Tortor Mandailing adalah bagian penting dari tradisi adat Mandailing, yang awalnya bukan dikenal sebagai tarian, melainkan pelengkap dari gondang atau uning-uningan dalam upacara adat. Filosofi adat Mandailing menjadikan tortor sebagai bagian integral dari kegiatan margondang, yaitu momen ketika gondang dimainkan. Pada masa lalu, tortor hanya dilakukan dalam konteks adat, tetapi seiring waktu, tortor mulai dimodifikasi untuk keperluan hiburan dan berkembang menjadi bentuk tarian.[1]

Makna dan Struktur Tortor

sunting

Tortor memiliki gerakan khas yang mencerminkan makna, tujuan, dan sifat tertentu. Pelaksanaannya melibatkan dua kelompok, yaitu yang manortor (penari utama) dan yang mangayapi (pendukung). Penari utama biasanya terdiri dari Mora, sementara Anakboru bertindak sebagai pendukung yang berdiri di belakang mereka. Jumlah pendukung harus sama atau lebih banyak dibandingkan Mora yang menari. Posisi ini mencerminkan konsep tamper marsipagodangan, di mana Anakboru memuliakan Mora untuk mendapatkan kehormatan dan sahala (berkah).

Pada prosesi tortor, telapak tangan Anakboru diletakkan di bawah bahu Mora dengan posisi menghadap ke atas. Gerakan ini melambangkan doa dan penghormatan kepada Mora agar tetap berwibawa dan memiliki tuah.[2] Pelaksanaan tortor juga mencerminkan kedudukan dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu, seperti:

  • Tortor Suhut (pelaksana utama), Kahanggi Suhut, Mora, dan Anakboru
  • Tortor Raja-raja
  • Tortor Raja Panusunan
  • Tortor Naposo Bulung (muda-mudi)

Referensi

sunting
  1. ^ Batubara, Dahlan (2017-11-25). "TOR-TOR MANDAILING". Mandailing Online. Diakses tanggal 2024-12-30. 
  2. ^ "Atraksi Tor Tor Mandailing". sumut.jadesta.com. Diakses tanggal 2024-12-30.