Elok nagari dek pangulu,
elok tapian dek nan mudo,
elok musajik dek tuanku,
elok rumah dek bundo kanduang

Tuanku atau Tuangku adalah gelar untuk pemimpin agama atau seorang ulama terkemuka di Minangkabau yang dianggap telah menguasai ilmu agama Islam. Lazimnya, gelar ini diikuti nama daerah atau surau tempat ulama tersebut mengajar, seperti Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Lintau, Tuanku Rao, dan Tuanku Tambusai. Gelar tuanku mengalami masa jayanya di Minangkabau pada abad ke-18 dan 19. Saat itu, berpuluh-puluh surau dipimpin oleh tuanku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan agama.

Pasca-Perang Padri, pemerintah Hindia Belanda mendemistifikasi penggunaan gelar Tuanku dengan memunculkan jabatan Tuanku Lareh (atau Angku Lareh), yang bertindak untuk menjembatani kepentingan Belanda dengan pribumi Minangkabau.

Tuanku dapat pula merujuk pada gelar yang diberikan kepada raja (sultan) dan keturunannya dari pihak laki-laki. Kerajaan Negeri Sembilan sebagai kelanjutan Kerajaan Melayu, saat ini masih menggunakan gelar tuanku untuk gelar raja mereka, seperti Tuanku Ja'afar.

Asal usul sunting

Kata tuan berasal dari Bahasa Sansekerta, tuhan, kemungkinan karena pengaruh Islam, akhirnya pelafalanya disingkat menjadi tuan. Sebutan gelar ini dikenal di Nusantara, beberapa raja Melayu menyandang gelar ini sebagai panggilannya. Adityawarman disebut sebagai Surawasawan (Tuan Suruaso) seperti yang terdapat pada Prasasti Batusangkar, dan disebut pula Tuhan Janaka bergelar Mantrolot Warmadewa sebagaimana terdapat dalam Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama.

Di daerah Kamang, tuanku dapat bermaksud gabungan dua kata tuan-aku, yang berarti panggilan kepada kakak laki-laki yang dihormati, sama dengan panggilan uwan di Padang Panjang atau uwo di Maninjau. Kepada mamak yang memangku jabatan penghulu ada yang memanggilnya mak tuan dan adakalanya berubah menjadi angku.

Penggunaan sunting

Penyebutan gelar tuanku untuk pemimpin agama awalnya berkembang di jemaah tarekat pada abad ke-17. Penggunaannya meluas pada masa Perang Padri.

Tuanku merupakan panggilan penghormatan kepada ulama di Minangkabau karena menyebut nama orang yang dihormati adalah pantangan. Budayawan A. A. Navis menulis, pada umumnya setiap nagari hanya didapati seorang ulama, sehingga panggilan untuk mereka dipakailah gelar dan nama nagarinya, seperti Tuanku Lintau, Tuanku Rao, dan Tuanku Tambusai.[1] Akan tetapi, kalau terdapat lebih dari seorang ulama, gelar tuanku ditambah dengan karakteristik personal seperti Tuanku Nan Tuo, Tuanku Nan Renceh, dan Tuanku Nan Gapuak.[2][3]

Hierarki gelar sunting

Dalam hirarkri ulama tradisonal di Minangkabau, gelar tuanku berada di atas gelar "peto" dan "labai", yakni gelar untuk seseorang yang telah menguasai fikih, tarekat, dan ilmu hakikat. Seorang labai atau peto hanya diberi hak memimpin jemaahnya, dan belum berhak memimpin surau sendiri.[4]

Terdapat gelar lainnya di bawah tuanku. Seorang murid yang telah bertahun-tahun belajar pada seorang tuanku dan dipercaya untuk memberikan bimbingan kepada murid-murid lainnya digelari malin. Seorang malin telah memiliki pengetahuan agama yang lebih luas dari murid-murid lainnya. Murid yang memiliki penguasaan dalam ilmu fikih diberi gelar pakih (atau fakih). Adapun murid yang telah menghafal Al-Quran diberi gelar kari.[5][4]

Tingkatan di atas gelar tuanku adalah syekh, gelar tertinggi seorang ulama di Minangkabau, yakni guru besar para ulama. Gelar syekh diberikan oleh guru kepada muridnya secara beranting sebagai pengakuan ia telah mempunyai ilmu agama paripurna, seperti halnya Pono diberi gelar Syekh Burhanuddin Ulakan oleh gurunya, Syekh Abdurrauf as-Singkili.

Tuanku Lareh sunting

Setelah kemenangan Belanda dalam Perang Padri, Belanda berusaha memanfaatkan tatanan tradisional masyarakat Minangkabau dengan cara mengubah karakter dan bentuk lembaga-lembaga tradisional sesuai dengan kebutuhan Belanda. Hal ini dilakukan untuk membantu mereka memerintah di Sumatera Barat. Kerapatan Adat Nagari dijadikan sebagai lembaga pemerintahan terendah; penghulu-penghulu di setiap nagari yang dulunya memimpin nagari secara bersama-sama, kini diharuskan memilih salah satu dari mereka untuk menjadi kepala nagari (nagari hoofd). Dengan mengangkat seseorang sebagai kepala nagari, Belanda memperkenalkan bentuk pemerintahan yang jauh lebih otoriter ke dalam pemerintahan nagari di Minangkabau.

Selain itu, penguasa kolonial Belanda mengubah pola federasi nagari-nagari (lareh atau laras), yang tadinya merupakan aliansi longgar beberapa nagari yang berdasarkan pada prinsip saling menguntungkan, menjadi lembaga pemerintahan setingkat kecamatan yang dipimpin seorang kepala laras (laras hoofd) yang dipilih dari kepala-kepala nagari yang ada di kelarasan. Dengan demikian terbentuklah sebuah sistem pemerintahan yang hierarkis, yang sesuai dengan kenyataan, bahwa kekuasaan yang sesungguhnya kini terletak di tingkat tertinggi pemerintahan Sumatera Barat, yakni residen, tidak lagi di tingkat nagari.[6]

Dalam konteks ini, panggilan tuanku dipergunakan untuk kepala lareh dalam sistem birokrasi pemerintahan Belanda, sehingga menjadi Taunku Lareh (atau Angku Lareh).[7]

Lihat pula sunting

Catatan kaki sunting

Rujukan sunting

  1. ^ A. A. Navis 1984, hlm. 29.
  2. ^ Hamka 2017, hlm. 184.
  3. ^ Azyumardi Azra 2017, hlm. 19.
  4. ^ a b Sjafnir Aboe Nain 2006, hlm. 218.
  5. ^ Hamka 2015.
  6. ^ Kahin 2005, hlm. 10.
  7. ^ Jeffrey Hadler 2010.

Daftar pustaka sunting