada pada bagian bawah kimono. Posisi corak kain disesuaikan dengan usia pemakai, semakin berumur pemakainya, corak kain makin diletakkan di bawah. Lambang keluarga berjumlah lima buah: satu di punggung, sepasang di belakang lengan, dan sepasang di dada bagian atas.
Berbeda dengan kurotomesode, irotomesode tidak selalu harus dihiasi lima buah lambang keluarga. Sesuai formalitas acara yang ingin dihadiri pemakai, irotomesode cukup dilengkapi tiga buah lambang keluarga (satu di punggung, sepasang di bagian belakang lengan) atau cukup satu di bagian punggung. Irotomesode dikenakan sebagai pakaian formal sewaktu diundang ke pesta pernikahan sanak keluarga, pesta dan upacara resmi. Kain untuk irotomesode bisa berupa kain krep tanpa motif tenun atau kain krep dengan motif tenun seperti monishō, rinzu, dan shusuji.
Wanita yang belum menikah juga boleh mengenakan irotomesode, namun bila sudah berumur atau ketika tidak ingin mengenakan homongi. Upacara resmi di istana kaisar dihadiri tamu dengan mengenakan irotomesode. Hitam sebagai warna duka merupakan alasan tidak dipakainya kurotomesode.
Sejarah
suntingMenurut tradisi zaman Edo, wanita yang sudah menikah merombak furisode yang dipakainya sewaktu gadis. Tradisi serupa berlaku untuk gadis di atas 18 tahun yang sudah genbuku, tapi belum menikah.[1] Lengan furisode yang panjang digunting, dan bukaan pada lengan furisode (furiyatsuguchi) dijahit. Pada masa itu, gadis melambaikan lengan furisode yang dipakainya sebagai isyarat ketika ada perjaka yang disukainya. Setelah menikah, lengan furisode yang panjang tidak diperlukan lagi dan digunting. Tradisi tersebut dinamakan tomesode karena sode (lengan kimono) dihentikan (tomeru).[1] Dari tradisi tersebut, kimono formal untuk wanita yang sudah menikah disebut tomesode.
Kimono yang dikenal sekarang ini sebagai tomesode adalah kimono dengan corak edozuma (江戸褄 ) pada suso (bagian sebelah bawah kimono). Dari bawah kerah hingga bagian bawah kimono dihiasi dengan corak pertanda keberuntungan. Corak serupa populer di kalangan geisha di Edo sekitar 1804-1829. Corak tersebut kemungkinan ditiru dari kimono yang dikenakan di Ōoku sehingga disebut edozuma.[2]
Referensi
sunting